Dalam struktur kelembagaan Maslakul Huda, Pesilba ( pesantren putri al-badi’iyah) merupakan satu dari dua lembaga pendidikan yang dimilikinya. Sebagaimana disinggung diatas dalam sistem pendidikan yang digagas Maslakul Huda tarbiyah merupakan salah satu pilar terpenting dalam mewujudkan insan mandiri, yaitu melalui berbagai aktifitas dan program yang dilakukan didalamnya. Dalam proses berdirinya, pesilba tidak lahir begitu saja namun melalui beberapa proses tahapan yang cukup panjang apalagi jika dilihat keterpautan berdirinya dengan pesantren putra.
Hal ini dikarenakan pada dasarnya mengelola dan mendidik santri putri lebih berat dibanding santri putra. Berat dalam arti kata bahwa secara psikologis dan sosial problematika dalam mendidik santri putri lebih rumit dan kompleks. Setelah dianggap cukup mampu dan sudah saatnya untuk medirikan pesantren putri, KH.MA. Sahal Mahfudh baru memberikan izin kepada istri beliau Hj. Nafisah Sahal untuk mengelola pesantren putri yang pada saat itu mendapat isyarat melalui mimpi beliau ketemu dengan KH. Fattah ayah beliau pengasuh pesantren al-fatimiyyah Jombang dan KH. Mahfudh Salam mertua beliau. Karena pada saat itu dipandang sudah saatnya dan telah ada kesiapan akhirnya dengan restu KH.MA. Sahal Mahfudh berdirilah pesantren putri.
Proses rintisan telah dimulai ketika Ibu Nafisah Sahal pindah ke kediaman yang sekarang dengan keikutsertaan beberapa keponakan pengasuh yang sekolah di Matholi’ul Falah sekitar tahun 1972, karena pada waktu itu belum ada tempat khusus, mereka menempati ruang yang ada di ndalem pengasuh. Lambat laun selain sanak saudara dan kerabat dekat pengasuh banyak yang menitipkan anaknya kepada beliau, untuk memenuhi tuntutan itu dibangunlah mushola sederhana baru pada tahun 1976 dan berdirilah pesantren putri yang diberi nama pesantren putri Al-badi’iyah yang populer dengan sebutan PESILBA.
Sejak awal pengasuh mensyaratkan setiap santri putri yang ingin menjadi peserta didik di PESILBA harus mengikuti pendidikan madrasah di Matholi’ul Falah, hal ini dimaksudkan selain untuk memudahkan dalam mengatur dan membinanya juga sebagai bentuk kebijakan yang berhubungan dengan karakter dan penyesuaian kurikulum antara PESILBA dan Matholi’ul Falah, karena memang keduanya saling melengkapi dan menunjang dalam setiap program dan materi yang diajarkan.
Sistem pengelolaan dan penangan yang diberlakukan di PESILBA dan PMH Putra sangat berbeda meskipun secara substansial sama yaitu dalam rangka pembentukan karakter dan perilaku peserta didik yang mandiri dan bertanggung jawab serta berwawasan luas. Hal ini ditempuh karena secara psikologis dan sosial antara putra dan putri memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Contoh sederhana dari segi pergaulan dan kebebasan dalam berkomunikasi dengan pihak luar, santri putri menjelang magrib sudah tidak diperkenankan keluar dari komplek pesantren, untuk itu bangunan gedung fisik pesantren putri untuk kepentingan tersebut sangat tertutup.
Karena secara fisik bangunan pesantren putri sangat tertutup dibanding dengan pesantren putra hal ini menjadkan aktifitas para santri dengan pihak luar sangat terbatas, kondisi tersebut membuat aktifitas mereka lebih banyak berada didalam pesantren daripada diluar dan menjadikan mushola sebagai tempat yang penting dan strategis bagi para santri untuk beraktifitas dan bersosialisasi. Mulai dari kegiatan pendidikan, ngerumpi sampai pada kegiatan olah raga atau senam. Pilihan ini menjadi hal yang wajar ketika kondisi menuntut mereka untuk lebih lama berada di dalam pesantren karena memang mushola selain sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan pendidikan sekaligus merupakan ruang publik bagi mereka.
