(Uraian Mengenai Menghadiri Halal Bi halal Diselenggarakan Secara Mewah)
Lebaran yang lalu, santri saya mendapatkan undangan halal bi halal. Sebelumnya ia ragu apakah harus menghadirinya atau tidak. Pasalnya, di saat kehidupan masyarakat masih diwarnai berbagai macam bentuk penderitaan, halal bi halal itu justru diselenggarakan dengan amat mewah atau setidaknya menghabiskan biaya cukup besar.
Dalam masalah tersebut, saya sarankan santri saya untuk selalu berpegangan pada satu prinsip bahwa acara halal bi halal sama sekali bukan merupakan bagian dari prinsip-prinsip undang dasar ajaran Islam.
Dari beberapa sikap dan perilaku Rasul, Islam hanya mengajarkan untuk saling meminta maaf (istihlal) antar sesama umat manusia. Wujud pelaksananya adalah datang dari pintu ke pintu, baik tetangga maupun yang lain.
Jadi, jelas tidak ada ketentuan harus melalui satu pertemuan yang di dalamnya antara lain mengagendakan acara berjabat tangan dan bermaaf-maafan, meski cara terakhir itu juga belum tentu menyimpang dan bertentangan dengan ajaran yang dibawa Rasul. Tidak terdapat satu permasalahan yang secara serius perlu dipersoalkan dalam hal bagaimana seharusnya menanggapi undangan halal bi halal. Fiqh, sebagai seperangkat hukum yang mengatur sendi-sendi kehidupan, tidak mempunyai aturan baku mengenai hal ihwal acara tersebut.
Karena itu, sebagai satu hal yang tidak berkenaan dengan tuntutan hukum pelarangan dan penganjuran, halal bi halal diberlakukan menurut kaidah fiqh yang telah ada. Artinya, boleh-boleh saja untuk dihadiri dan tentu boleh pula untuk ditinggalkan. Kaidah al aslu al Ibahah masih terus relevan untuk mendasarinya, selama pelaksanaan halal bi halal secara penuh tetap terjiwai oleh norma-norma yang diperbolehkan, tanpa unsur larangan dan perintah. ini sikap semula untuk memperlakukan acara tersebut.
Namun, karena ketika pelaksanaan merembet ke masalah-masalah lain, lebih-lebih yang menyangkut prinsip, maka fiqh akan berbicara dengan pembahasan berbeda. Sikap kita pun tidak selamanya terpaku pada satu patokan, yaitu sikap awal mula. Karena perwujudan istihlal dan meminta maaf akan bisa berjalan lebih maksimal jika ditunjang acara semacam halal bi halal, maka fiqh kemudian datang dengan membawa satu anjuran, baik terhadap penyelenggaraan maupun menghadiri undangan.
Namun, bukan berarti fiqh adalah satu hal yang tidak menentu, melainkan karena eksistensi fiqh memang berfungsi sebagai perangkat hukum yang lebih menitikberatkan pada unsur-unsur kemaslahatan. tidak pula berbeda dari kasus-kasus lain.
Pada prinsipnya, penyelenggaraan halal bi halal tidak ada masalah. Faktor kemewahan, sebatas tidak israf (berlebihan), sebenarnya juga tidak perlu dipermasalahkan. Namun karena praktik sesuatu yang tidak bermasalah itu ternyata mampu menimbulkan kesenjangan sosial, dengan mereka yang hidupnya di bawah standar ekonomi, sehingga berakibat teramat fatal, maka pelaksanaannya berubah menjadi satu hal yang dilarang.
Kalau penyelenggaraan halal bi halal terjadi kemungkinan demikian, sebagai muslim kita harus bersikap; menghadiri undangan itu tidak lagi diperbolehkan, karena sudah barang tentu kita ikut berkecimpung dalam suatu yang dilarang.
Sikap tersebut sebagaimana penegasan dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh, ketika satu larangan sulit dihindari tanpa meninggalkan hal lain (dalam kasus ini menghadiri undangan terlebih dahulu), maka hal lain tersebut diperintahkan untuk ditinggalkan.
Apalagi, halal bi halal yang status hukumnya sekadar ibabah (boleh), undangan-undangan yang wajib untuk dihadiri sekalipun, resepsi akad pernikahan misalnya, keharusan menghadirinya tidaklah selalu mutlak. Masih harus dipertimbangkan unsur-unsur mudarat yang ditimbulkan. Karena, antara lain faktor-faktor pemilahan antara si miskin dan si kaya. kewajiban menghadiri undangan menjadi gugur seketika.
*Sumber: KH. MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren, (Jakarta: Citra Pustaka bersama KMF Jakarta), Cet. I November 2004. pernah dimuat di Harian Umum Suara Merdeka, dialog dengan Kyai Sahal, Jumat,31 Maret 1995. Judul asli: Menghadiri Halal Bi Halal yang Mewah