“Relevansi Ayat-Ayat Qishas dalam konteks Negara Indonesia”
Diskusi Ilmiah
23 Januari 2022
Himpunan Santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh
Tema: “Relevansi Ayat-Ayat Qishas dalam konteks Negara Indonesia”
Di negara Indonesia, ada beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yang tidak diterapkan isi dan kandungan hukumnya, seperti ayat-ayat mengenai hukuman Qishâs.
Pertanyaan:
Apakah boleh kita mengatakan bahwa ayat ayat qishâs tersebut sudah tidak relevan? apakah boleh hukuman-hukuman qishâs tersebut diganti dengan hukum lain atas dasar maslahat?
Jawaban:
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagi pedoman kehidupan bagi umat Islam, di mana salah satu kandungannya berupa ketentuan-ketentuan hukum. Di antara ketentuan hukum yang diterangkan oleh al-Qur’an ialah mengenai qishâs—yang dimaksud dengan qishâs sendiri ialah hukuman balas setimpal bagi pelaku tindak kejahatan kriminal, berupa pembunuhan dan perusakan/melukai anggota badan—sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٧٨ﵞ [البقرة: 178]
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (al-Baqarah ayat 178)
Dalam konteks negara Indonesia—sebagai negara majemuk dan plural, di mana warga negaranya tidak hanya beragama Islam—ayat qishâs tersebut cukup sulit untuk diterapkan secara kaffah (keseluruhan) dan sama persis dengan konsep qishâs dalam hukum Islam, karena warga negara Indonesia yang nonmuslim belum tentu bisa menerima konsep hukuman qishâs dari Islam. Artinya, problem utama yang menjadi titik tekan adalah kesiapan warga negara Indonesia untuk menerima konsep hukuman qishâs, jika warga negara Indonesia belum siap untuk menerapkan hukuman qishâs, maka tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan, karena negara Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi asas kesepakatan bersama. Berbeda halnya ketika hukuman qishâs memang disetujui oleh warga negara Indonesia melalui prosedur penetapan hukum yang sah di badan legislasi, jika realitanya memang demikian, maka sah-sah saja jika hukuman qishâs diterapkan menjadi hukum positif di Indonesia.
Kesiapan dan penerimaan masyarakat Indonesia adalah prasyarat bagi berlakunya hukuman qishâs sebagai hukum positif negara. Jangan sampai dalam usaha menegakkan hukuman qishâs terdapat unsur pemaksaan kehendak yang bisa berakibat pada perpecahan antarelemen bangsa dan mengancam integritas bangsa Indonesia. Maksudnya, upaya menegakkan hukuman qishas merupakan hal yang baik, yaitu sebagai salah satu bentuk ikhtiar dalam menanggulangi tindakan kriminal. Akan tetapi, dalam upaya penegakannya jangan sampai menimbulkan mafsadah lain yang lebih besar, yakni perpecahan antarelemen bangsa. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw., sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis, bahwasanya suatu ketika Rasulullah tidak menegakkan hukum potong tangan bagi anggota pasukan yang ketahuan mencuri di masa peperangan, hal ini dilakukan dengan tujuan menghindari mafsadah yang lebih besar, berupa pembelotan yang dilakukan si pencuri kepada kaum kafir, di mana si pembelot tersebut sangat berpotensi menyebarkan aib dan kelemahan kaum muslimin.
Memahami hadis di atas, Syekh Abdullah bin Mahfudh bin Bayyah berkata:
قلت: ويؤخذ من هذا أن الإمام العدل الراعي مصالح الدنيا والدين في مقام التنزيل يجوز له أن يعلق الحد أو القصاص إذا ترتبت عليها مفسدة أعظم.
Artinya: “Saya berkata: dari hadis ini bisa diambil kesimpulan, bahwa seorang imam yang adil, yang paham terhadap kemaslahatan dunia dan agama dalam pengambilan keputusan boleh menangguhkan/menghilangkan hukuman had/qishâs apabila dalam penerapan hukuman tersebut menimbulkan mafsadah yang lebih besar.” (Abdullah bin Bayyah, Itsârât Tajdîdiyyah fî Huqûl al-Ushûl, versi pdf tanpa cetakan, halaman 150-151)
Dari pendapat Syekh Abdullah bin Bayyah di atas, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa upaya penerapan hukuman qishâs di negara Indonesia tidak perlu dipaksakan, karena yang dikhawatirkan dari pemaksaan tersebut ialah munculnya mafsadah yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya hukuman qishâs, yakni perpecahan antarelemen bangsa dan disintegrasi Indonesia.
Kemudian, meskipun hukuman qishâs belum bisa diterapkan secara keseluruhan di negara Indonesia, sebenarnya prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep hukuman qishâs sudah diterapkan dalam hukum positif Indonesia, walaupun dalam penerapannya dilakukan dengan banyak penyesuaian terhadap kondisi masyarakat. Hal itu sebagaimana tercermin dalam pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Melihat isi pasal 340 KUHP di atas—di mana pelaku pembunuhan berencana diancam dengan hukuman mati—kita bisa mengetahui bahwa hukum positif Indonesia sebenarnya telah mengadopsi prinsip-prinsip dari hukuman qishâs yang ada dalam ajaran Agama Islam. Jadi, sangatlah tidak benar tuduhan sementara golongan yang mengatakan bahwa negara Indonesia anti terhadap Islam. Karena sejatinya, nilai-nilai keislaman telah diterapkan di Indonesia, hanya saja dengan beberapa penyesuaian
Sebagai penutup, kami akan mengutip keterangan dari K.H. Maimoen Zubair yang bisa dijadikan rujukan terkait sikap yang harus dilakukan oleh setiap muslim di saat melihat realita bahwa hukum qishâs maupun hukum-hukum syariat yang lain belum mampu diterapkan secara maksimal di Indonesia. Beliau berkata:
فالأحكام القرآنية أو الشرعية التي لم نستطع العمل بها لا يجوز تبديلها وتغييرها من قبل أنفسنا، ولاسيما بدعوى الاجتهاد والاستنباط. وانما الواجب علينا تجاهها العمل بما أمكن في حدود أنفسنا وأسرنا وأهلينا وخدمنا ومن تحت رعايتنا، قال تعالى: ﵟلَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚﵞ [البقرة: 286] ، وقال: لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗاﵞ [الطلاق: 7] وأن نأسف ونحزن ونتحسر على تعطيلها وعدم تنفيذها والصبر وانتظار الفرج من الله تعالى حتى يجيء الأوان ويأتي الابّان لتطبيقها والعمل بها وأن لا نزال موقنين بحقية تلك الأحكام المعطلة، وأنها أحكام الله اللطيف الخبير العليم بمصالح العباد، ونعتقد صلاحية الشريعة الاسلامية لكل زمان ومكان، ولكل أمة وشعب، ووفاءها بحاجات البشر، وأن المسلمين لو عملوا بها واحتكموا إليها لكان في ذلك سعادتهم وعزتهم في الدنيا و الآخرة.
Artinya: “Hukum-hukum al-Qur’an atau disebut juga hukum-hukum syariat, yang tidak mampu kita amalkan, tidak diperbolehkan untuk mengganti, dan mengubahnya sesuai dengan kemauan nafsu kita, apalagi dengan klaim ijtihad dan istinbath. Yang menjadi kewajiban bagi kita dalam menyikapi hukum-hukum tersebut ialah mengamalkannya sesuai dengan kemampuan dalam batas-batas diri kita, keluarga kita, pembantu kita, dan orang yang berada di bawah tanggungan kita. Allah Swt. berfirman: ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.’ (al-Baqarah: 286). Dan Allah juga berfirman: ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.’ (at-Talaq: 7). Hendaknya kita merasa bersalah, bersedih, dan menyesal karena telah menyia-yiakan, dan tidak menjalankannya. Dan juga hendaknya kita bersabar dan menunggu kesempatan yang diberikan Allah sampai datangnya waktu dan kesempatan untuk menerapkannya. Dan seharusanya kita selalu yakin dengan kebenaran hukum-hukum yang tidak terpakai itu, dengan yakin bahwasanya hukum-hukum tersebut merupakan hukum-hukum Allah yang Maha Lembut, Maha Waspada, serta Maha Mengetahui terhadap kemaslahatan-kemaslahatan hamba-Nya, dan kita harus meyakini relevansi syariat Islam di setiap masa, setiap tempat, setiap umat, dan setiap bangsa. Dan kita seharusnya yakin akan kemampuan syariat Islam dalam memenuhi hajat-hajat manusia. Serta kita harus meyakini seandainya orang Islam mengamalkan hukum-hukum tersebut maka hal itu bisa menjadi lantaran dan sebab kebahagiaan dan kemuliaan mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (Syekh Maimun Zubair, al-Ulama al-Mujaddidun wa Majalu tajdidihim wa ijtihadihim, (Rembang: LTN Al-Anwar, tt) Hlm. 13-14.
Dari keterangan K.H. Maimoen Zubair di atas, kita bisa mengambil dua poin penting sebagai pijakan dalam bersikap, pertama: sebagai seorang muslim kita harus berkeyakinan secara penuh bahwa hukum-hukum al-Qur’an dan hukum-hukum syariat merupakan hukum-hukum Allah yang selalu relevan dimanapun, kapanpun dan bagi siapapun. kedua: ketika hukum-hukum Allah belum bisa diterapkan secara menyeluruh, sikap yang mesti dilakukan ialah bersabar dan menunggu kesempatan yang diberikan oleh Allah untuk menerapkan hukum-hukum tersebut.
والله أعلم بالصواب