Sebagai santri putri, mereka secara sosial memiliki sekian status yang menjadikannya sedikit harus lebih bertanggung jawab dan menjaga sikap daripada santri putra. Gerak mereka dibatasi dalam hal bepergian baik dengan waktu maupun radius wilayah tertentu. Dari segi sosial memang terkesan terlalu dibatasi, namun semua ini dilakukan dalam rangka pendidikan dan pembentukan karakter yang dikehendaki oleh pesantren. Selama 24 jam dalam sehari mereka lebih sering berkumpul dan bersosialisasi dengan sesama mereka dalam bingkai tholabul ‘ilmi, selain keluar ketika dipagi hari mengikuti kegiatan pendidikan di madrasah atau ketika ada kegiatan ekstra kurikuler, seperti taman gizi, musyawaroh, daurah atau diskusi dan rapat gabungan pengurus atau berbagai pelatihan. Mereka dilarang keluar pesantren tanpa seizin pengurus dengan alasan yang jelas dan hanya diperkenankan minta izin bepergian untuk pulang sebulan sekali.
Sekarang secara fisik pesantren putri sudah bisa dikatakan lumayan dibandingkan sebelum adanya pembangunan yang merupakan sebuah lokal yang hanya memiliki 7 kamar dengan hampir 200an santri, bisa dibayangkan betapa berjubelnya kondisi kamar yang berukuran rata-rata 6×4 dihuni sekitar 25 santri. Namun kondisi ini tidaklah menjadi hambatan dan keluhan bagi santri untuk tetap giat belajar dan menuntut ilmu di pesantren, malahan secara psikologis secara tidak langsung situasi tersebut menjadikan pertemanan dan persekawanan di pesantren sangat kental dan kuat dibanding di lembaga pendidikan non pesantren, karena memang selama 24 jam sehari dan setiap waktu mereka hidup bersama secara komunal. Bagi mereka keadaan ini menjadi daya tarik dan mampu mereka nikmati dengan apa adanya yang serba sederhana, hal ini terbukti dengan antusiasme para santri dalam mengikuti setiap kegiatan yang didiadakan oleh pesantren. Setelah mengalami renovasi tahun 2000 bangunan pesantren putri secara fisik telah berubah dengan lokal bertingkat jumlah kamar 15 satu kantor dan aula pertemuan serta perpustakaan juga penambahan kamar mandi / WC menjadi 12 dan 4 tempat berwudlu sedikit banyak telah memperlancar berbagai kegiatan yang dilaksanakan pesantren putri saat ini.
Kegiatan sehari-hari santri dimulai sebelum subuh mereka sudah harus bangun mengambil air wudlu untuk persiapan melaksanakan sholat subuh berjama’ah. Sambil menunggu waktu biasanya mereka gunakan untuk ngelalar ( membaca al-qur’an sendiri) untuk memperlancar kefasihan atau dengan kegiatan yang lain seperti membaca buku atau menghafal bagi yang punya kewajiban. Begitu masuk waktu subuh ibu pengasuh langsung menuju mushola memimpin sholat berjama’ah. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan seorang santri untuk mangkir atau tertinggal satu raka’atpun dalam mengikuti sholat berjama’ah kecuali alasan syar’i atau hajat manusiawi seperti datang bulan atau buang hajat ke belakang. Bagi yang tidak mengikuti akan mendapat sangsi dari pengurus sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama.
Selepas sholat subuh santri diwajibkan untuk mengaji al-qur’an yang karena alasan efektifitas dan perjenjangan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dikhususkan bagi santri yang makharijul hurufnya ( tata cara membaca dari segi ilmu tajwid) sudah dianggap bagus diajar langsung oleh ibu pengasuh sementara bagi santri yang kemampuannya masih kurang masuk kelompok kedua yang dalam pengajarannya ditangani oleh pembimbing diambilkan dari santri yang lebih senior. Karena metode yang digunakan dalam pengajian al-qur’an adalah musafahah ( face to face) dan bergiliran maksimal dua orang sekali angkatan maka sambil menunggu giliran mengaji waktu yang ada digunakan untuk antri mandi mengingat terbatasnya fasilitas yang ada karena berbagai kegiatan yang lain telah siap menunggu.
Selesai kegiatan mengaji al-Qur’an ada sedikit waktu luang sampai pukul 09.00 WIS dan digunakan oleh santri untuk sarapan pagi atau mempersiapkan pelajaran untuk madrasah siang harinya. Tepat pukul 09.00 WIS diadakan pengajian kitan kuning dengan mendatangkan ustadz dari luar yang mengkaji persoalan-persoalan fiqhiyah, hadits dan ahlak. Sebenarnya kegiatan pengajian kitab ini wajib bagi semua santri karena menjelang siang mereka mesti mengikuti sekolah madrasah dan keterbatasan waktu dan kamar mandi yang ada maka sambil pengajian kitab berlangsung sebagian santri yang lain bergiliran untuk mandi persiapan berangkat sekolah madrasah jam 12.00 WIS dengan diberlakukannya satu kebijakan jika waktu pengajian dilaksanakan santri diperkenankan untuk mandi setelah sampai pada gilirannya begitu seterusnya sambil yang lain tetap mengikuti pengajian.
