Produk Fikih yang Belum Bisa Diterapkan di Indonesia

Essay, Kolom Santri498 Dilihat

Sebagai pelajar muslim tentu kita sudah berkenalan dengan banyak produk-produk hukum fikih salah satunya tentang salat, tata cara salat hingga konsekuensi hukum yang jatuh saat kewajiban salat tidak kita jalankan, dalam tulisan ini penulis ingin mengambil “konsekuensi meninggalkan salat fardu” yang mana dalam prakteknya hukuman bagi seorang muslim yang meninggalkan sholat belum bisa untuk dipraktikkan di negara kita, mengutip dari kitab fikih:

مَنْ أَخْرَجَ “ من المكلفين “ مكتوبة كَسَلًا وَلَوْ جُمُعَةً “ وَإِنْ قَالَ أُصَلِّيهَا ظُهْرًا “ عَنْ أَوْقَاتِهَا “ كُلِّهَا “ قُتِلَ حَدًّا” لَا كُفْرًا  

Imam Zakaria al-Anshari dalam Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz I, hal. 102: beliau menjelaskan bahwasanya konsekuensi hukum bagi muslim yang meninggalkan salat adalah dengan cara di had (dibunuh). Hal ini kemudian sangat bertolak belakang dengan hukum yang ada di negara ini sebagaimana yang kita ketahui bersama di Indonesia juga mengenal perihal hukum pidana, HAM, dll. Maka tidak boleh bagi kita untuk melakukan hukum membunuh bagi yang meninggalkan salat tersebut karena akan melanggar peraturan negara yang terbukukan dalam undang-undang dalam artian merupakan tindakan yang melanggar aturan pemerintah yang sah, sedangkan ketaatan kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an di antaranya adalah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4]: 59)

Dalam ayat di atas Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun demikian, posisi pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafaz perintah “taatilah” karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (tâbi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu maka, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan taat kepada mereka.

Lalu seperti apakah cara kita sebagai umat muslim untuk mengajak kepada muslim lain yang meninggalkan salat karena malas sedangkan dalam hatinya masih beriman bahwasanya sholat merupakan kewajiban?

Menurut hemat penulis banyak jalan yang lebih maslahat yang bisa kita lakukan untuk mengajak saudara muslim yang meninggalkan perintah Allah berupa salat selain hukum yang dikemukakan oleh Imam Zakaria al-Anshari di atas, diantaranya adalah:

  1. Melakukan pendekatan dakwah secara humanis kepada sesama muslim yang tidak menjalankan kewajiban salat. Karena sebagaimana yang kita tahu bahwasannya kebanyakan masyarakat Indonesia adalah orang-orang yang ramah.
  2. Memberi contoh dengan perbuatan nyata, tidak hanya dengan doktrin-doktrin agama, apalagi sampai mengkafirkan.
  3. Rangkul mereka, karena mereka bertindak seperti itu bukan semata-mata murni kesalahan mereka, bisa jadi mereka seperti itu karena lemahnya pengetahuan agama yang mereka kuasai hingga akhirnya mereka bertindak seperti itu.

Sebagai pelajar muslim kader pemimpin dimasa yang akan datang setidaknya kita harus mulai berani menjemput bola dengan cara mendatangi mereka, karena penulis yakin mereka butuh dirangkul bukan dipukul.

Dengan begitu, maka akan mendatangkan kemaslahatan yang lebih banyak ketimbang langsung membunuh orang-orang yang meninggalkan salat, dan kita juga telah ikut ambil andil dalam amar makruf nahi mungkar di bumi Allah.


Ditulis oleh M. Imdadunni’ami, santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda semester VI.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *