PESANTREN MEMAKNAI RELASI AGAMA (ISLAM) DAN BUDAYA Oleh: Dr. KH. Ahmad Dimyati, M.Ag.

PESANTREN MEMAKNAI RELASI AGAMA (ISLAM) DAN BUDAYA

Dr. KH. Ahmad Dimyati, M.Ag.*)

 

Pendahuluan

Corak masyarakat Indonesia yang religius menempatkan agama pada posisi yang sangat penting. Hal itu terbukti dengan keberhasilan agama melembaga dalam berbagai institusi sosial di tengah-tengah masyarakat, tidak dibatasi pada wilayah privat. Bahkan, agama menjadi unsur pembentuk budaya masyarakat Indonesia, sehingga tidak memberi ruang sedikitpun bagi berkembangnya paham ateis. Pada masyarakat yang demikian inilah mempertanyakan relasi agama dan budaya selalu menemukan relevansinya, baik secara konseptual maupun untuk kepentingan mengurai problem sosial yang faktual. Secara konseptual, diskusi tentang relasi agama dan budaya berfungsi memberikan penjelasan pola-pola perilaku masyarakat Indonesia sebagai masyarakat religius (pattern of). Sedangkan secara praktis, memahami pola relasi keduanya dapat memberikan tawaran-tawaran konkret yang dapat diambil sebagai tindakan mengurai benturan antara agama dan budaya yang kerap kali mengemuka di masyarakat (pattern for).

Pada masyarakat pesantren, relasi agama dan budaya tidak saja terjadi karena kedudukan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam). Lebih dari itu, pesantren telah menjelma menjadi unsur budaya (baca: sub culture) yang memberi warna khas masyarakat Idonesia. Pengaruh pesantren melalui ajaran (teaching), perilaku komunitas (behaviour),  peran (role) dan pelaku-pelaku di dalamnya (actor) berhasil melahirkan identitas Islam khas Indonesia yang membedakan dengan Islam di negara lain. Identitas tersebut terbentuk melalui proses panjang yang melibatkan hubungan secara intens antara agama dan budaya dimana tidak jarang terjadi benturan dan pasang-surut yang silih berganti.

Menguatnya posisi pesantren dalam relasi agama dan budaya di Indonesia membawa tantangan tersendiri bagi komunitas pesantren, yakni bahwa mereka harus mampu mendefinisikan dan mempertahankan identitasnya sekaligus memperluas perannya dalam menyahuti setiap permasalahan yang muncul di tengah masyarakat, seperti keadilan, kemiskinan, pendidikan dan sebagainya. Meminjam istilah Abdolkarim Soroush (2000:63), komunitas pesantren menghadapi problem lokal  (local problems) dan problem global (universal problems). Kedua problem inilah yang harus dijawab pesantren, terlebih ketika pesantren menghadapi tantangan keras berupa reaksi publik yang mengusung corak keberagamaan berbeda dengannya dengan menempatkan permasalahan tersebut pada posisi relasi agama dan budaya yang menjadi frame pada tulisan ini.

Pasang Surut Relasi Agama dan Budaya di Indonesia

Sesungguhnya dalam kultur masyarakat Indonesia agama dan budaya selalu berhubungan secara intens, baik ketika keduanya saling memberikan keuntungan (simbiosis mutualisme) maupun pada saat tensi tinggi mewarnai hubungan tersebut. Dengan demikian antara keduanya tidak pernah terjadi hubungan yang benar-benar independen. Intensitas hubungan yang terjalin antara keduanya sudah terbentuk sudah sejak lama. Dalam konteks Islam, secara historis hubungan tersebut dapat ditelusuri dari proses kedatangannya di Indonesia yang memilih pola islamisasi alih-alih arabisasi (Abdurrahaman Wahid, 2006: 243). Pola islamisasi memberikan tingkat penerimaan lebih mendalam di kalangan masyarakat karena tidak memberangus budaya setempat dan pada gilirannya memperkuat hubungan Islam dan budaya lokal. Islam membaur dengan budaya fisik lokal dalam bentuk bangunan masjid bahkan tata ruang wilayah, melahirkan sistem hukum seperti Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Undang-undang Haji, sampai sistem peribadatan dalam ritual-ritual perkawinan, kelahiran, kematian dan sebagainya.

Pola islamisasi budaya lokal ini pula yang menjadi keberhasilan pesantren sebagai perwujudan Islam Indonesia melebur dengan budaya masyarakat sekitarnya. Relasi pesantren-budaya selama berabad-abad pada gilirannya menjadi jembatan yang mempertemukan unsur-unsur agama (Islam) dengan budaya masyarakat dan menciptakan ingatan serta nilai kolektif sebagai mekanisme melahirkan dan mempertahankan “budaya baru”, yakni budaya pesantren. Dalam budaya baru ini unsur-unsur agama mendeskirpsikan dirinya pada sistem ajaran (canon), pengkultusan tokoh (cult),  sistem budaya (culture), serta sistem sosial komunitasnya (community).

Akan tetapi harus diakui bahwa hubungan Islam dan budaya di Indonesia tidak  selalu mesra. Bahkan dalam satu dasawarsa terakhir relasi Islam dan budaya menghadirkan ketegangan yang cukup tinggi. Hadirnya paham Islam dengan watak keras, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung isu khilafah, Front Pembela Islam (FPI) dengan isu formalisasi syariat dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan konsep negara islam-nya telah merusak harmoni yang terjalin lama. Bahkan meskipun berbagai organisasi keagamaan tersebut telah merubah pendekatannya dari formalisasi syariat (formalized shari’ah) pada level negara menjadi islamisasi keluarga dan kelompok masyarakat (islamized space) (Kunawi Basyir, Desember 2017: 306), tetap tidak mampu mengembalikan “relasi yang terkoyak” tersebut pada kondisi semula. Dalam kondisi seperti ini, peran pesantren yang memiliki relasi sangat kuat dengan budaya masyarakat dituntut mampu mengupayakan tebentuknya integrasi sosial.

Modalitas Pesantren dalam Membentuk Integrasi Sosial

Dalam pandangan Bikhu Parekh (2008:84-87), integrasi sosial dapat terjadi jika hanya dipenuhi tiga syaratnya, yaitu: Pertama, adanya kesepakatan terhadap nilai kolektif (moral contract) yang bersifat mendasar dan krusial di kalangan masyarakat. Kedua, bersama-sama dengan individu-individu nilai kolektif tersebut terlembaga dalam berbagai unit sosial sehingga memiliki daya kontrol dan memungkinkan terbentuknya mekanisme pengawasan di antara para anggota masyarakat. Ketiga, terjalin interdependensi hubungan antar kelompok sosial yang terbentuk, terutama dalam membantu pemenuhan ekonomi dan sosial secara menyeluruh.

Ketiga syarat ini dapat dipenuhi pesantren sehingga ia diharapkan berperan dalam mengembalikan relasi islam-budaya yang produktif dalam rangka menciptakan integrasi sosial. Ada beberapa modal penting yang dimiliki pesantren untuk peran tersebut:

Pertama, jumlah pesantren yang mencapai 25.938 unit dengan jumlah santri sebanyak 3.962.700 orang (http://pbsb.ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/),  tidak dapat dipungkiri eksistensi pesantren dalam struktul sosial Islam Indonesia. Kedua, pesantren memiliki corak pemikiran toleran yang menjadi watak dominan Islam-Indonesia. Doktrin al-muhafadhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdh bi al-jadid al-ashlah menjadikan pesantren memiliki kemampuan menembus labirin budaya masyarakat melalui cara-cara persuasif dan damai (Zakiya Darajat, Januari 2015: 80). Ketiga, pesantren memiliki warisan intelektual dalam bentuk kitab kuning, terutama karya ulama nusantara yang tidak hanya dikaji hingga saat ini, tetapi menjadi sistem nilai yang selalu aktual. Keempat, jaringan ulama pesantren yang secara bersambung dengan ulama di Arab sebagai asal muasal agama Islam memberikan legitimasi otoritatif tentang islam-indonesia, khususnya pesantren.  Selain itu, beberapa pesantren juga mewariskan budaya fisik seperti bangunan  masjid dan pondok maupun non fisik seperti tarekat yang juga punya andil penting dalam mengembalikan peran pesantren memperbaiki relasi agama-budaya di tengah-tengah masyarakat.

Penutup

Pembacaan pesantren terhadap relasi agama-budaya menempatkannya_sebagai perwujudan agama (islam)_mampu secara intens berinteraksi dengan budaya setempat dan menciptakan budaya baru. Hal ini menjadi modal penting bagi pesantren dalam menata ulang relasi agama-budaya di Indonesia yang akhir-akhir ini terkoyak akibat penetrasi paham keislaman yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat. Untuk kepentingan tersebut, pesantren harus mampu mengkonversi modalitas yang dimiliki, baik modal material (struktur) maupun non material (kultur) agar dapat berfungsi secara efektif. Hal ini sangat tergantung kepada aktor-aktor yang terlibat dalam pesantren itu sendiri. Artinya, diperlukan kesadaran dan inisiatif pesantren dalam mengambil peran nyata dalam masyarakat melalui berbagai saluran-saluran yang disediakan dalam masyarakat. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

 

Bibilografi

Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam: Essential Writing of Abdolkarim Soroush, Oxford, Oxford University Press, 2000.

Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Kita, Islam Anda; Agama Masyarakat Demokrasi, Jakarta, The Wahid Instititute, 2006.

Bikhu Parekh, A New Politics of Indentity, New York, McMillan, 2008.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana Prenada Media group, 2008.

http://pbsb.ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/

Kunawi Basyir, “Perjumpaan Agama dan Budaya: Melacak Konsep dan Ideologi Gerakan Keagamaan di Indonesia”, Kalam, Vol. 11, Nomor 2, desember 2017, hlm. 299-328.

Zakiya Darajat, “Warisan Islam Nusantara”, Al-Turas, Vol. XXI, No. 1, Januari 2015, hlm. 71-91.

 

*) Beliau adalah Muhadir pengampu mata kuliah Sosiologi Hukum Islam dan Islam dan Budaya Lokal

NB : Tulisan ini pernah dipublikasikan pada buletin mahally edisi ke-dua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *