Pendidikan Islam merupakan sarana untuk mengembangkan ide, memperbaiki dan mengarahan tingkah laku manusia agar memliki akhlakul karimah. Melebatkan manfaat antar sesama manusia, dan wasilah supaya manusia bisa menggunakan potensinya dalam menggapai tujuan hidup di dunia maupun akhirat dengan Iqra’ bismirabbik yakni membaca tanda-tanda di alam semesta dengan menyebut nama Allah. Dalam Islam, akidah berfungsi sebagai pengikat keimanan manusia kepada Tuhannya yang wajib diyakini sehingga tercipta tabiat normatif yang diatur oleh syariat Islam. Jika kembali pada tujuan penciptaan manusia sebagai “abdun” serta “khalifah” di muka bumi ini. Tentu landasan akidah, syariah, ibadah, dan akhlak berguna sebagai pendorong manusia kedepannya agar manusia menjadi pribadi yang optimis dan penuh kesadaran akan eksistensinya di alam semesta.
Perkembangan anak di usia remaja rentan dipengaruhi oleh hal-hal baru termasuk perubahan zaman ini. Oleh sebab itu, tidak hanya orang tua saja, tetapi masyarakat juga memiliki tanggungjawab bersama bahu membahu dalam mengawal perkembangan anak demi terwujudnya cita-cita menjadi pribadi yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, lingkungan sekitar, bangsa, agama dan negara. Jelas kiranya bahwa agama Islam tidak seluruhnya bersifat dogmatis, karena selalu memberi peluang pada umatnya untuk memikirkan masalah-masalah, untuk menemukan jawaban yang terbaik dalam menggapai ridha Allah swt. Dekadensi moral yang melanda generasi remaja sudah terjadi dari tahun ke tahun. Selain faktor ekonomi dan juga pendidikan, krisis moral identik dengan jauhnya individu tersebut dengan agama. Apabila hal semacam ini dianggap biasa dan dibiarkan oleh orangtua serta pihak-pihak lainnya tanpa adanya tindakan preventif, maka tidak mustahil bakal sulit mengatur dan mengarahkan kelakuan anak anaknya. Sebagai puncaknya akan kehilangan jati diri bangsa dan negara, khusunya Indonesia.[1]
Selanjutnya, Pesatnya teknologi secara langsung maupun tidak langsung memberikan efek pada tumbuh kembang generasi muda di era millenial ini.[2] Kemajuan di bidang pendidikan, didukung oleh teknologi yang membuat ilmu pengetahuan semakin mudah untuk diakses siapa saja, pada bidang kesehatan kemajuan teknologi membawa angin segar bagi pengobatan yang zaman dulu dianggap mustahil kini menjadi bisa diobati dan sejumlah dampak positif lainnya. Namun, era disrupsi juga membawa sejumlah dampak negatif, salah satunya kemerosotan moral remaja. Kemorosotan moral yang sangat tajam tercermin dari meningkatnya jumlah kejahatan yang dilakukan oleh remaja. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan dengan smartphone dan sosial medianya. Sejumlah informasi dan konten yang tersebar di media sosial dan di internet terlalu banyak dan bias, jika tidak tersaring dengan benar maka menjadi konten yang membahayakan seperti konten pornografi, kekerasan, dan kriminalitas.[3]
Pendidikan agama Islam memiliki peran sentral dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya kemerosotan moral pada remaja di Era disrupsi. Perubahan pendekatan pengajaran dan konsep pendidikan harus diubah agar sejalan dengan perkembangan zaman. Konsep pengajaran agama harus digeser yaitu dengan memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang. Tiga aspek sistem pembelajaran yang dapat dikembangkan yakni media pembelajaran, materi pembelajaran dan tenaga pendidik. Media dan materi pembelajaran dapat menggunakan teknologi seperti pembelajaran berbasis media dan online, sedangkan tenaga pendidik perlu meningkatkan kualitasnya terkait pemahaman akan teknologi.
Tawaran solusi dari penulis antaralain: (1) Dalam mencegah krisis moralitas remaja, konsep pendidikan Islam harus kembali kepada paradigma ‘spiritualitas Al Qur’an’ dengan instrumen metodologinya berupa logika aqliyah, qolbiyah, dan tafakkur insaniyah; (2) Inovasi Pendidikan Islam perlu diwujudkan tanpa menghilangkan (mendisrupsi) nilai-nilai luhur lama yang sudah eksis sebelumnya; (3) Pemanfaatan teknologi pendidikan dalam proses pembelajaran di era disrupsi menjadi mutlakwajib dimiliki pendidik melalui peningkatan kualitas SDM pada pendidikan informal atau keluarga (orangtua), pendidikan nonformal melalui pemberdayaan masyarakat relijius seperti TPQ/Madin/Pesantren/Majelis Ta’lim, dan pendidikan formal sekolah/madrasah/ perguruan tinggi. Jadi, perlu adanya sinergi antar institusi baik swasta maupun negeri (pemerintah) dalam mendukung kesiapan paradigma baru pendidikan Islam di era disrupsi karena aspek keteladanan tidak akan tergantikan oleh adanya teknologi.
[1] Abdul Khobir, “Pendidikan Agama Islam Di Era Globalisasi,” Edukasia Islamika 7, no. 1 (2009). Hlm 115-132
[2] Renald Kasali, Disruption. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017). Hlm 23
[3] Aomat Muhkadis. Sosok Manusia Indonesia Unggul Dan Berkarakter Dalam Bidang Teknolgi Sebagai Tuntutan Hidup Di Era Globalisasi.” Jurnal Pendidikan Karakter 2 (2) 2009. Hlm 59-72
Asa Wafda Tazkiya,
Santri Semester 4 Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda