Site icon Mahally

Relasi Humanisme Arkoun dan Tahqiqul Manath Dalam Wacana Keilmuan Islam

Materi humanisme islam versi Arkoun (2010 M) merupakan representasi bagaimana nalar keilmuan islam berkembang dan menghegemoni para pemikir islam. Humanisme islam menurut Arkoun adalah sebuah upaya untuk menjadikan manusia sebagai pusat dan tokoh sentral -yang sering disebut oleh Al-Qur’an- sebagai pencari kebebasan, pencari kebahagiaan, dan pencari kebenaran. Arkoun menyatakan bahwa manusia sebagai pusat pencari kebebasan karena ayat-ayat Al-Qur’an sering kali menyebutkan simbol-simbol yang penuh misteri, butuh pemaknaan dan mengindikasikan sebuah kebebasan untuk menguak makna di dalamnya. Oleh karenanya, kebendaharaan islam yang terbuka pada abad ke dua dan tiga awal islam, terjadi persentuhan antara islam dengan keilmuan filsafat. Namun justru sebab persentuhannya dengan ilmu filsafat, muncul kelompok teolog-rasional islam yang menamai dirinya sebagai kaum mu’tazilah.[1]

Manusia sebagai makhluk yang selalu mencari kebahagiaan, dimaknai oleh Arkoun kebajikan. Kebajikan merupakan jelmaan terakhir dari kebahagiaan. Menurutnya, kebahagiaan terbagi menjadi dua, yaitu kebahagiaan rohani dan jasmai. Kebahagiaan menurut Arkoun dapat diketahui dengan kebajikan muthlak yang tidak bersifat meterial. Namun, menurut Arkoun, kebahagiaan ini tidak terbelenggu kelak setelah meninggal dunia, namun juga dapat dirasakan oleh mukmin di dunia ini. Berbagai kebahagiaan dunia yang menurutnya penting antara lain, kesehatan, kakayaan, kemasyhuran dan kehormatan, keberhasilan serta pemikiran yang baik. Kemudian, manusia sebagai pencari kebenaran diinformasikan oleh Arkoun sebagai cara manusia, baik menggunakan akal filosofis maupun akal religius, untuk mencari sebuah kebenaran.[2]

Akal filosofis ditendensikan oleh para pemikir (filsuf) Yunani sebelum masa kerasulan, sedang akal religius ditandai dengan terutusnya Rasul. Pada awal munculnya islam, pemikiran akan sebuah realitas di kalangan muslim selalu diselimuti oleh pemikiran telogis-dogmatis-religius. Dengan masifnya para Sahabat Nabi yang selalu mencari kebenaran akan perilakunya dengan bertanya kepada Nabi Muhammad sendiri, atau merujuknya langsung ke Al-Qur’an. Setelah mengalami proses panjang, baru pada abad ke Vll-XIV kosep pemikiran religius dan filosofis didoalogkan secara baik oleh para pemikir islam, misal Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lain-lain.[3]

Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba mempertemukan pemikidan humanisme islam Muhammad Arkoun dengan konsep Tahqiqul Manath, yang pertama kali diperkenalkan oleh al-Ghazali (1111 M). Kajian wacana islam yang humanis secara komprehensif telah ditulis oleh Arkoun dalam berbagai buku, artikel, dan jurnal ilmiahnya. Penulis dalam memahami konsep humanisme Arkoun dibantu dengan satu buku yang secara komprehensif membaca pemikiran Arkoun, mulai dari konsep, tipologi, sintesa pemikiran, implementasi dan plus-minus humanisme Arkoun. Penulis di sini akan sedikit mengupas bagaimana pemikiran humanis Arkoun bersanding dengan “Tahqiqul Manath”. Sehingga akal muncul pertanyaan, bagaimana sebenarnya keduanya (humanisme dan tahqiqul manath) berdialog, apakah memiliki koherensi atau bahkan keduanya adalah konsep yang sama, atau cara penerapannya memiliki perbedaan. Oleh karenanya, dengan bantuan Buku Baedhowi, penulis akan mencoba merefleksikan kegelisahan ini dalam tulisan pendek ini, sebagai langkah awal bahwa tahqiqul manath sebagai bahan kontekstualisasi hukum islam.

Tipologi Konsep Humanisme Dalam Dunia Intelektual Islam Versi Arkoun

Arkoun dalam menarasikan konsep humanisme akan menggunakan kecenderungan oleh para Ulama di zaman Ibnu Miskawaih (IV H / X M). Dalam memandang dan memahami teks dan konteks sosial, humanisme menurut Arkoun terbagi menjadi tiga, yaitu humanisme literer, religius dan filosofis. Epistemologi humanisme literer membangun cara berfikirnya hanya melalui teks atau literatur. Salah satu kecenderungan dari humanisme literer ialah sifatnya yang kurang memperhatikan faktor historisitas munculnya suatu teks. Sehingga pada akhirnya, penafsiran, pemikiran dan wacana mereka sedikit akontekstual, ahistoris dan jauh jauh dari progresifan realitas. Terhadap wacan humanisme literer, Arkoun mempertanyakan konsep epistemologinya, misal mengapa dan bagaimana konsep yang tekstual ini menjadi sebuah ideologi, padahal sebelum menjadi wacana ideologis, teks-teks agama itu bersifat terbuka, historis, luwes, toleran terhadap tafsiran. Sehingga tidak sedikit, penafsiran tekstual tersebut dianggap kebal dari kritikan dan cenderung disakralkan.[4]

Kedua, humanisme religius, adalah sebuah konsep yang cenderung menggunakan nilai ketaqwaan sebagai basis pengetahuan akan makna teks agama yang bersifat simbolik. Religius yang erat kaitannya dengan dunia tasawuf, secara historis muncul di Baghdad dengan para pelopornya, misal Muhasibi (243 H), al-Busthomi (260 H), Junaidi (298 H) dan lain sebagainya. Salah satu dampak positif humanisme religius ialah mampu menjadikan akhlak dan moralitas sebagai objek pendalaman yang harus dinaungi oleh setiap orang. Basis humanisme ini adalah intuisi (dzauq) atau psiko-gnosis, langsung dari pengalaman tanpa melihat teks, atau setidaknya tidak menggunakan logika formal, dan lebih menekankan spiritual-esoterik. Menurut Arkoun, salah satu sisi positif lain ialah dengan religius seorang bisa mendekat ke Tuhan tanpa perantara para pastur atau sejenisnya, namun memiliki dampak negatif, yaitu akan mengesampingkan realitas manusia dan nilai-nilai dunia yang sebenarnya bersifat nyata. Karena humanisme ini, terlalu memusatkan diri pada teologis-metafisis transendental, apalagi mereka yang secara subjektif telah menyatakan penyatuan dengan tuhan (wihdatul wujud, manunggaling kawulo gusti). Pada fase ini, mereka akan mengasingkan diri (uzlah) sebagai tindakan nyata untuk menghindari hiruk-pikuk manusia dan dunia.[5]

Ketiga, humanisme filosofis, yang oleh Arkoun adalah jalan tengah antara dua humanisme sebelumnya, literer dan religius. Meskipun begitu, tampaknya Arkoun memiliki kecenderungan untuk mengoptimalkan kecerdasan manusia sebagai otonom kebebasan penafsiran (teks) agama. Tugas humanisme filosofis adalah mengharmonisasikan secara sehat dalam kosepsi kebenaran antara realitas dunia manusia dan tuhan. Penyingkapan misteri dan pengembangan antara wilayah sosial empiris dan teologis secara proporsional, menurut Arkoun, akan menyehatkan agama. Arkoun mencoba mengkritik nalar humanisme literer dan standarisasi teks serta pemikiran otomisme dan prinsip selalu memperbolehkan yang mengingkari hukum kausalitas. Dengan humanisme filosofis ini, Arkoun ingin meneruskan tradisi pemikiran filosofis-kritis dan historis.[6]

Koherensi Epistemologi Humanisme Arkoun dan Tahqiqul Manath

Tahqiqul manath secara istilah ialah proses interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi hukum islam dengan realitas sosial, budaya dan segala problem pada kehidupan modern ini, baik hukum itu dipastikan oleh dalil Al-Qur’an, hadits, atau ijma’.[7] Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa kinerja tahqiqul manath sangat berdampak pada aktualisasi hukum islam. Sebagai cara untuk kontekstualisasi, tahqiqul manath berfokus pada obyek hukum. Karena, identifikasi suatu masalah untuk mengetahui bagaimana hukumnya adalah sebuah keniscayaan. Kinerja untuk mengetahui secara tepat permasalahan tertentu pada realitas sosial modern inilah yang disebut oleh para Ulama sebagai “tahqiqul manath”.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan mencoba menyuguhkan bagaimana bangunan epistemology tahqiqul manath. Prosedur penetapan hukum (tanzilul hukmi) merupakan sebuah upaya konkrit yang tidak bisa dihindari. Hukum islam sejak dulu telah ditulis secara rapi oleh para Ulama, yang tertuang dalam buku-buku fiqh. Namun, kenyataan sosial masyarakat yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan, tidak menutup kemungkinan terdapat sebuah perilaku masyarakat yang tidak ditemukan jawabannya di teks-teks fiqh. Pada titik inilah, tahqiqul manath berperan sebagai metodologi untuk mengetahui bagaimana hukum tersebut bertaut dengan teks fiqh. Dimana teks fiqh tersebut telah diperas dan ditemukan saripatinya oleh Ulama dari teks-teks transendental (Al-Qur’an dan Hadits).[8]

            Untuk mengetahui realitas sosial yang majemuk dan plurak, Imam Al-Ghazali memberikan lima alat bantu untuk mentransfomasikan dan memoformulasikannya pada hukum fiqh. Kelima alat bantu itu berhubungan dengan keilmuan di luar fiqh, yaitu ilmu Bahasa (linguistic), ilmu sosial-kultural, ilmu logika, ilmu pancaindra, dan ilmu fisika.[9] Balqosim menambahkan berbagai perankat teori yang setidaknya mampu untuk mengetahui peristiwa. Antara lain, ilmu astronomi, ilmu kedokteran, ilmu politik, dan ilmu antropologi.[10] Pada titik penulis akan mencoba menyuguhkan bagaimana bangunan relasi dan persamaan antara konsep tahqiqul manath dan narasi humanisme Arkoun. Kesamaan antara kedua konsep ini akan berfokus pada sumber pengaplikasiannya. [11]

Wajah Identik Teori Humanisme Arkoun Dan Tahqiqul Manath

             Untuk menarasikan keserasian antara konsep humanisme Arkoun dan tahqiqul manath, maka penulis menemukannya dalam belantara sumber yang digunakan oleh keduanya. Keserasian ini tentu memiliki implikasi yang berbeda. Jika tahqiqul manath digunakan sebagai menilai bagaimana hukum fiqh dari sebuah realitas, maka humanisme menurut Arkoun ialah sebagai wacana teoritis keilmuan islam. Tahiqul manath sebagai wacana praktis, sedangkan humanisme Arkoun lebih dominan dalam pemahaman akan sebuah teks agama. Juga tahqiqul manath untuk dijadikan sebagai penetapan hukum, sedang humanisme Arkoun lebih luas dari pada tersebut, mencakup pemaknaan filosofis (hikmah) akan teks agama yang plural.[12]

            Pada titik inilah, penulis mencoba untuk menyeleraskan kedua teori yang berbeda kutub ini. Kesamaan itu terletak pada pemberlakuan seumber dalam pembenaran teori antara keduanya. Diantara beberapa kesamaan sumber yang digunakan oleh dua wacana (teori) ini adalah:

  1. Sumber Teks-Teks Suci

Konsepsi pemikiran Arkoun tidaklah terlepas dari teks-teks transendental. Namun penafsiran Arkoun terhadap Al-Qur’an terlihat tampak berbeda dengan penafsiran komersial. Dia mencoba menyuguhkan unsur historisitas dalam memaknai berbagam kecenderungan yang ada dalam Al-Qur’an. Tidak hanya meminjam teori historis dalam penafsirannya. Lebih dari itu, Arkoun mencoba menerapkan model tafsir concordisme, yaitu model tafsir yang mengintegrasikan unsur-unsur keilmuan sekuler. Sehingga pada akhirnya pemaknaan teks Al-Qur’an bagi Arkoun terbilang humanis-antrophosentris.[13]

Sedang tahqiqul manath juga sangat membutuhkan akan teks Al-Qur’an dan Hadits. Karena hukum islam poros utamanya ialah teks Al-Qur’an dan hadits. Dalam teologi Asy-‘Ariyyah, hukum harus dilandaskan pada teks transendental.[14] Tahqiqul manath sebagai cara untuk menghukumi sebuah realitas dan problematika, sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dengan teks Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber primer yurisprudensi. Balqosim mengutip pendapat Al-Ghazali, menyatakan bahwa manath (reason, alasan) sebuah hukum terkadang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan hadits. Karena pada ayat atau hadits tertentu, secara gamblang telah disebutkan bagaimana hukum itu harus berlaku. Missal bolehnya menikah dan menikahkan saat setelah ihram haji ataupun ihram umrah.[15]

  1. Nalar: Posisi Akal, Pengaruh Filsafat Dan Ilmu Sosial-Sosial Modern.

Humanism Arkoun juga memiliki sumber pada nalar manusia. Nalar menurut Arkoun ialah cara manusia memandang, menyikapi dan menguraikan sebuah realitas. Menurutnya sumber nalar manusia terbagi menjadi dua, penggunaan akal dan perkembangan ilmu bahasa dan humanities. Pada titik ini, Arkoun mencoba meletakkan akal sebagai cara pandang yang lebih didahulukan. Optimalisasi penggunaan akal tanpa mencederai nilai kandungan Al-Qur’an tampaknya yang ingin ditiru oleh Arkoun dalam konsep humanismenya. Tampaknya Arkoun telah meneliti bahwa para pendahulu kita mencoba memasukkan pijakan rasionalitas, muatan apistemologi dan metodologi dari pada ilmu-ilmu asing.[16]

Tahqiqul manath sebagai cara untuk memahami realitas juga tidak mengesampingkan posisi nalar. Sebagai mana telah disebutkan sebelumnya, bahwa Al-Ghazali telah memberikan lima masukan keilmuan di luar agama untuk memahami sebuah problematika, baik hubungannya dengan manusia atau selainnya. Lima itu antara lain: ilmu Bahasa (linguistic), ilmu sosial-kultural, ilmu logika, ilmu pancaindra, dan ilmu fisika.[17] Balqosim menambahkan berbagai perankat teori yang setidaknya mampu untuk mengetahui peristiwa. Antara lain, ilmu astronomi, ilmu kedokteran, ilmu politik, dan ilmu antropologi.[18] Pada titik ini, antara tahqiqul manath dan humanism memiliki cara yang sama dalam memposisikan akal. Bagi Arkoun, sebuah wacana dalam sebuah teks yang telah terangkum dalam sebuah pemikiran tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor historis: sosio-kultural, ekonomis, politis, bahasa, logika dan lain sebagainya.[19]

  1. Intuisi dan Rasa Keagamaan

Pada sumber yang ketiga ini, sejauh pembacaan penulis, antara konsep humanisme Arkoun dan tahqiqul manath yang berbasis pada intuisi hanya ditemukan dalam konsep tahqiqul manath Asy-Syathibi. Menurut asy-Asyathibi tahqiqul manath terbagi menjadi dua, yaitu tahqiqul manath ‘amm (umum) dan khosh (khusus). Pada titik ini, antara kedua model tahqiqul manath ini, yang memiliki basis dengan intuisi dan sifat keberagamaan manusia ialah “tahqiqul manath khosh”.[20] Menurut Syathibi tahqiqul manath model ini tidak hanya mempergunakan alat dan wacana keilmuan konfensional. Namun juga munggunakan hasil dan buah dari nilai ketaqwaan seorang. Dimana hasil dari taqwa ini oleh Allah menurut Syathibi dinarasikan dengan ungkapan “hikmah” (falsafah).[21]

Sedang humanism yang berbasis pada intuisi dan rasa keagamaan, bagi Arkoun juga tidak kalah pentingya dengan sumber teks dan nalar manusia. Intuisi bagi Arkoun memiliki hubungan erat dengan hal mistis yang memiliki hubungan erat dengan simbol-simbol yang ada dalam al-Qur’an. Symbol ini menurut Arkoun mamiliki andil dalam memberikan semangat intuisi, rasa keagamaan dan angan-angan sosial. Pada titik ini, Arkoun mencoba membawa Analisa Antropologis, sebagai cara untuk merenovasi bangunan Al-Qur’an yang penuh dengan symbol dan kemistisan. Intuisi merupakan nilai yang kaya yang dimliki oleh bangsa Timur dan sekaligus membedakannya dengan dunia Barat yang mengedepankan rasa yang rasional.[22]

Kesimpulan

Nalar keilmuan islam merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki oleh muslim. Salah satu nalar terhadap bahasa agama yang pluralis ialah Humanisme versi Muhammad Arkoun. Dalam tipologi humanisme yang dibawakan oleh Arkoun, nampaknya telah mengilhami kebendaharaan keilmuan islam untuk lebih maju dan terbuka. Terdapat tiga model penalaran humanis menurut Arkoun, yaitu literer yang berbasis pada teks transendental, filosofis yang bermodalkan nalar, dan religious dengan basis utama intuisi dan rasa keagamaan seseorang. Pada titik ini, seperti halnya Abid Al-Jabiri, Muhammad Arkoun mencoba menawarkan konsep yang lebih humanis dengan mengintegrasikan keilmuan sekuler dan humanisme barat.

Sedang nalar tahqiqul manath, sebagai sebuah cara untuk memahami realitas dan problematika sosial, memiliki kecenderungan yang hampir sama dengan kosep humanisme Arkoun. Tahqiqul manath sejak awal telah menjadikan teks transendental sebagai basis utama penetapan hukum islam atas sebuah relitas. Tak hanya itu, tahqiqul manath juga meminjam keilmuan liyan dalam dunia penetapan hukum (tanzilul hukmi). Pada titik inilah, kontekstualisasi hukum islam dapat dilakukan secara bijak dan tepat, tanpa pereduksian yang dapat mengalihkannya dari rasa kemashlahatan. Lalu, Asy-Syathibi mencoba memadukan rasa dan intuisi akan ketaqwaan dalam memandang realitas dan pada akhirnya hukum tidak kering akan nilai keagamaan. Lalu apakah antara humanisme Arkoun atau humanisme lainnya juga memiliki perbedaan dengan konsep tahqiqul manath? Wallahu A’lam!

[1] Baedhowi, Humanisme Islam, Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Arkoun, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hal. 47-56.

[2] Ibid, hal. 57-61.

[3] Ibid, hal. 61-65.

[4] Ibid, 65-71.

[5] Ibid, 71-79.

[6] Ibid, 79-85.

[7] Balqosim Az-Zabidi, Al-Ijtihad Fi Manathil Hukmi Asy-Syar’i, hal. 474

[8] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa, (Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2022), hlm. 53-55.

[9] Abu hamid Al-Ghazali, Asasul Qiyas, (Riyadh: Maktabah Al-‘Abikan, 1993 M), hlm. 37-42

[10] Lihat Balqosim Az-Zabidi, Al-Ijtihad Fi Manathil Hukmi Asy-Syar’i.

[11] Pada tulisan ini, penulis akan menggunakan data primer dari Buku Baedhowi yang memfokuskan penelitiannya pada konsep humanisme Arkoun. Buku tersebut berjudul “Humanisme Islam, Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Arkoun’. Khusus pada tulisan pendek ini, penulis akan mengambil satu sub Bab dari buku tersebut, yaitu “Sumber, Metode dan Pendekatan”. Hal 105-125.

[12] Humanisme bagi Arkoun merupakan buah pikiran yang pada akhirnya mampu digunakan sebagai pembebas atas nalar Islami yang mainstream. Namuun, secara mandiri Arkoun tetap menghargai nalar humanism Islami, Dimana misi kemanusian tetap dihargai dengan segala kebebasannya, namun tidak melupakan kinerja manusia sebagi khalifatullah dan seorang hamba. Lihat Baedhowi, Humanisme Islam, Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Arkoun, hal. 47-56.

[13] Ibid, 105-114.

[14] Sahal Mahfudz, Thoriqotul Husshul, (MASDA: 2018), hal. 17-18.

[15] Balqosim, Al-Ijtihad FI Manathil Hukmi, Hal 321-324.

[16] Baedhowi, Humanisme Islam, Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Arkoun, hal. 114-121.

[17] Abu hamid Al-Ghazali, Asasul Qiyas, (Riyadh: Maktabah Al-‘Abikan, 1993 M), hlm. 37-42

[18] Lihat Balqosim Az-Zabidi, Al-Ijtihad Fi Manathil Hukmi Asy-Syar’i.

[19] Baedhowi, Humanisme Islam, Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Arkoun, hal. 119.

[20] Pada serial essai selanjutnya, jika diberi izin Allah, maka saya akan membahas tahqiqul manath model ini. Tunggu saja.

[21] Syathibi menggunakan beberapa ayat Al-Qur’an sebagai bangunan argumentasi tahqiqul manath model limited ini, yaitu Surat al-Anfal ayat 29: إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا Dan surat Al-Baqoroh ayat 269: يُؤْتِى ٱلْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرًا Lihat Al-Muwafaqot Vol 5, hal. 232-40.

[22] Baedhowi, Humanisme Islam, Kajian Terhadap Pemikiran Filosofis Arkoun, hal. 122-126..

 

Exit mobile version