Menyikapi Fenomena Pendakwah Baru

Kolom Santri1064 Dilihat

Menyikapi Fenomena Pendakwah Baru

Dalam buku Nuansa Fiqh Sosial, Kiai Sahal berkata, “Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengundang, mengajak dan mendorong. Konotasi dakwah yang lazim adalah mengajak dan mendorong sasaran untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan, atau memerintah melakukan pekerjaan makruf dan melarang bertindak mungkar. Dapat juga dakwah diartikan mengajak sasaran ke jalan Allah, yakni agama Islam.”[1]

Dari pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa dakwah merupakan tugas yang tidak enteng. Mengajak, memotivasi, dan menyeru pada suatu kebaikan serta mencegah dan menghalangi kemungkaran adalah tanggung jawab yang berat, dan diperlukan banyak sekali kesiapan, baik fisik maupun mental. Sehingga pada akhirnya kita tentu menyadari, bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan untuk berdakwah.

Namun, akhir-akhir ini muncul fenomena baru. Kemudahan media yang memberikan kebebasan berekspresi, justru menimbulkan tidak adanya penyaringan terkait siapa saja yang memiliki kemampuan untuk berdakwah. Cukup banyak orang yang baru memiliki sekelumit ilmu agama memberanikan diri untuk berdakwah dengan ilmu mereka yang apa adanya. Mereka pun bahkan berani melabeli diri mereka sebagai “Ustadz” ataupun “Gus”.

Peristiwa semacam ini pada akhirnya menimbulkan kegalauan di hati masyarakat. Masyarakat pun menjadi resah dengan adanya oknum-oknum seperti ini. Lantas, bagaimana sebenarnya, cara yang bijak dalam berdakwah dan menyikapi aksi oknum-oknum ini?

Dengan menyandang status sebagai khayra ummah (umat terbaik), setiap mukmin mempunyai kewajiban untuk berdakwah, yaitu amar makruf  dan nahi mungkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah dari keburukan). Sebagaimana firman Allah Swt.:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ۝

Artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Ali ‘Imran: 110)

Dalam menafsirkan  ayat ini, Syekh Nawawi Al-Bantani berkata dalam tafsirnya Marāh Labīd li Kasyfi Ma’na Qur’ān Majīd:

 

 (كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ) أي أظهرت للناس حتى تميزت وعرفت. وفصل بينها وبين غيرها (تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ) بالتوحيد واتباع محمد صلى الله عليه وسلم (وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ) أي عن الشرك ومخالفة الرسول

Artinya: “(Makna kalimat) ‘Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia’ adalah (Kalianlah yang bertugas untuk) menjelaskan (kebenaran agama Islam) bagi manusia hingga mereka bisa membedakan dan mengetahui (yang hak dan yang batil). Allah membedakan antara ‘Khayra Ummah’ dengan selainnya menggunakan kalimat ‘Ta’murūna bi al-Ma’rūf’ (memerintahkan kepada kebaikan, yaitu memerintahkan kepada) Tauhid dan mengikuti (tindak lampah) Kanjeng Nabi Muhammad Saw., serta (dengan kalimat) ‘wa Tanhauna ‘an al-Munkar’ (mencegah daripada kemungkaran, yaitu mencegah) dari syirik dan menyalahi (tindak lampah) Kanjeng Nabi Muhammad Saw..”[2]

 

Kesimpulannya, ayat ini mengabarkan bahwa amar makruf dan nahi mungkar adalah perintah bagi seluruh umat Islam selaku umat terbaik. Selain itu, amar makruf nahi mungkar juga merupakan satu titik yang membedakan kita dengan yang lain. Amar makruf nahi mungkar ini harus dilakukan, sehingga orang-orang dapat membedakan mana yang hak (baik) dan mana yang batil (buruk). Kebaikan yang dimaksud di atas adalah kalimat tauhid dan mengikuti sunah-sunah Nabi Muhammad Saw.. Sedangkan keburukan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang menyalahi ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Meskipun begitu, kita sebagai umat Islam juga harus memahami teknis dalam berdakwah. Kita harus mengetahui secara persis kapasitas dan kapabilitas yang kita miliki. Kita hanya boleh mendakwahkan suatu hal yang masih berada dalam kapabilitas kita. Semua ini dilakukan agar kita tidak terjerumus, lebih-lebih menjerumuskan orang lain dalam kesesatan. Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya, Ta’līm al-Muta’allim fī Tharīq at-Ta’allum meriwayatkan satu sajak syair:[3]

فسادٌ كبيرٌ عالمٌ مُتهتِّكٌ … وأكبر منه جاهلٌ متنسِّكُ

هما فتنةٌ للعالمين عظيمة … لمن بهما في دينه يتمسّك

Artinya: Adalah kerusakan besar orang alim yang suka berbuat buruk. Namun lebih besar lagi orang bodoh yang gemar beribadah. Keduanya merupakan fitnah yang besar bagi alam semesta, yaitu bagi orang yang menyandarkan agama pada keduanya.”

Dari sini, kita bisa memahami satu etika dakwah, bahwasanya dakwah seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang kompeten pada bidangnya. Kita harus mengenali mana yang bisa kita dakwahkan dan mana yang tidak. Dakwah juga tidak boleh dipersempit maknanya menjadi hanya sekadar ceramah di atas panggung. Lebih dari itu, dakwah juga bisa diwujudkan dengan cara mengajak orang lain agar jangan membuang sampah di sungai, menyeru untuk memberdayakan masyarakat, mendorong masyarakat untuk terus menjadi bangsa yang religius dan nasionalis secara seimbang, dan sebagainya.

Kemudian, untuk mewujudkan dakwah yang baik, kita juga membutuhkan metode dakwah yang baik. Allah Swt. berfirman:

قَوۡلٞ مَّعۡرُوفٞ وَمَغۡفِرَةٌ خَيۡرٞ مِّن صَدَقَةٖ يَتۡبَعُهَآ أَذٗىۗ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٞ ۝

Artinya: “Perkataan yang baik dan pemberian ampunan itu lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan mengungkit-ungkit. Dan Allah adalah yang Maha Kaya lagi Maha Lembut.” [QS. Al-Baqarah: 263]

Saat menafsirkan ayat ini, Imam Muhammad Al-Qurthubi dalam kitabnya, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, berkata:[4]

وَالْقَوْلُ الْمَعْرُوفُ هُوَ الدُّعَاءُ وَالتَّأْنِيسُ وَالتَّرْجِيَةُ بِمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ هِيَ فِي ظاهرها صدقة وفى باطنها لا شيء. لِأَنَّ ذِكْرَ الْقَوْلِ الْمَعْرُوفِ فِيهِ أَجْرٌ وَهَذِهِ لَا أَجْرَ فِيهَا.

Artinya: “Dan (pengertian) ‘al-Qaul al-Ma’rūf’ adalah doa, keramahtamahan dan pengharapan atas segala sesuatu yang ada di sisi Allah Swt.. (Sedangkan sedekah yang dimaksud dalam) ‘Khaīr min shadaqat’ adalah sedekah luarnya, dan dalam batinnya tidak ada apa-apa. Hal ini karena mengucapkan kata-kata yang baik itu mengandung pahala. Sedangkan sedekah yang tidak disertai niatan yang baik itu tidak mendapat pahala.”

Berdasarkan keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa maksud dari Qaul Ma’rūf’ adalah ungkapan yang baik dan tidak menyakiti pendengarnya, sehingga kebaikan agama dapat diterima oleh semua elemen masyarakat dengan hati yang lapang dan penuh kesadaran, tanpa perlu adanya marah-marah, berkata kotor maupun pemaksaan.

Dengan demikian, ketika kita menjumpai sebagian oknum ustaz yang menerjang batasan-batasan di atas, yaitu sangat bersemangat dalam mendakwahkan apa saja, kepada siapa saja, dengan kapasitas keilmuan yang kita tahu belum seberapa, sebagai seorang muslim, sikap pertama yang harus kita ambil adalah mengapresiasi mereka, karena bagaimana pun juga, mereka tengah berusaha menunaikan salah satu kewajibannya. Namun demikian, kita tidak boleh hanya berhenti di situ. Kita harus melanjutkan langkah kita untuk mengedukasi mereka, tentunya dengan cara-cara yang baik pula, agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Yaitu dengan cara menasihati agar mereka senantiasa mendalami ilmu agama, mengingatkan bahwa mereka mempunyai batasan terkait mana yang bisa dan tidak bisa mereka dakwahkan, serta mengarahkan bahwasanya dakwah tidak melulu harus bersifat simbolik, seperti berceramah dari mimbar ke mimbar. Kita pun bisa berdakwah secara substansial, yaitu dengan cara menerapkan dan mencontohkan hal baik pada diri kita sendiri.

Segala upaya di atas kita lakukan karena kita sadar bahwa mereka tengah berproses. Kita perlu mengapresiasi upaya mereka untuk semakin mengenal dan menyiarkan agama Allah Swt.. Kita juga berkewajiban untuk mendengarkan kebaikan dari siapa pun dan dari mana pun kebaikan itu datang. Dan pada akhirnya, kita juga bertanggungjawab untuk saling mengingatkan di dalam kebaikan dan kesabaran. Bukankah demikian cara kita memaknai ukhuwwah islâmiyyah?

 

 

 

Penulis             : Mahatma Falihuddin Daffa

Editor              : Tim Notulen Kelas Dirasat Kontemporer

Musyrif           : Muhammad Mirza

 

 

 

 

Referensi:

[1] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LKiS, Cet. VII, 2011, Hlm. 119.

[2] Muhammad Nawawi al-Bantani, Marāh Labīd li Kasyfi Ma’na Qur’ān Majīd, Beirut, Dar el-Kotob Al-Ilmiyah, 1996, Vol. 1, Hlm. 145.

[3] Al-Imam Burhanuddin Az-Zarnuji, Ta’līm al-Muta’allim fi Tharīq at-Ta’allum, Beirut, Ibn Katheer, 2014, Hlm. 41.

[4] Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, Kairo, Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964, Vol. 3, Hlm. 309.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *