Problematika Penggunaan Alarm

Forum Diskusi697 Dilihat

Diantara kewajiban umat Islam adalah saling menjaga ketentraman dan kenyamanan antar sesama, termasuk tidak melakukan hal-hal yang menimbulkan kegaduhan, mengeluarkan, dan mengganggu orang lain. Nabi bersabda yang artinya, “Tidak halal bagi tetangga mengganggu tetangganya dengan asap, bau busuk, atau suara yang mengganggu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Alarm merupakan salah satu media alternatif yang biasa digunakan sebagai pengingat waktu, terlepas mengganggu atau tidak alarm menjadi salah satu opsi penentuan waktu yang familiar digunakan khalayak umum termasuk kaum santri. Secara umum orang akan memasang alarm dengan motif tertentu, dan biasanya dengan tujuan yang baik, entah digunakan untuk membangunkan shalat, sebagai pengingat waktu atau yang lain.

Masalah muncul ketika alarm yang digunakan justru mengganggu orang lain, entah karena mengganggu kenyamanan tidur, suara alarm terlalu keras atau pemilik alarm tidak terbangun saat alarm berbunyi dan lain sebagainya.

Secara umum hukum yang mengganggu kenyamanan orang lain tidak boleh, seperti yang diungkapkan Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Minhājul Qawīm dan Tuhfatul Muhtāj, beliau berkata :

ويحرم) على كل أحد (الجهر) في الصلاة وخارجها (إن شوش على غيره) من نحو مصل أو قارئ أو نائم للضرر ويرجع لقول المتشوش ولو فاسقا لأنه لا يعرف إلا

Dalam ungkapan di atas mushanif memaparkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan mengeluarkan suara apabila mengganggu orang lain seperti mengganggu orang tidur karena dinilai dapat menyebabkan kemudaratan terhadap orang lain. kemudian mushanif melanjutkan mengenai tolak ukur kemudaratan dapat diketahui dari kata orang yang merasa terganggu. (Minhājul Qawīm)

وَلَا يَجْهَرُ مُصَلٍّ وَلَا غَيْرُهُ إنْ شَوَّشَ عَلَى نَحْوِ نَائِمٍ أ َوْ مُصَلٍّ فَيُكْرَهُ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ وَفَتَاوَى الْمُصَنِّفِ

Mushanif mengungkapkan bahwa dimakruhkan bagi orang salat atau selainnya untuk mengisikan bacaan atau suara bila mengganggu orang lain termasuk mengganggu orang yang sedang tidur. (Tuhfatul Muhtāj)

Dua ungkapan di atas sama-sama menjelaskan mengenai larangan agar tidak mengganggu orang lain, hanya saja yang membedakan adalah kesimpulan hukumnya yaitu antara haram dan makruh. Mengenai perinciannya, Syekh Ibnu Qasim al Ubbadi dalam kitab Hasyiyah al Ubbadi pada fasal haji mengungkapkan mengenai hal itu, beliau mengatakan bahwa :

وَالرَّجُلُ يَرْفَعُ) نَدْبًا (صَوْتًا) لَهُ بِالتَّلْبِيَةِ فِي دَوَامِ الْ إِحْرَامِ (قوْلُهُ: صَوْتًا) وَلَوْ فِي الْمَسَاجِدِ مَا لَمْ يُشَوِّشْ عَلَى نَحْوِ مُصَلٍّ أَوْ ذَاكِرٍ أَوْ نَائِمٍ وَإِلَّا كُرِهَ: مَا لَمْ يَقْصِد التَّشْوِيشَ وَإِلَّا حَرُمَ.

Dalam kutipan di atas mushanif menjelaskan bahwa disunahkan bagi seorang laki-laki yang membaca talbiah untuk mengambilkan suara, meskipun hal itu dilakukan di dalam masjid selagi tidak mengganggu orang lain, semisal mengganggu orang yang sedang salat, orang berzikir, orang tidur. Secara umum mengganggu orang lain dihukum makruh apabila perbuatan yang dilakukan tidak bertujuan untuk mengganggu, dan bila bertujuan untuk mengganggu, maka dihukumi haram.

Alhasil, ungkapan-ungkapan di atas mengarahkan bahwa suatu perbuatan yang tidak bertujuan untuk mengganggu orang lain, namun ternyata menganggu, seperti pemasangan alarm dengan tujuan positif yang dibarengi dengan memberikan rasa ketidaknyamanan terhadap orang lain, maka dihukumi makruh. Oleh karena itu, hendaknya kita bertanggung jawab dalam menggunakan alarm, maksudnya niat baik yang kita rencanakan dalam memasang alarm ditindaklanjuti dengan tindakan bijak agar tidak mengganggu orang lain.

Majelis Musyawarah Ma’had Aly, 28 Oktober 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *