BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap guru, dosen, ustadz, ataupun pendidik umumnya mempunyai satu/dua anak didik yang senantiasa dia banggakan. Anak didik itu dibanggakan oleh pendidiknya sebab sebagian aspek, semacam pintar, giat, serta taat kepada pendidiknya. Anak didik ini yang umumnya diharapkan buat meneruskan perjuangan gurunya. Nabi Muhammad mempersiapkan Abu Bakar, Umar, Ali, serta sebagian teman inti buat meneruskan perjuangannya. Juga dengan Imam Syafi’i, dia mempersiapkan al- Buwaithi agar meneruskan perjuangannya dalam bidang keilmuan.
Dia merupakan Yusuf bin Yahya, Abu Ya’ qub al-Buwaithi, nisbah kepada suatu desa yang bernama Buwaith. Dia belajar kepada al-Imam asy-Syafi’ i kala al-Imam masuk ke Mesir. Imam al- Buwaithi seseorang mujtahid, pakar zuhud, serta sangat wara’. Namanya banyak disebut-sebut dikitab- kitab Syafi’ iyyah. Dia merupakan salah satu dari perawi utama yang meriwayatkan madzhab jadid dari al-Imam asy-Syafi’i. Dia mempunyai kitab mukhtashor dari perkataan- perkataan gurunya ialah asy-Syafi’i, yang ialah salah satu referensi buat mengenali qoul dari asy-Syafi’i. Imam al Buwaithi tercantum murid yang diunggulkan oleh al-Imam asy-Syafi’i di antara murid-muridnya yang lain. Oleh karenanya beliaulah yang mengambil alih al-Imam asy-Syafi’i di halaqohnya dan juga dalam berfatwa sepeninggalan asy-Syafi’i.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan sanadnya hingga kepada ar-Rabii’ bin Sulaiman al-Muroodi:“ Kalau Abu Ya’qub mempunyai peran (besar) di sisi asy-Syafi’i. Dulu terdapat seseorang lelaki bertanya kepada asy-Syafi’i tentang satu kasus hingga asy-Syafi’i mengatakan:“ tanyakan kepada Abu Ya’qub.” Hingga sehabis Abu Ya’qub menjawabnya, lelaki tadi mengabari asy-Syafi’i hendak jawaban Abu Ya’ qub. Setelah itu dia mengatakan:“( jawabnya) merupakan sebagaimana perkataannya(Abu Ya’qub)”.
Suatu kala sempat tiba utusan dari polisi buat memohon fatwa kepada asy-Syafi’i hingga dia mengarahkannya kepada Abu Ya’qub seraya mengatakan:“ (ia) adalah lisanku (juru bicaraku)”. Demikianlah, sehingga bukanlah mengherankan kala al-Imam sakit, hingga Abu Ya’qub al-Buwaithi lah yang mengambil alih tempat dia dalam pelajaran serta dalam fatwa.
Diriwayatkan oleh Al Baihaqy dengan sanadnya hingga kepada ar-Rabii’ al-Murodi kalau kala al-Imam asy-Syafi’i sakit yang membawakan kepada wafatnya datanglah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim berselisih dengan al-Buwaithi agar memegang “Keduduka Syaikh” di majlisnya al-Imam asy-Syafi’i. Hingga datanglah al-Imam al-Humaidi yang kala itu terletak di Mesir, dia mengatakan:“ asy-Syafi’i berkata:“ Tidak terdapat seorangpun yang berhak atas majlisku dari pada Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, serta tidak terdapat seseorang dari ashab-ku yang lebih ‘alim darinya…”
B. RUMUSAN MASALAH
Al-Imam Abu Ya’qub al-Buwaithi seseorang yang sangat Alim dan lebih unggul dari kedua murid utama asy-Syafi’i yang lain ialah al-Muzani serta ar-Rabii’ al-Murodi, tetapi dua yang terakhir ini lebih banyak karyanya serta lebih kerap disebutkan di dalam kitab- kitab Syafi’iyyah. Lantas;
- Mengapa silsilah/sanad keilmuan setelah Imam al-Buwaithi tidak sampai kepada kita?
BAB II
METODE PENELITIAN
A. KERANGKA TEORI
Melihat deskripsi dan rumusan masalah diatas, maka penulis menggunakan langkah-langkah metodologi dalam riset tokoh (studi tokoh), dengan berikut;
- Menentukan tokoh yang dikaji.
- Menentukan objek formal yang dikaji secara tegas eksplisit dalam judul.
- Mengumpulkan data-data.
- Melakukan identifikasi bangunan pemikiran tokoh.
- Melakukan analisis dan kritis.
- Melakukan penyimpulan sebagai jawaban atas problem riset.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk;
- Menjelaskan sosok Sang Imam, yaitu; Yusuf bin Yahya, Abu Ya’ qub al-Buwaithi.
- Menjelaskan penyebab terputusnya silsilah/sanad keilmuan setelah al-Buwaithi.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada masa pemerintahan al-Makmun hingga al-Watsiq, berlaku kebijakan yang merugikan para ulama Ahlu Sunnah. Kekhalifahan Abbasiyah ini memaksa alim ulama mengakui al-Qur’an sebagai mahluk. Mereka tak segan-segan menyiksa atau membunuh siapa saja yang menolak kebijakan tersebut. Terpaksa banyak ulama yang pura-pura mengakui hal itu meski hatinya menolak, demi keselamatan diri. Sedang yang terang-terang menolak kebijakan itu, harus menerima siksaan bahkan pembunuhan.
Diantara ulama yang tegas menolak adalah Imam Ahmad bin Hambal dan Yusuf bin Yahya al-Buwaithi. Karena penolakannya itu, para algojo penguasa menyiksa keduanya tanpa ampun. Namun mereka tetap pada pendiriannya dan tidak mau mengikuti maunya penguasa. Akhirnya Imam Buwaithi meninggal dalam penjara bawah tanah. Sedang Imam Hambali baru berakhir penderitaannya ketika al-Watsiq meninggal dunia dan diganti al-Mutawakkil yang mencabut kebijakan tersebut.
Imam Buwaithi ketika itu merupakan seorang penghulu para fuqaha dan guru besar Madzhab Syafi’i. Ia menggantikan posisi Imam Syafi’i dalam memimpin majelis ilmunya karena sang imam sebelum meninggal berpesan agar yang menggantikan posisinya, yaitu Imam Buwaithi. Menjelang wafatnya, Imam Syafi’i didekati oleh murid tertuanya, Imam Al Humaidi agar menunjuk pewaris majelisnya sebelum meninggal karena khawatir akan ada perselisihan di antara murid-muridnya. “Tiada yang lebih berhak atas majelisku selain Yusuf al-Buwaithi,” kata Imam Syafi’i. Hal itu disampaikanlah kepada tiga murid utama sang imam yaitu Imam al-Muzani, Abdullah ibn ‘Abdil Hakam dan al-Buwaithi.
Imam al-Muzani dengan tawadhu menerima hal itu. Tapi Abdullah ibn Abdil Hakam sebagai murid yang amat disayangi Imam Syafi’i dan berhasrat menggantikan sang imam tidak bisa menerima keputusan tersebut. Akhirnya ia kembali ke Madzhab Maliki dan berhasil menjadi Imam terkemuka dalam mazhab tersebut. Al Buwaithi mewarisi ketajaman logika, kefasihan bahasa dan ahlak Imam Syafi’i. Hal ini seperti apa yang pernah diucapkan Imam Syafi’i, “Al Buwaithi itu tak ubahnya lisan yang kugunakan untuk berbicara. Tiada yang lebih alim darinya.”
al-Buwaithi juga memimpin lembaga nahi munkar atas perintah asy Syafi’i. Ia bersama aparat bahu-membahu memberantas kemaksiatan di Kairo. Dia juga senang membangun fasilitas umum yang bermanfaat. Di kalangan ulama ia dikenal sebagai seorang yang zuhud, tawadhu dan ahli ibadah. Imam Ibn Abil Jarud berkata; “Al Buwaithi adalah tetanggaku. Demi Allah tiap kali aku bangun malam, dia pasti sedang membaca al-Qur’an dan shalat.”
Sedang Imam adz-Dzahabi menyebut Imam Buwaithi sebagai pemimpin dalam ilmu, panutan dalam amal, seorang zuhud, imam yang Rabbani, rajin tahajjud dan berpuasa, senantiasa basah lisannya dengan dzikir dan akalnya selalu bertafaqquh.
Belum lama memegang majelis tersebut, kelompok Mu’tazilah menguasai pemerintahan dan memaksakan faham kemakhluqan al-Qur’an. Di Baghdad, banyak ulama terpaksa mengucapkan kalimat batil itu karena dibawah ancaman pedang. Ketika itu tokoh Mu’tazilah Mesir yang menjadi Hakim Tinggi yaitu Abu Bakar al-Asham menyurati Hakim Agung Ahmad ibn Abi Du’ad untuk menangkap al-Buwaithi. Berkat hasutan Ibn Abi Du’ad kepada penguasa Abbasiyah, al-Watsiq Billah yang menjadi gubernur Mesir dan menghormati al-Buwaithi tak mampu berbuat apa-apa ketika al-Buwaithi ditangkap. al-Buwaithi berkata pada sang gubernur, “Pengikutku ratusan ribu jumlahnya. Jika aku berpura-pura agar tidak disiksa maka sesatlah mereka.”
Akhirnya Imam Buwaithi dibelenggu dan digiring dalam perjalanan dari Kairo ke Baghdad. Imam Rabi’ ibn Sulaiman mengisahkan; “Aku menyaksikan Imam al-Buwaithi dinaikkan ke kuda. Di lehernya ada belenggu seberat 40 pon (17 kg). Tangan dan kakinya disatukan dalam satu borgol. Di antara belenggu leher dengan borgol menjuntai rantai besi seberat 40 pon. Saat itu beliau berkata, “Allah ciptakan makhluknya dengan berfirman ‘KUN’, maka jadilah. Seandainya firman KUN ini makhluk maka konsekuensinya Khaliq menciptakan makhluq yang menciptakan makhluq. Seandainya aku bertemu Al Watsiq, akan kusampaikan padanya hal ini.”
Sayangnya, justru karena kata-kata itu al-Buwaithi dilarang bertemu khalifah. Para pengawal Mu’tazilah mencatat ucapan dan hujjah itu dan hanya melaporkan kepada Hakim Agung Ahmad ibn Abi Du’ad. Mendengar hal itu, terperangahlah Ibn Abi Du’ad karena merasa kagum atas kecerdasan Imam Buwaithi yang bisa mengalahkan paham khalqil quran hanya dalam satu kalimat. Namun ini yang menjadi kekhawatirannya sehingga ia berusaha tidak mempertemukan al-Buwaithi dengan khalifah. Sedang ulama-ulama lain meski disiksa masih sempat berdialog dengan khalifah.
Para pembesar Mu’tazilah khawatir jika hal itu menyebabkan khalifah berubah pikiran. Karena itu mereka langsung membawanya ke dalam penjara bawah tanah selama 4 tahun. Di penjara itu Imam Buwaithi tidak bisa melihat matahari dan tidak diizinkan bersuci. Inilah yang membuatnya sedih sehingga susah menetapkan waktu shalat. Akhirnya ia menjadikan jam-jam penyiksaan sebagai patokan shalat.
Suatu hari, di atas sobekan bajunya yang kumal, dengan darah dari jemari, ia berusaha menulis surat untuk ulama lainnya. Seorang penjaga penjara bersimpati kepadanya dan mau menyampaikan surat itu. Tapi ia tidak tahu kepada siapa surat itu disampaikan. “Siapapun yang kau anggap ulama dan masih istiqamah untuk tidak sudi mengatakan al-Qur’an itu makhluk.” kata Imam Buwaithi kepada penjaga tersebut.
Padahal ketika itu di Baghdad dan sekitarnya, kebanyakan ulama berdiam diri karena yang istiqamah menyatakan al-Qur’an kalamullah akan dibunuh atau dipenjara. Akhirnya si penjaga itu rela meninggalkan pekerjaanya dan melarikan diri ke Khurasan untuk menemui seorang alim ahli hadits bernama Imam adz-Dzahali di majelisnya.
Imam adz-Dzahali beserta muridnya menangis ketika surat sederhana itu dibacakan. Isinya berbunyi, “Aku terhalang untuk bersuci dan beribadah. Do’akan agar Allah mengaruniakan jalan terbaik bagi hamba lemah sepertiku ini.” Setelah membaca surat itu majelis berdo’a bersama-sama sambil menangis karena terbayang betapa berat cobaan yang ditanggung oleh Imam al-Buwaithi sebagaimana diceriatakan mantan sipir yang membawa surat itu. Mungkin atas doa mereka juga Allah memberi jalan terbaik bagi Imam al-Buwaithi. Di tahun 231 H beliau wafat dalam keadaan terbelenggu rantai dalam penjara. Sebelum meninggal ia berulangkali mengucapkan syahadat serta pernyataan bahwa al-Qur’an kalamullah.
Maka berakhirlah penderitaan Imam Buwaithi seperti penutup kalimat wasiatnya pada Imam Rabi’ ibn Sulaiman; “Aku tahu akan mati dalam penjara agar umat nantinya tahu harga kebenaran yang ditebus dengan nyawa dan derita para ulama. Ini layak demi kebenaran sejati.”
Rabi’ ibn Sulaiman menyatakan bahwa hal ini tepat seperti firasat Imam Syafi’i saat menyatakan bahwa Imam Rabi’ yang banyak meriwayatkan ilmunya. Abdullah ibn Abdil Hakam akan kembali ke Madzhab ayahnya yaitu Maliki dan al-Buwaithi akan gugur dalam penjara.[1]
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Al-Imam Abu Ya’qub seseorang yang sangat Alim apalagi masih lebih unggul dari kedua murid utama asy-Syafi’i yang lain ialah al-Muzani serta ar-Rabii’ al-Murodi, tetapi dua yang terakhir ini lebih banyak karyanya serta lebih kerap disebutkan di dalam kitab- kitab Syafi’ iyyah. Perihal ini disebabkan al-Buwaithi dipenjara oleh Khalifah al-Waatsiq serta diseret dalam kondisi bawa belenggu yang berat dari Mesir ke Baghdad disebabkan mempertahankan aqidah salaf kalau al-Qur’- an kalamullah bukan makhluq. Sedangkan dua murid asy-Syafi’i yang lain berumur lumayan panjang, lebih dari 30 tahun dari umur al-Buwaithi. Sehingga peluang buat mengarahkan madzhab al -Imam asy-Syafi’i lebih banyak serta lebih banyak yang murid-murid yang meriwayatkan kitab- kitab al-Imam asy-Syafi’i kepada mereka berdua.
B. DAFTAR PUSTAKA
Alwi bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, 2018, Tasalsul Ahammi Kutubi asy-Syafi’iyyah, al-Fawaid al-Makkiyyah hlm 266, Darul Faruq.
Akrim Yusuf Umar Al-Qowasimi, 2003, Asyhuru tilmidzi al-Imam asy-Syafi’i al-Mishriyyin – al-Buwaithi, al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam asy-Syafi’i hlm. 106-108, Darun an-Nafais al-Ardan.
Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah https://bahrul69.wordpress.com/2015/01/04/imam-buwaithi-tegar-pegang-prinsip-meski-nyawa-melayang/
[1] Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah https://bahrul69.wordpress.com/2015/01/04/imam-buwaithi-tegar-pegang-prinsip-meski-nyawa-melayang/
Zayyid Muhammad Jiddan,
Santri Ma’had Aly Maslakul Huda semester 4