Reinterpretasi Fikih Disabilitas: Analisis Filosofis atas Buku “Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas”
Oleh:
Mohamad Masrur Majid
A. Pendahuluan
Fikih sebagai disiplin ilmu yang dapat diklasifikasikan dalam ilmu hukum, sudah tentu bersifat kaku dan formalistik. Namun, Kiai Sahal dalam bukunya, Nuansa Fiqh Sosial menjelaskan bahwa fikih tidak sama dengan ilmu hukum umum. Fikih memadukan unsur samawi dan kondisi aktual bumi, unsur lokalitas dan universalitas serta unsur wahyu dan akal pikiran.[1]
Pengembangan fikih menjadi sangat penting dalam menjawab permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat Islam saat ini. Salah satu bentuk pengembangan fikih yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan fikih tematik. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam konteks kekinian, seperti fikih sosial, fikih kebangsaan, fikih disabilitas dan sebagainya. Dalam pengembangan fikih tematik, dibutuhkan kreativitas dan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam, sehingga dapat menghasilkan pandangan yang inklusif dan progresif. Dengan menggunakan pendekatan fikih tematik, masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan relevan terhadap ajaran Islam, sehingga dapat diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu usaha pengembangan fikih adalah hadirnya buku Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas. Buku ini disusun oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) PBNU, YAKKUM, dan The Asia Foundation. Buku ini lahir dari rasa prihatin terhadap penyandang disabilitas dalam menjalankan syariat.
Buku ini merangkum hukum-hukum fikih dan kaidah fikih yang berkaitan dengan aktivitas penyandang disabilitas. Aspek yang dirangkum tidak terbatas pada aspek ibadah saja, rangkumannya juga mencakup aspek hukum perdata dan pidana. Dari sini, penulis ingin mereinterpretasi tentang fikih disabilitas dalam konteks pengembangan fikih dengan metode analisis filosofis. Tulisan ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan fikih dengan rumusan masalah:
- Siapa yang dimaksud penyandang disabilitas dalam buku “Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas”?
- Bagaimana landasan filosofis hukum dalam buku “Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas”?
B. Definisi dan Kategori Penyandang Disabilitas
Disabilitas dalam KBBI adalah keadaan (seperti sakit atau cidera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang. Disabilitas juga diartikan keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara biasa. Sedangkan penyandang disabilitas merupakan penderita disabilitas.
Istilah penyandang disabilitas di Indonesia tergolong baru, karena istilah ini mengalami perubahan, mengikuti penggunaan istilah untuk penyandang disabilitas dalam regulasi pemerintah. Setidaknya ada 10 istilah yang pernah digunakan:
- Ber (cacat) (terdapat pada UU No 33 tahun 1947 tentang Ganti Rugi Buruh yang kecelakaan, dan UU No 4 th 1979 tentang Kesejahteraan Anak)
- Orang-orang yang dalam keadaan kekurangan jasmani atau rohaninya (UU No 12 th 1954 tentang Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia)
- Orang yang terganggu atau kehilangan kemamuan untuk mempertahankan hidupnya (UU no. 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial)
- Tuna (UU no. 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial)
- Penderita Cacat (Peraturan Pemerintah no 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial, dan UU no 14 tahun 1992 tentang lalu lintas angkutan jalan)
- Penyandang Kelainan (Peraturan Pemerintah no 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, dan UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
- Anak berkebutuhan khusus/anak luar biasa (Surat Edaran Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 380/G/MN/tahun 2003 tentang pendidikan inklusi).
- Penyandang cacat (UU no 15 tahun 1992 tentang Penerbangan, dan UU no 4 tahun 1997)
- Difabel/Differently abled (Peraturan Daerah Sleman no 11 2002 tentang penyediaan fasilitas pada bangunan umum dan lingkungan bagi difabel, Peraturan Daerah Kota Surakarta no 2 tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel).
- Penyandang Disabilitas (UU no 19 tahun 2011)[2]
Semua definisi di atas tidak digunakan bersamaan tidak berlakunya undang-undang yang menggunakan istilah tersebut. Perubahan istilah ini terjadi karena masih adanya diskriminasi pengartian dalam istilah tersebut. Dalam buku Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas, disabilitas diartikan sebuah konsep yang terus berkembang dan berubah karena disabilitas merupakan interaksi antara individu dengan keterbatasan kemampuan, sikap masyarakat dan lingkungan yang menghambat partisipasi individu tersebut dalam masyarakat.[3]
Istilah penyandang disabilitas secara jelas menunju ke arah subyek, yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau indera dalam jangka waktu lama[4]. Secara tidak langsung, menunjukan kategori penyandang disabilitas, yakni fisik (gangguan fungsi gerak, amputasi, lumpuh, stroke),, intelektual (gangguan funsi pikir, disabilitas grahita, down syndrom), mental (gangguan emosi dan perilaku, skizofernia, bipolar, depresi, autis), sensorik (gangguan indra, disabilitas netra, rungu, wicara).[5]
Keluasan cakupan penyandang disabilitas menjadikan pembahasan fikih disabilitas harus kemprehensif dan kompleks. Masing-masing kategori memiliki perlakuan khusus yang berbeda sehingga membutuhkan pemisahan sub pembahasan masing-masing kategori. Dengan seperti ini, buku ini bisa menjadi rujukan utama bagi semua penyandang disabilitas dalam melaksanakan kehidupan beragama dan bermasyarakat. Buku ini masih didominasi membahas kategori disabilitas fisik dan sensorik.
C. Landasan Filosofis Fikih Disabilitas
Tim penyusun buku ini membuka intisari dari hukum-hukum yang telah terangkum. Intisari tersebut membentuk prinsip-prinsip Fikih Disabilitas, antara lain
- Posisi Manusia sebagai Makhluk
Semua manusia diciptakan Allah Swt. fī aḥsani taqwīm (dala bentuk sempurna. Allah telah menganugerahkan pada manausia untuk membedakan kebaikan dan kebenaran. Namun, manusia diciptakan tak seragam baik itu jasmani maupun rohani. Secara umum, kerangka manusia hakikatnya sama, namun berbeda bentuk dan kemampuan.
Dibalik perbedaan itu pasti ada hikmahnya. Seperti dalam status sosial yang berbeda agar terjadi saling meolong antar manusia. Allah Swt. berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” [QS. Az-Zukhruf: 32]
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, Tafsīr al-Munīr menjelaskan bahwa Allah lah yang membagi rizki, keberuntungan dan memberikan kelebihan derajat. Lebih kuat atau lemah, pintar atau bodoh, populer atau asing, kaya atau miskin, semua hal ini jika tidak ada, maka tidak akan terjadi saling tolong menolong.[6]
- Cakap Hukum dan Cakap Bertindak
Dalam ushul fikih, dikenal istilah ahliyah (kecakapan) yang mencakup ahliyyah al-wujūb (cakap hukum) dan ahliyyah al-adā’ (cakap bertinda). Dalam konteks ahliyyah al-wujūb, seluruh manusia memilikinya.
فكل إنسان أيا كان له أهلية الوجوب ولا يوجد إنسان عديم أهلية الوجوب لأن أهلية للوجوب هي إنسانيته
Artinya: “Setiap manuisa memiliki kelayakan tugas (cakap hukum). Tidak adak manusia yang tidak layak untuk menjalankan tugas, karena kelayakannya untuk bertugas adalah kemanusiaannya.”[7]
Sedangkan ahliyyah al-adā’, tidak semua manusia memilikinya. Orang yang mengalami gangguan jiwa total, tindakannya tidak menjadi tindakan hukum. Bagi orang yang mengalami keterbatasan fisik, seperti diabilitas netra, tuli dan sebagainya, mereka menjalankan semampunya, sesuai Firman Allah “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesai dengan kemampuannya.[8]
- Kewajiban Keluarga, Masyarakat dan Negara
Dalam Islam, semua hak insani, baik yang primer, sekunder maupun tersier, pada mulanya merupakan tanggung jawab pribadi yang bersangkutan. Jika tidak mampu, maka beralih ke masyarakat; jika masyarakat tidak mampu, maka tanggung jawab beralih ke negara. Posisi negara dalam pemenuhan hak-hak insani merupakan the last ressort (tumpuan terakhir).
Penyandang disabilitas tetap diwajibkan menjalankan syariat Islam. Maka negar memiliki kewajiban untuk menyediakan fasiitas publik yang ramah penyandang disabilitas.
- Prinsip-prinsip Kemudahan dalam Islam
Kemudahan merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam. Kemudahan diberikan Allah Swt. Untuk tujuan dna maksud yang mulia. Pertama, memastikan agar manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Kedua, mendorong dan memotivasi manusia agar rajin dan semangat menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan. Beberapa dalil prinsip kemudahan dalam Islam sebagai berikut:
وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ …
Artinya: “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama….” [QS. Al-Hajj: 78]
… يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. Al-Baqarah: 185]
Beberapa prinsip diatas melandasi bagaimana hukum tentang disabilitas itu sedemikian rupa. Pada dasarnya maqashid syariah primer adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, harta dan martabat. Penjagaan ke enam ini terbentuk sebagai maslahat jangka panjang yang lebih besar. Namun penulis hanya mencantumkan tiga unsur, hifz ad-din, hifzh an-nafs, hifz al-‘irdh.
- Hifdz ad-Din
Keseluruhan hukum beribadah dalam Fikih Disabilitas memiliki tujuan menjaga agama. Bagi penyandang disabilitas yang terganggu dengan disabilitasnya untuk melakukan ibadah, sangat membutuhkan keringanan dalam beribadah agar terus menjalankan tugasnya sebagai hamba. Seperti contoh keringanan kesucian bagi disabilitas daksa yang berjalan dengan menyeret badan. Memang hal yang kotor belum pasti najis, namun kemungkinan besarnya bahwa di jalan banyak hal-hal najis. Namun bagi disabilitas hal itu di ma’fu agar memberi kemudahan ibadah bagi penyandang disabilitas.[9]
Pembatasan penyandang disabilitas dalam ibadah juga bertujuan menunjukkan penjagaan agama bagi orang lain, seperti ketidakbolehan Imam Sholat bagi disabilitas rungu dan grahita. Ada beberapa kriteria yang harus dimiliki seorang imam sehingga sholat tersebut sah sebagai jamaah.
- Hifz an-Nafs
Pertanggungjawaban atas penyandang disabilitas menjadi titik utama dalam penjagaan jiwa. Salah satu bentuk perlindungan jiwa penyandang disabiilitas adalah tanggung jawab pengasuhan anak dengan disabilitas yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Fikih Disabilitas telah memiliki hierarki urutan tanggung jawab agar penyandang disabilitas tidak terlantar.[10]
- Hifdz al-Irdh
Penjagaan martabat penyandang disabilitas sebagai manusia merupakan maqashid terbesar pembentukan fikih disabilitas. Isu fikih disabilitas dimulai dari adanya perasaan diskriminasi yang tersampaikan secara masif. Penyandang disabilitas sering dipandang sebelah mata, padahal di satu sisi pasti ia memiliki kelebihan tersendiri.
Seperti tidak bolehnya penolakan mutlak penyandang disabilitas untuk kerja di suatu perusahaan hanya karena disabilitasnya. Keharusan menimbang kemampuan yang dimiliki dan bermanfaat bagi perusahaan. Hal ini bermaksud untuk menurunkan diskrimanasi terhadap penyandang disabilitas.
Namun, hemat penulis, ada beberapa (sebagian kecil) penyandang disabilitas yang menganggap bantuan dari orang lain membuat ia adalah “orang lemah” sehingga enggan dibantu. Bantuan yang akan diberikan justru akan merendahkannya. Dengan ini harus ada kesepemahaman bahwa bantuan bukanlah sebuah ejekan bahwa ia lemah, namun sebuah kewajiban bagi sesama manusia saling membantu. Jika penyandang disabilitas tetap kekeh terhadap persepsi ini, setidaknya masih ada maqashid syariah di atasnya yang lebih kuat.
D. Penutup
Fikih Disabilitas dalam Buku “Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas” adalah rangkumam hukum-hukum terkait penyandang disabilitas yang dibangun dari keprihatinan atas diskrimanasi. Istilah penyandang disabilitas mengalami perubahan 10 kali karena dirasa masih ada diskriminasi dalam definisinya.
Fikih Disabilitas yang diusung buku ini memiliki prinsip: posisi manusia sebagai makhluk; cakap hukum dan cakap bertindak; kewajiban keluarga, masyarakat dan negara; prinsip kemudahan dalam Islam. Tujuan primer Fikih Disabilitas adalah perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, harta dan martabat penyandang disabilitas baik sebagai subyek maupun obyek. Namun masih butuh pendalaman bagian disabilitas intelektual dan mental.
[1] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 2011), xxiv.
[2] Dini Widinarsih, “Penyandang Disabilitas di Indonesia: Perkembangan Istilah dan Definisi”, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, (Oktober, 2019) Vol 20 No 2, 129-134.
[3] LBM PBNU dkk, Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas, (Jakara: PBNU, 2019), 14.
[4] Dini Widinarsih, “Penyandang Disabilitas di Indonesia: Perkembangan Istilah dan Definisi” …, 135.
[5] Ibid …, 138.
[6] Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1997) Juz XXV, h. 125-126.
[7] Lembaga Bahtsul Masail PBNU dkk, Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas …, h. 42-43.
[8] Ibid.
[9] LBM PBNU, Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas…, 75.
[10] Ibid …, 204.