Rutinitas santri putri tidak hanya berhenti sampai disitu saja, setelah mengikuti pengajian kitab yang selesai sekitar pukul 10.30 WIS mereka segera mempersiapkan segenap keperluan sekolahnya sekalian makan siang sambil menunggu waktu sholat dhuhur, begitu bel persiapan sholat berbunyi ( 15 menit sebelum waktunya) santri akan segera mengambila air wudlu sekalian cuci muka dan setelah sholat berjama’ah mereka lantas berangkat ke sekolah madrasah karena memang pendidikan di Matholi’ul Falah bagi santri putri baru dimulai setelah sholat dhuhur ( sekitar pukul 12.15 WIS ) sampai pada pukul 16.45, dengan demikian sholat ashar mereka masih berada di sekolah.
Sebagaimana santri putra seluruh waktu kegiatan pesantren disesuaikan dengan kegiatan waktu disekolah, sehingga pengurus mesti pandai menyesuaikan waktu serta berbagai kegiatan pendidikan di pesantren guna menunjang berbagai aktifitas di sekolah madrasah. Namun hal ini bagi pengurus tidak begitu menjadi masalah karena memang setiap santri Pesilba diwajibkan mengikuti pendidikan yang masih bernaung di yayasan nurul al-salam dan kebanyakan mereka memilih di Matholi’ul Falah selain kegiatan keorganisasian dan pendidikan salafnya yang cukup kental madrasah ini secara kurikulum dan pengelolaan masih di bawah kendali KH.MA. Sahal Mahfudh.
Sepulang sekolah merupakan waktu santai bagi santri setelah hampir seharian sejak pagi sibuk dengan berbagai aktifitas mulai dari sholat berjama’ah ngaji al-qur’an dan kitab kuning, waktu ini sangat dimanfaatkan oleh santri untuk bersantai sambil menunggu kegiatan berikutnya menjelang magrib dengan menikmati sejuknya angin sore, biasanya mereka ngerumpi atau berbicara ringan tentang segala hal baik itu mengenai persoalan tadi disekolah atau persoalan umum lainnya. Aktifitas ini akan berakhir ketika waktu sholat magrib menjelang, para santri bergegas mengambil air wudlu karena mereka mesti antri dan tidak boleh terlambat mengikuti sholat berjama’ah, setelah sholat magrib tidak ada kegiatan khusus yang diwajibkan dan waktu ini mereka gunakan untuk makan atau mengaji ( nderes-jawa ) jawa dan menambah hafalan bagi santri yang memiliki kewajiban.
Ba’da isya’ masuk jam wajib belajar bagi santri, untuk mendorong mereka serius dalam belajar pengurus melarang santri untuk tiduran di dalam kamar, ngobrol, jalan-jalan di depan kamar bahkan membaca al-qur’anpun dilarang karena memang waktu ini dikhususkan untuk mengulang berbagai pelajaran siang tadi di madrasah. Semua santri wajib memegang dan membuka buku pelajarannya, meskipun ada juga yang hanya sekedar membuka dan membaca ketika ada pengurus dan setelah itu ngobrol tentang banyak hal diluar pelajaran. Namun minimal kondisi wajib belajar ini dimaksudkan untuk membiasakan santri untuk meluangkan waktu khusus dalam mentelaah ( mengkaji ) pelajaran untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menguasai berbagai materi yang telah diterima, sehingga secara lambat laun akan terbentuk sebuah kesadaran untuk belajar bahkan diharapkan akan menciptakan budaya butuh untuk belajar.
Rangkaian kegiatan pesantren putri baru selesai pada pukul 21.00 WIS dan santri benar-benar bebas untuk melakukan kegiatannya sendiri, ada yang langsung tidur karena kecapean kegiatan seharian atau bagi yang kuat untuk begadang ada yang masih melakukan diskusi kecil-kecilan tentang segala hal sampai larut malam dan ada juga yang menggunakan waktu malam untuk mencuci berbagai kotoran yang telah berhari-hari menumpuk karena memang di waktu malam keadaan sepi dan tidak antri untuk melakukan berbagai aktifitas termasuk mencuci.
Untuk mengantisipasi kejenuhan karena kondisi lingkungan dan keberadaannya yang sangat berbeda dengan santri putra mereka diberikan berbagai kesibukan dengan kegiatan yang direncanakan dari mereka oleh mereka dan untuk mereka sendiri. Berbeda dengan santri putra yang hanya boleh menonton TV hanya sekali dalam seminggu setiap hari jum’at, santri putri diberikan kebebasan menonton TV satu jam dalam sehari diluar kegiatan yang telah dicanangkan, aktivitas ini biasanya dilakukan dimalam hari setelah usai jam belajar atau pada acara tertentu seperti berita, hal ini dimaksudkan selain untuk menghilangkan kejenuhan juga dalam rangka penambahan wawasan dan pengetahuan para santri.
Secara organisatoris, mekanisme dan sitem kepengurusan yang diterapkan di pesantren putri sangat berbeda dengan yang ada di pesantren putra, meskipun dalam wilayah tertentu hampir sama yaitu memberikan kemerdekaan dan kebebsan yang bertanggung jawab kepada santri untuk mengatur dirinya sendiri. Secara stuktural di pesantren putri kendali operasional dan kepengurusan berada ditangan seorang ketua umum dan secara teknis struktur yang ada dibawahnya sebagai pembantunya dalam sebuah team kepengurusan dan ketua umumlah yang secara langsung bertanggung jawab kepada pengasuh. Sistem ini selain dianggap paling efektif karena kondisi dan situasi yang terjadi di pesantren putri juga dikarenakan secara sosial-politis dan internal keorganisasian dinamika yang terjadi di pesantren putri tidak seperti yang terjadi di pesantren putra yang sangat terbuka dan berbenturan dengan pihak luar secara langsung.
Di pesantren putri pengendalian dan kontrol terhadap santri lebih mudah karena mereka berada di dalam sebuah bangunan yang tertutup dan hanya ada satu pintu keluar selain harus melalui rumah pengasuh, sehingga sistem ketua umum dipandang paling efektif karena dengan pola ini dianggap cukup dan orientasi wewenang lebih dominan sehingga kontrol dan pengaturan bisa lebih ketat. Karena keterlibatan mereka dengan pihak luar sangat terbatas, gangguan keamanan dan kontrol terhadap setiap aktifitas dapat dilaksanakan dengan baik dan problematika keorganisasian yang terjadi cenderung monoton dan bersifat internal seperti keterlambatan dalam aktifitas.
Untuk mendorong terwujudnya kondisi belajar mengajar yang kondusif dan tertib serta untuk melakukan pembinaan pada setiap santri terutama yang baru masuk, setiap kamar yang ada dapat dipastikan ada pengurusnya, sistem oplosan ini dimaksudkan untuk memberikan contoh sekaligus mengontrol setiap santri dalam melakukan berbagai kegiatan yang ada. bisanya santri tertentu yang memilki kasus tertentu ditempatkan di kamar pengurus yang lebih senior dan mempunyai wibawa.
Berbagai aturan main dibuat untuk mendorong terwujudnya ketertiban serta terciptanya situasi yang aman dan nyaman untuk proses belajar mengajar, santri putri dilarang bertemu dengan lawan jenis yang tidak muhrimnya dan waktu pertemuan dibatasi hanya 15 menit itupun hanya bisa dilakukan dalam seminggu satu kali. Sama sekali santri putri tidak dibenarkan berada diluar komplek pesantren kecuali ketika mengikuti pendidikan madrasah di Mathali’ul Falah setiap siang jam 12.00 sampai jam 16.45. sore hari. Diluar jam tersebut mereka mesti berada di pesantren dan hanya diperkenankan keluar seizin pengasuh atau pengurus.
Peraturan tersebut dalam penerapannya mendapat pengecualian ketika seorang santri mengikuti sebuah kegiatan keorganisasian baik yang berhubungan dengan madrasah ataupun dengan santri putra, hal ini menjadi sebuah bukti nyata bahwa perhatian dan penekanan nampak diberikan dalam wilayah aktifitas keorganisasian, pengecualian ini dimaksudkan untuk mendorong santri dalam berorganisasi. Aktifitas keorganisasian memang mnjadi ciri yang menonjol di pesantren putra dan putri Maslakul Huda, hal ini disebabkan selain figur pengasuh yang keduanya seorang aktifis yang bergerak di berbagai organisasi baik di tingkatan lokal mapun nasional, namun juga karena sejak awal pesantren menyadari dan faham betul pentingnya arti berorganisasi untuk menyiapkan kader muslim yang siap dan mampu berada dalam kondisi apapun nantinya di masyarakat sebagai seorang santri yang sholih dan akrom.
Selain berbagai kegiatan yang bersifat kependidikan seperti, pelatihan, seminar, diskusi, musyawarah kitab kuning dan kursus keputrian di pesilba diberlakuakan kebijakan yang menarik untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan koperasi yaitu dengan aturan setiap santri dilarang berbelanja diluar koperasi pesantren selama disediakan oleh pihak koperasi selain itu langkah ini juga dimaksudkan untuk membatasi santri berada diluar lingkungan pesantren, mereka hanya diberikan waktu luang sekali dalam seminggu yaitu pada hari Jum’at pagi sampai sore untuk berada diluar pesantren dalam radius tertentu, itupun biasanya mereka gunakan untuk berziarah di makam Mbah Mutamakkin atau berbelanja dan menikmati masakan diluar pesantren, karena memang dalam kesehariannya mereka mesti rela makan secara sederhana yang disediakan oleh pihak pesantren, berbeda dengan santri putra yang diberikan kebebasan dalam menentukan tempat dimana harus kost makan.
Dalam perencanaan setiap kegitan di pesilba, pengasuh sama sekali tidak ikut campur dalam menentukan program apa yang akan dicanangkan termasuk pilihan kitab yang akan dikaji, mereka diberikan kebebasan dalam menentukan kebutuhan dan keperluan pendidikannya sendiri. Dalam hal ini pengasuh sekedar memberikan pengarahan dan masukan sebatas mereka perlukan dan biasanya saran dan pengarahan hanya dilakukan ketika dipandang perlu karena pengurus selalu berusaha memecahkan setiap permasalahnnya sendiri.
Pengasuh baik Hj. Nafisah Sahal maupun KH.MA. Sahal Mahfudh menjadi cermin dan panutan dalam setiap sikap dan perilaku beliau, baik itu dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang menyangkut sikap dan pola hidup atapun dalam perilaku sosial-politik yang beliau berdua lakukan dalam setiap kegiatan keorganisasian yang diikuti. Keteladanan pengasuh merupakan unsur terpenting dalam pembentukan karakter para santri, cara pandang terhadap maslah tertentu dan penyikapannya, pola pikir serta kebijakan-kebijakan yang diambil menjadi contoh nyata akan suatu bentuk dan corak pendidikan. Kesederhanaan, keberpihakan pada profesionalisme, demokrasi dan kemaslahatan ummat adalah wejangan yang selalu beliau berdua berikan baik itu lewat statemen yang di muat di berbagai media massa dan elektronik, serta diberbagai kesempatan wejangan beliau disetiap acara dan berbagai tulisan dalam buku dan makalah.
Nilai-niali ajaran dan pendidikan yang ditanamkan di pesantren sangatlah banyak, mulai bagaimana menjadi muslimah sejati dengan menjaga perilaku dan tingkah sosialnya, cara hidup yang sederhana dan bagaimana menjadi bagian dari sebuah komunitas yang terdiri dari berbagai pemikiran dan keinginan yang berbeda, selain itu semenjak seorang santri masuk sebuah pesantren ketika itu juga dia harus rela menjadi bagian dari lingkungan dan siap untuk hidup secara mandiri, mulai dari menyiapkan setiap kebutuhannya sampai pada mengatur anggaran pribadi dari kiriman orang tua. Seorang santri mesti bisa mengukur antara dana yang diterima dengan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam hal tertentu santri putri juga didik untuk mampu menempatkan diri sebagai individu yang nanti akan mengabdi pada seorang suami sekaligus menjadi wanita yang mampu menjadi penerang dalam keluarganya sebagai pendidik ana-anak nantinya.
Sebagaimana santri putra dalam penyelesaian setiap masalah yang diuhadapi oleh pengurus baik itu menyangkut masalah keorganisasian ataupun persoalan santri semuanya diselesaikan oleh pengurus dan hanya persoalan-persoalan amat penting dan biasanya yang menyangkut pihak luar saja pengurus minta saran atau pendapat pengasuh itupun keputusan sepnuhnya di tangan santri. Dalam penyelesaian masalah yang menyangkut pihal luar biasanya santri putri mengadakan koordinasi dan komunikasi dengan santri putra untuk bersama-sama menyelesaikan tersebut.