Dalam fiqh mazhab syafi’i, pembahasan haid tidak hanya berkaitan dengan darah yang keluar, tetapi juga memunculkan pertanyaan unik: bagaimana hukum bagian tubuh yang terlepas seperti kuku, rambut, atau kulit mati dari perempuan yang sedang haid? Meski sama-sama ulama besar dalam mazhab syafi’i, Imam al-Ghazali dan Imam Nawawi memiliki pandangan berbeda mengenai hal ini.
Haid didefinisikan sebagai darah yang keluar dari vagina perempuan pada usia sembilan tahun ke atas, dalam keadaan sehat, bukan karena sakit atau melahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Fath al-Qarīb:
فالحيض هو) الدم (الخارج) في سن الحيض، وهو تسع سنين فأكثر (من فرج المرأة على سبيل الصحة)، أي لا لعلة، بل للجبلة (من غير سبب الولادة). [1]
“Haid adalah darah yang keluar pada usia haid sembilan tahun atau lebih dari vagina perempuan, dalam keadaan sehat dan bukan karena kelahiran.” Masa haid paling sedikit adalah sehari semalam (24 jam berturut-turut), paling lama 15 hari 15 malam, dan umumnya berlangsung enam hingga tujuh hari. Berikut disebutkan juga dalam Fath al-Qarīb:
(وأقل الحيض) زمنا (يوم وليلة)، أي مقدار ذلك، وهو أربة وعشرون ساعة على الاتصال المعتاد في الحيض. (وأكثره خمسة عشر يوما) بليالها، فإن زاد عليها فهو استحاضة. (وغالبه ست أو سبع). والمعتمد في ذلك الاستقراءُ.[2]
Artinya :” Adapun batas minimal masa haidl adalah sehari semalam, artinya ukuran sehari semalam, yakni dua puluh empat jam secara bersambung yang biasa tidak harus darah keluar dengan deras- di dalam haild. Sedangkan batas maksimal masa haidl adalah lima belas hari lima belas malam. Jika darah keluar melebihi masa tersebut, maka disebut dengan darah istihadlah. Adapun masa umum-nya darah haidl yang sering terjadi adalah enam atau tujuh hari. Yang dibuat tendensi dalam hal ini adalah riset/penelitian (dari imam Syafi’i).”
Setelah masa haid berakhir, terdapat kewajiban mandi besar sebagai bentuk penyucian diri.
Dalam Kitab at-Tahqiq disebutkan bahwa:
وهو – لغة – : سيلان الماء ، و – شرعاً – : سيلانه على جميع البدن شعراً وبشراً مع النية.[3]
“Mandi secara bahasa berarti mengalirkan air, dan secara syar’i berarti mengalirkan air ke seluruh tubuh, baik rambut maupun kulit, disertai niat.”
Dari sinilah timbul pertanyaan: jika pada masa haid ada bagian tubuh yang terlepas, apakah bagian tersebut wajib disucikan saat mandi besar? Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin berpendapat bahwa:
وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَلِّمَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً وَيُقاَلُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجِناَبَتِهَا[4]
“Tidak seyogyanya seseorang mencukur rambut, memotong kuku, atau membuang bagian tubuh ketika berjunub. Alasannya, seluruh bagian tubuh akan dikembalikan di akhirat, dan setiap rambut akan menuntut junub yang ada padanya. Pandangan ini menekankan sikap kehati-hatian agar tidak meninggalkan najis yang melekat pada anggota tubuh.”
Berbeda dengan itu, Imam Nawawi dalam Kitāb at-Tahqīq dan Raudhatut Thalibin membolehkan memotong rambut atau kuku saat berjunub atau haid, asalkan bagian tubuh yang tersisa tetap dibasuh dengan sempurna. Jika rambut yang dicabut belum terkena air pada akarnya, maka wajib menyampaikan air ke bagian tersebut. Menurut pendapat yang lebih sahih, cukup membasuh bagian tubuh yang masih ada, sedangkan yang sudah terlepas tidak perlu dibasuh lagi.
Dalam Kitāb at-Tahqīq yakni:
ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات فحلقها أو نتفها … وجب غسلموضعها . وقيل : لا ، كمن توضأ وترك رجله فقطعت (۱) ، والشعرة المنعقدة يعفى عن عقدها ، وقيل : يجب قطعها .[5]
“Jika ia membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut, lalu rambut tersebut ia cukur atau ia cabut… maka wajib membasuh tempatnya. Ada pendapat yang mengatakan: tidak wajib, seperti orang yang berwudhu lalu meninggalkan (membasuh) kakinya, kemudian kakinya itu terpotong. Rambut yang terikat (terbelit) dimaafkan ikatannya, dan ada pendapat yang mengatakan: wajib memotongnya.”
Adapun dalam kitab Raudlatu at-Thalibin, yakni:
ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت والله أعلم[6]
“Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, ‘Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.’ Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan: ‘Wajib membasuh bagian yang tampak saja.’ Pendapat ini lebih sahih. Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.”
Kedua pendapat ini sama-sama memiliki dasar yang kuat, dan sesuai kaidah al-ijtihadu la yunqodu bil ijtihad yakni suatu ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lain. Pendapat Imam al-Ghazali cocok dipegang bagi mereka yang ingin lebih berhati-hati, meski memerlukan ketelatenan. Sementara pendapat Imam Nawawi lebih memudahkan masyarakat awam agar tidak merasa terbebani.
Memahami perbedaan ini membantu kita memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi masing-masing, sekaligus menumbuhkan penghargaan terhadap keragaman pandangan para ulama. Dengan begitu, ibadah tetap terlaksana dengan benar tanpa mengabaikan kemudahan maupun kehati-hatian.
[1] Abi Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghazi, Fath al-Qarīb al-Mujīb fī Syarhi Alfādhi at-Taqrīb, (Damascus: Muassisatur Risalah Nasyirun, 2023), hlm. 126
[2]Abi Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghazi, Fath al-Qarīb al-Mujīb fī Syarhi Alfādhi at-Taqrīb, (Damascus: Muassisatur Risalah Nasyirun, 2023), hlm. 126
[3] Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Kitāb at-Tahqīq, (Beirut: Maktabah Darr al-Fajr, 2020), hlm. 106
[4] Al-Ghazali, A. H. (t.t.). Ihyā’ ‘Ulūmiddīn. Dikutip dari https://app.turath.io/book/9472?page=411
[5] Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Kitāb at-Tahqīq, (Beirut: Maktabah Darr al-Fajr, 2020), hlm. 112-113
[6] An-Nawawi, A. Z. M. Y. b. S. (1991). Raudlatu at-Thālibīn wa ‘Umdatu al-Muftīn. Dikutip dari https://app.turath.io/book/499?page=89
