Menjadi Perpustakaan bagi Hurup Kiai Sahal Mahfudh

Kolom Santri1621 Dilihat

Suatu kali pada waktu kuliah salah satu dosen saya melemparkan pertanyaan kepada saya dan teman-teman saya, ”apa yang membedakan Kiai Sahal dengan kiai lainnya, utamanya di Jawa sendiri?”, berbagai jawaban pun bermunculan mulai dari kealiman dan kesederhanaan beliau hingga gagasan tentang fikih sosial, namun ternyata jawaban itu dirasa belum sesuai dengan yang ada di fikiran dosen saya, melihat kami kehabisan jawaban dosen saya pun menjawabnya, “Kiai Sahal istimewa dan dikenang hingga sekarang adalah karena beliau menulis. Banyak kiai yang ‘alim dan sederhana pada saat itu tetapi keterkenalannya tidak seperti keterkenalan Kiai Sahal”. Jawaban dosen saya memang relevan hingga hari ini. Keistimewaan tersebut bukanlah sesuatu yang didapatkan secara percuma atau dengan menulis satu-dua saja, ada jalan panjang yang telah beliau lalui bahkan sedari beliau masih nyantri di sarang. Kiai Jamal Ma’mur Asmani dalam bukunya yang berjudul “BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. SAHAL MAHFUDH” menjelaskan bahwa tradisi menulis Kiai Sahal diawali dengan tradisi membaca yang kuat, bacaan Kiai Sahal tidak hanya pada kitab kuning saja melainkan berbagai buku selain agama pun beliau lahap habis. Keistimewaan dan ketenaran Kiai Sahal adalah hasil dari malang-melintangnya dalam dunia literasi, bahkan tulisan beliau mampu menembus berbagai kalangan akademisi, maka tak sedikit tokoh yang turut mendokumentasikan Kiai Sahal baik dari sebagai figur aktivis sosial, kiai, dan penulis.

SOSOK KIAI SAHAL DALAM PUISI

Salah satu yang luput dari pandangan kita, terhadap berbagai tulisan yang mengulas sosok Kiai Sahal, barangkali adalah Puisi. Ya, ternyata puisi juga turut hadir dalam mengenang Kiai Sahal sebagai kiai yang menulis, contoh puisinya yaitu puisi jenis ode (puisi yang berisi tentang pujian terhadap suatu benda, peristiwa atau tokoh) karangan sastrawan yang bernama Abdul Wachid BS yang berjudul “Setiap Hurup”. tentu saja hal ini tidak patut diremehkan mengingat beberapa pandangan seseorang terhadap puisi adalah khayalan atau imajinasi yang terpisah dari kehidupan. Padahal kalau kita telusuri pada dasarnya puisi adalah bagian dari karya sastra. Sastra menurut Luxemburg (1989:21-22) memiliki fungsi memberikan manfaat yang berkaitan dengan wawasan tentang manusia, masyarakat, intelektual. Horatius membahasakan sastra sebagai dulce et utile yang berarti menghibur dan mencerahkan. Sutardji Calzoum Bachri pernah menekankan jika penyair adalah seseorang yang menulis di atas realitas. Setiap puisi yang dilahirkan tentu tak pernah lepas dari kenyataan atau keseharian yang memayunginya. Pun jika realitas itu tidak sejalan atau sung-sang, tetapi tetap harus berpijak dari kenyataan yang ada. Puisi tak pernah bisa lepas dari kenyataan di sekelilingnya. Dari pernyataan sang Presiden penyair itu kita bisa menyimpulkan bahwa puisi tentang Kiai Sahal pun tidak berangkat dari khayalan kosong.

Dari puisi “Setiap Hurup”, kita bisa tahu bahwa potret Kiai Sahal yang dihadirkan dalam puisi itu adalah Kiai Sahal sebagai penulis. Tentu saja ketika mendengar kata “Hurup” dalam bayangan kita adalah hal yang berkaitan dalam menulis. Bait-bait awal puisi itu berbunyi “setiap hurup yang// dituliskan setiap hurup yang// diucapkan: kebaikan yang// indah tak terbilang”, mengisyaratkan bahwa tulisan Kiai Sahal didasari pada kebaikan. Sahabat Umar bin Khattab berkata “jika kita letih karena kebaikan, maka sesungguhnya keletihan akan hilang dan kebaikan akal kekal”. Dan seperti yang kita tau kebaikan Kiai Sahal yang abadi itu tergambar dalam rangkaian bait-bait selanjutnya yang berbunyi “seperti menulis di atas batu// menjadi prasasti yang// tidak terhapus oleh lumut waktu”.

Puisi memang tidak mampu membengkokan senjata atau menggerakkan suatu massa, namun puisi mampu menghadirkan gaung sunyi dan mengunci kerja batin seseorang. Pada selanjutnya puisi sebagai karya sastra mampu menghadirkan refleksi diri. dalam puisi karangan Abdul Wachid BS ini kita bisa menemukan suatu refleksi sikap, tentu saja dikaitkan dengan tulisan Kiai Sahal, yaitu pada bait-bait sebelum akhir yang berbunyi “hingga semesta hati manusia// menjadi perpustakaan yang//menyimpan rapi hurup-hurup cintanya”.

Sikap apa yang bisa kita ambil pada interpretasi teks puisi itu?, hal ini tentu saja bersifat subyektif dan setiap pembaca mempunyai intrepretasi yang berbeda-beda mengingat puisi yang baik adalah puisi yang multitafsir. Dan saya menginterpretasikan bait-bait puisi tersebut bahwa kita sebagai manusia yang membaca karya Kiai Sahal sudah selayaknya kita berusaha menjadi media informasi tentang pemikiran dan teladan Kiai Sahal sekaligus menjaganya di kepala kita agar senantiasa abadi, siapkah kita menjadi perpustakaan bagi hurup-hurup Kiai Sahal dan menjaganya dengan rapi?. Sebagai penutup tulisan ini saya akan mencantumkan puisi karya Abdul Wachid BS tersebut versi lengkapnya, berikut puisinya :

SETIAP HURUP

—K.H. M. Sahal Mahfudz

Setiap hurup yang

Dituliskan setiap hurup yang

Diucapkan: kebaikan yang

Indah tak terbilang

 

Seperti menulis di atas batu

Menjadi prasasti yang

Tidak terhapus oleh lumut waktu

 

Tetapi hurup yang

Terucap dari bibirku orangorang yang

Lalulalang bagai ilalang

 

Di batin guru justru bagai menulis di atas air

Terus saja mengalir

Kepada hilir permaafan tanpa petir

 

Hingga telinga menjadi radar semesta yang

Hubungkan kemakhlukan dan kemahaan

Hyang

 

Setiap hurup yang

Menderas di nadinadi jiwa raganya hanya

Hyang

 

Hingga semesta hati manusia

Menjadi perpustakaan yang

Menyimpan rapi hurup-hurup cintanya

 

Seekor kupu di pagi jumat itu

Mengisyaratkan

Salamnya abadi

 

Yogyakarta, 24 januari 2014

(Puisi diambil dari website Nusantaranews.co)

 

SUMBER RUJUKAN:

  1. BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. SAHAL MAHFUDH, Karya DR. Jamal Ma’mur Asmani
  2. SASTRA, SEBUAH JALAN PANJANG, Karya Hasta Indriyana
  3. BILANG BEGINI MAKSUDNYA BEGITU, Karya Sapardi Djoko Damono
  4. https://www.kompas.id/baca/buku/2022/07/03/makna-padat-dalam-puisi-singkat?status=sukses_login&status_login=login

 

__________________________

Kontributor: M. Sholihuddin, santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda semester V

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *