Meninjau Ulang Syarat Muslam Fih pada Akad Salam dalam Konteks Kekinian Oleh: Sandi Juliansyah

Essay, Kolom Santri4916 Dilihat

Meninjau Ulang Syarat Muslam Fih pada Akad Salam

dalam Konteks Kekinian

Oleh: Sandi Juliansyah

 

Dalam literatur fiqih Terdapat berbagai macam akad yang digunakan dalam proses muamalah, salah satu diantarnya adalah akad salam. Akad salam merupakan jual beli yang barangnya belum ada di tempat transaksi, namun spesifikasinya dapat diketaui oleh pembeli, atau dalam istilah fiqih kerap disebut dengan bai’u syaiin maushufun fi adz-dzimmah. Pada dasarnya, akad salam diperbolehkan dalam syari’at Islam, berdasarkan dalil al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama’. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 282:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman. Apabila kamu bermuamalah dengan cara tidak tunai (kredit)untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu mencatatnya….”

Menurut Ibnu Abbas dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim karya al-Imam Ibnu Katsir bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan akad salam.[1] Kemudian, di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) terdapat hadits Rasulallah SAW yang diriwayatkan oleh Ibu Abbas bahwa Rasulallah bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Artinya: “barang siapa mengadakan transaksi salam, maka hendaknya ia melakukannya dalam takaran, timbangan, dan tempo yang diketahui”.

Secara ijma’ para ulama’ sepakat atas kebolehan akad salam sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Mundzir bahwa para ulama sepakat akad salam diperbolehkan, karena masyarakat membutuhkannya. Para pemilik tanaman, buah-buahan dan barang dagangan membutuhkannya untuk mencukupi keperluan mereka atau untuk tanamannya dan sejenisnya hingga tanaman tersebut matang. Sehingga akad salam ini dibolehkan bagi mereka guna memenuhi kebutuhan.[2]

Adapun rukun dan syarat akad salam sama halnya dengan rukun dan syarat jual beli pada umumnya, hanya saja ada beberapa syarat khusus. Dalam kitab at-Taqrirat as-Sadidah fi Masail al-Mufidah karya al-Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf disebutkan bahwa rukun dari akad salam ada lima, sebagaimana jual beli pada umumnya, yaitu:[3]

  1. Muslam (pemesan)
  2. Muslam ilaih (orang yang dipesani).
  3. Ra’su al-mal (harga).
  4. Muslam fih (barang dipesan).
  5. Shigat, yaitu ijab dan qabul.

Selanjutnya, dalam kitab Fathu al-Qarib al-Mujib Syekh Ibnu Qasim bin Muhammad al-Ghaziy mengatakan bahwa akad salam dapat dikatakan sah jika muslam fih-nya terpenuhi lima syarat, yakni:[4]

  1. Barang yang dipesan harus dibatasi dengan sifat yang dapat membedakan keinginan terhadap barang yang dipesan. Artinya dengan adanya sifat tersebut dapat menghilangkan ketidakjelasan pada barang yang dipesan.
  2. Barang yang dipesan adalah jenis barang yang komponen pokoknya tidak bercampur aduk dengan jenis-jenis lainnya.
  3. Barang yang dipesan tidak diproses dengan api. Maksudnya api digunakan untuk memasak dan menggoreng barang tersebut.
  4. Barang yang dipesan bukan barang yang ditentukan. Artinya barang berada dalam tanggungan penjual, bukan berada di majelis akad.
  5. Barang yang dipesan bukan bagian dari barang-barang yang sudah ditentukan (ada di majelis akad). Seperti ungkapan “saya serahkan uang ini kepadamu untuk memesan satu sha’ dari tumpukan ini”.

Dalam tulisan singkat ini, penulis lebih menspesifikan pembahasan hanya pada satu syarat, yaitu syarat ketiga (barang yang dipesan tidak diproses dengan api, artinya tidak dimasak, digoreng ataupun dipanggang). Pada syarat ini, selain adanya unsur ihalah (perubahan keadaan), juga memungkinkan adanya perbedaan hasil yang diperoleh dari penggunaan api tersebut. Hal ini, tentu tidak bisa dipisahkan dari historisitas konteks masa lalu yang diselimuti dengan teknologi yang masih tradisional.

Dalam kehidupan sehari-hari, api merupakan salah satu elemen yang sangat penting, terutama dalam pembuatan dan penyajian suatu barang ataupun makanan. Akan tetapi, pada masa lalu besar dan kecilnya api dalam membantu proses pembuatan sesuatu, sulit untuk bisa dikontrol, hingga hasil yang diperoleh sering tidak sama dan tidak sesuai keinginan. Sehingga sangat mungkin, jika syarat ini tidak diberkalukan pada kala itu, maka akan memicu banyak komplen dari para pemesan barang.

Jika dilihat dari konteks masa lampau syarat ini tentu saja relevan, karena sesuai dengan zaman dan kondisi sosial di kala itu. Namun, jika dibaca dari kaca mata kekinian, syarat tersebut mungkin sudah tidak relevan. Hal ini, karena adanya perekembangan zaman dan konteks sosial yang berbeda. Pada saat ini, teknologi berkembang begitu cepat, berbagai macam mekanisme sudah banyak ditemukan, seperti ditemukanya kompor gas, mesin oven, tenaga listrik dll. Saat ini, untuk memproduksi roti, kue dan sejenisnya dalam jumlah yang banyak dengan tingkat kematangan yang sama, cukup dengan mengunakan mesin oven yang sudah dilengkapi dengan tinggi rendahnya suhu dan besar kecilnya api. Hal ini, tentu berbeda dengan zaman dahulu yang masih serba manual, di karenakan perkembangan teknologi di kala itu belum begitu pesat.

Sejatinya, syarat di atas merupakan bagian dari hasil ijtihat ulama’ pada masa itu, yang terbatas oleh ruang dan waktu. Artinya, syarat ini bukanlah ketetapan paten yang mengikat sepanjang zaman. Oleh karena itu, sangatlah mungkin mengalami perubahan seiring perkembangan zaman sesuai dengan konteks yang ada pada saat ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu dalam kitabnya Al-Wajiz fi Idhoh Qawaid al-Fiqhiyah al-Kulliyah:[5]

قائدة : لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان

إن تغير الأوضاع والأحوال الزمنية له تأثير كبير في كثير من الأحكام الشرعية الإجتهادية, لأن ما كان من الأحكام الشرعية مبنيا علىى عرف الناس و عاداتهم تتغير كيفية العمل بمقتضى الحكم باختلاف العادة عن الزمن السابق. و أما أصل الحكم الثابت بالنص فلا يتغير

 

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat mengambil konklusi bahwa syarat tersebut (syarat ketiga) perlu dikontekstualisasikan di era saat ini sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Karena, hampir tidak ada kegiatan di bidang produksi tanpa menggunakan bantuan api, terlebih dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam

 

Referensi:

  1. al-Imam al-Hafidz ‘Imaduddin Abi Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz 2, cetakan 1, Dar al-Atsar: Kairo, hal. 81.
  2. Syekh Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamiyu wa Adillatuhu, juz 4, cetakan Dar al-Fikr: Damaskus, hal. 358.
  3. al-Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, at-Taqrirat as-Sadidah fi Masail al-Mufidah, cetakan 1, Dar al-Mirats an-Nabawiyah, hal. 47.
  4. Syekh Ibnu Qasim bin Muhammad al-Ghaziy, Fathu al-Qarib al-Mujib fi syarh al-Fazh at-Taqrib, cetakan Ali Ridho wa Ikhwwan: Rembang, hal. 64.
  5. Syekh Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhoh Qawaid al-Fiqhiyah al-Kulliyah, cetakan Muassisah ar-Risalah, hal. 310.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *