Niat dalam Menuntut Ilmu

Niat dalam Menuntut Ilmu

 

Ilmu menempati posisi yang sangat penting dalam agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan firman Allah Swt. yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu perintah membaca. Membaca sendiri merupakan gerbang awal bagi ilmu. Ilmu inilah yang nantinya akan menjadi bekal bagi manusia untuk mengarungi kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam agama Islam, menuntut ilmu dikategorikan sebagai ibadah yang sangat penting. Karena dengan ilmulah agama Islam bisa terjaga. Ada sekian dalil yang bisa menunjukkan hal tersebut, di antaranya:

وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِیَنفِرُوْا كَاۤفَّةࣰۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرۡقَةࣲ مِّنۡهُمۡ طَاۤىِٕفَةࣱ لِّیَتَفَقَّهُوْا فِي ٱلدِّینِ وَلِیُنذِرُوْا قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوْا إِلَیۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ یَحۡذَرُوْنَ ۝

Artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Alangkah baiknya bila ada sebagian golongan di antara mereka yang pergi untuk memperdalam agama, kemudian mengajar kaumnya apabila mereka telah kembali, supaya masing-masing dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Dalam memahami ayat ini, Imam Al-Qurthubi—seorang mufasir besar dari Cordova, Andalusia—menjelaskan dalam kitabnya Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Beliau berkata:

«الثَّانِيَةُ: هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي وُجُوبِ طَلَبِ الْعِلْمِ، لِأَنَّ الْمَعْنَى: وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مقيم لا ينفر فيتركوه وحده. “فَلَوْ لا نَفَرَ” بعد ما عَلِمُوا أَنَّ النَّفِيرَ لَا يَسَعُ جَمِيعَهُمْ. “مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طائِفَةٌ” وَتَبْقَى بَقِيَّتُهَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَحَمَّلُوا عَنْهُ الدِّينَ وَيَتَفَقَّهُوا، فَإِذَا رَجَعَ النَّافِرُونَ إِلَيْهِمْ أَخْبَرُوهُمْ بِمَا سَمِعُوا وَعَلِمُوهُ. وَفِي هَذَا إِيجَابُ التَّفَقُّهِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ»

Artinya: “Poin kedua: Ayat ini adalah dasar dari kewajiban menuntut ilmu. Karena arti dari ayat ini adalah tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang) sedangkan Nabi Muhammad Saw. itu tetap tinggal dan tidak selalu ikut ke medan perang, sehingga (jika para sahabat pergi ke medan perang semuanya) para sahabat akan meninggalkan nabi sendirian. Maka alangkah baiknya, ada orang yang tidak pergi (ke medan perang), setelah mereka mengetahui bahwasanya tidak semua orang diwajibkan pergi berperang. Sebagian golongan di antara mereka (sebaiknya tetap tinggal) dan berada di sisi nabi untuk menerima dan mendalami agama. Lalu, ketika para pejuang telah pulang, mereka mengajarkan apa yang telah mereka dengar dan mereka pelajari (dari Nabi) kepada para pejuang tersebut. Dari sinilah, (disimpulkan) dalil kewajiban memahami al-Qur’an dan Sunah.” [1]

Dari penafsiran di atas, kita bisa memahami, bahwa mencari ilmu adalah suatu ibadah yang menempati posisi penting di dalam agama Islam. Ia bahkan setara dengan jihad fî sabîlillâh. Dan yang perlu digarisbawahi, mencari ilmu agama tidak boleh dilakukan dengan hanya niat-niat duniawi saja, seperti hanya untuk mendapatkan ijazah, mendapatkan pekerjaan bagus, mencari uang, mendapatkan gelar dan sejenisnya. Hal-hal semacam ini mungkin ada baiknya jika dimaknai sebagai rezeki yang mengikuti ahl al-‘ilm, bukan menjadi tujuan utama (ghâyah) mencari ilmu. Sebab, mempelajari suatu ilmu, khususnya ilmu agama, harus didasari oleh niat untuk mencari rida Allah Swt. dan melaksanakan kewajiban mencari ilmu.

Terkait hal ini, Nabi Muhammad Saw. telah memberikan rambu-rambu, sejauh mana niat itu dianggap patut dan layak untuk memotivasi seseorang dalam menuntut ilmu. Nabi Muhammad Saw. bersabda:

«‌مَنْ ‌تَعَلَّمَ ‌عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا ‌مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Artinya: “Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya dipelajari  untuk memperoleh rida Allah Swt., (akan tetapi) dia tidak mencari ilmu tersebut kecuali hanya untuk memperoleh harta  duniawi, maka dia tidak akan bisa mendapati aroma surga.” [2]

Dari hadis tersebut, bisa diambil sebuah pemahaman, bahwa mencari ilmu, khususnya ilmu agama, seharusnya hanya ditujukan untuk mencari rida Allah Swt. semata. Tidak boleh dilakukan hanya untuk mendapatkan hal-hal duniawi saja. Meskipun, ya, apabila terdapat motivasi-motivasi duniawi yang muncul setelah seseorang berniat belajar untuk mencari rida Allah Swt., hal itu tetap dianggap tidak masalah, selama tujuan utamanya masih untuk memperoleh rida Allah Swt.. Selama tujuannya bukan duniawi saja.

Misalnya, seseorang yang sudah berniat mencari ilmu untuk memperoleh rida Allah Swt., kemudian dalam benaknya muncul beberapa motivasi lain, seperti mendapatkan ijazah. Hal ini masih dalam koridor diperbolehkan. Karena mendapatkan ijazah di sini bukanlah motivasi satu-satunya. Apalagi jika ijazah itu hanya ia posisikan sebagai wasilah untuk menyebarkan ilmu dalam skala yang lebih luas. Bahkan, jika nanti ia mendapatkan harta yang berlimpah karena hal tersebut pun juga tidak apa-apa, ia boleh mengambilnya. Dr. Mustafa Said Al-Khin—seorang ahli fikih bermazhab Syafii dari negeri Syam—dalam kitabnya Nuzhah al-Muttaqîn Syarh Riyâdh as-Shâlihîn min Kalâm Sayyid al-Mursalîn menegaskan:

أفاد الحديث: وجوب الإخلاص في طلب العلم، وأن يكون القصد منه إرضاء الله عز وجل. من طلب العلم لله تعالى وجاءه الدنيا تبعا جاز له أخذها ولم يضره ذلك.

Artinya: “Hadis (di atas) memberikan pemahaman, bahwasanya seseorang harus ikhlas dalam mencari ilmu, dan hendaknya tujuan yang ingin ia capai adalah rida Allah Swt.. Adapun jika ada seseorang yang menuntut ilmu, kemudian hal-hal duniawi mengikutinya, maka ia diperkenankan untuk mengambilnya. Hal itu tidak membahayakannya. [3]

Poin penting yang dapat kita pelajari dari hadis di atas adalah ketika dalam kondisi belajar, seseorang tidak boleh memiliki niat hanya untuk mencari/memperoleh sesuatu yang bersifat duniawi saja, kemudian mencukupkan niatnya hanya pada hal tersebut. Sebab pada hakikatnya, selain menjadi motivasi, niat juga menjadi pengendali dalam diri seseorang. Ia akan mempengaruhi langkahnya, baik sebelum maupun sesudah ilmu tersebut diperoleh. Jika sedari awal niat belajarnya hanya untuk memperoleh hal-hal duniawi saja, bahkan ketika ia tengah mempelajari ilmu agama, lantas bagaimana ketika ia telah menguasainya kelak?

 

 

Penulis: Muhammad Ulil Albab

Tim Editor: Kelas Dirasat Kontemporer

Musyrif: Muhammad Mirza

 

 

Referensi:

  1. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshari Al Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo, Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2014, Vol. 8, Hlm.
  2. Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riyâdl as-Shâlihîn min Kalâm Sayyid al-Mursalîn, Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2010, Hlm. 359.
  3. Mustafa Said Al-Khin, Nuzhah al-Muttaqîn Syarh Riyâdh as-Shâlihîn min Kalâm Sayyid al-Mursalîn,Beirut, Muassasah ar-Risalah, 1987, Hlm. 958.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *