Oleh: Muhammad Abu Bakar Minatullah
(Santri Ma’had Aly PMH Semester VI)
Tidak bisa diabaikan begitu saja bahwa ulama dan santri memainkan peran penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dan memperjuangkan harga diri rakyat pada masa penjajahan. Mereka memberikan keyakinan dan keberanian kepada rakyat untuk melawan kaum kolonial Barat, baik melalui gerakan perlawanan bersenjata maupun jalur diplomasi. Bagi pesantren, kemerdekaan Indonesia adalah harga diri, cita-cita, dan kemanusiaan, serta merupakan rahmat Allah bagi umat Islam. Perjuangan ulama dalam membela Indonesia tidak hanya didasarkan pada emosi, tapi juga ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan strategi. Mereka menularkan ilmu dan semangat membela tanah air dengan fatwa jihad kepada santri, serta memberikan kekuatan spiritual dan strategi dalam menghadapi penjajah. Hal ini selaras dengan asumsi dan nilai-nilai dasar yang menjadi kerangka dasar bangsa ini, bahwasannya Indonesia merupakan bangsa dengan masyarakat yang terbentuk atas dasar kebhinekaan (keberagaman) yang tentunya menjadi landasan kuat dan paling mendasar dari semangat perjuangan.
Salah satu peran penting santri dan pesantren dalam kontribusinya terhadap kemerdekaan adalah ketika tentara Jepang memobilisasi tentara Pembela Tanah Air (PETA) untuk melawan tentara Belanda sedangkan para kiai dan santri menciptakan tentara Hizbullah dengan bersenjatakan bambu runcing atas inisiatif Kyai Subki atau lebih masyhur dikenal dengan Mbah Subki.
Tidak henti-hentinya kalangan kiai dan santri memperjuangkan Indonesia agar terbebas dari para penjajah. Meskipun Indonesia telah diproklamirkan sebagai negara merdeka, akan tetapi masih terdapat masalah yang belum selesai yakni, sebagian negara termasuk Belanda tidak mengakui kedaulatan negara Indonesia akibatnya Indonesia mulai diserang kembali Belanda dan sekutunya. Oleh karena itu para kiai se-Jawa dan Madura merencanakan pertemuan yang dipimpin langsung oleh Kyai Hasyim Asy’ari.
Pada tanggal 22 Oktober 1945, seruan Resolusi Jihad dikeluarkan oleh ulama-santri dari berbagai daerah di Surabaya sebagai respons atas panggilan untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajah. Resolusi jihad tersebut tidak semata-mata dimaksudkan sebagai perjuangan membela agama Islam saja, tetapi juga membela kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berbekal fatwa jihad yang diteguhkan dalam Resolusi Jihad tersebut, para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Resolusi yang diserukan langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari berisi perintah untuk berjuang mempertahankan tegaknya Republik Indonesia yang sifatnya jihad fi sabilillah serta mempunyai hukumnya fardhu ‘ain atau wajib bagi setiap orang Islam di Indonesia, mempunyai dampak yang sangat luar biasa, hal ini terlihat dari penguatan kembali laskar Hizbullah yang dibentuk pada zaman Jepang dan pembentukan laskar militer seperti laskar Sabilillah. Selain itu para kiai atau ulama kemudian mengirimkan para santrinya untuk bergabung dengan laskar militer seperti Hizbullah dan Sabilillah untuk ikut berjuang dalam mempertahankan kemederdekaan Indonesia. Guna mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia maka para ulama bersama para santrinya ikut angkat senjata dalam organisasi kemiliteran, baik dalam laskar Hizbullah, Sabillilah bersama BKR,TKR, TRI dan TNI selama perang kemerdekaan 1945-1950, melawan Tentara Sekutu Inggris dan NICA. Dan banyak dari para ulama menjadi tokoh sentral baik dalam kepemimpinan laskar militer ataupun sebagai penggerak santri atau masyarakat untuk ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kegiatan pondok pesantren pada masa itu tidak hanya terbatas pada pelatihan perang dan olah fisik, tetapi juga meliputi peristiwa-peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial. Para kiai, para haji, dan guru ngaji merupakan pemimpin dalam pelopori perlawanan tersebut.