Belum lama ini viral sebuah kasus kekerasan di pondok pesantren yang mengakibatkan tewasnya seorang santri karena perkelahian dengan teman satu pondoknya. Peristiwa yang seharusnya tidak pernah terjadi di pondok pesantren, yang mana pesantren itu tempat mulia untuk menimba dan mendalami ilmu-ilmu agama islam. Sangat mengherankan jika ada perkelahian yang sampai menimbulkan kematian disebuah lembaga pesantren. Namun kekerasan terhadap santri seolah-olah sudah dianggap lazim oleh para senior yang masih memegang budaya lama, dengan dalih menertibkan santri yang nakal atau yang tidak mentaati peraturan.
Meninjau kembali, bahwa hakikat pesantren adalah tempat untuk mendalami ilmu-ilmu agama maupun umum dengan memberikan bimbingan dan nasehat agar santri mampu mengelola hidupnya dan mencapai kesejahteraan dunia akhirat yang sesuai dengan ketentuan tuhan. Juga tempat untuk membentuk karakter santrinya agar menjadi budi pekerti yang baik akhlaknya ataupun tata kramanya dengan konsep tafaqquh fi ad-din.
Ilmu-ilmu agama yang sudah diajarkan dalam pesantren diharapkan mampu menekan potensi munculnya kekerasan dalam pondok pesantren itu sendiri, termasuk kekerasan seksual yang belum lama ini juga sedang ramai diperbincangkan dikhalayak umum. Namun, kekerasan pesantren yang sudah terjadi itu, hanya terjadi disebagian kecil oknum yang ada di beberapa pesantren saja, dan masih banyak pesantren-pesantren lain yang tetap menjalankan hakikat semestinya.
Jika potensi munculnya kekerasan dalam pesantren yang diakibatkan adanya senioritas di pondok pesantren masih memungkinkan terjadi, maka tidak ada salahnya untuk membenahi sistem yang sudah lama diterapkan tersebut. Maka dari itu, sudah saat nya pesantren move on dari kebiasaan lama. Sudah jelas kini budaya lama perlahan telah tergerus oleh perkembangan teknologi. Seraya mendesain ulang tatanan baru yang kontributif-konstruktif. Seharusnya sistem mulai dibenahi, dan jangan kolot dengan pendapat yang konservatif dengan dalih usang “Jangan hilangkan budaya lama dipesantren”. Padahal yang dimaksud kebiasaan yang tidak berperi kemanusiaan serta melanggar norma kesusilaan.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, hal yang harusnya menjadi privasi internal pesantren, sekarang bisa sangat mudah dan cepat diketahui oleh publik. Pesantren dan tantangannya, mulai dituntut transparansi. Jika transparansi tidak diindahkan, justru bisa menjadi bom waktu untuk pesantren itu sendiri. Dulu dipukul oleh pengurus atau senior itu sebuah masalah kecil, namun sekarang sudah menjadi hal yang besar.
Terkadang saat menjadi pengurus, seorang santri bisa terbuncah nafsunya ingin menghakimi total, kepada mereka yang melanggar aturan. Menjadi pengurus bukanlah hal mudah, mereka belajar sekaligus mencoba di waktu yang bersamaan. Dan sesungguhnya sangat sulit untuk membimbing mereka tanpa melibatkan emosi. Namun, Kiai Sahal (Pengasuh pondok pesanten di daerah Pati) sudah berpesan bahwa “Sampaikan arahan, teguran dan bimbingan pada murid dengan penuh kasih sayang dan tanpa emosi”. Maka dari itu para pengurus pondok sebisa mungkin mematuhi apa yang sudah dipesankan oleh pengasuh.
Salah satu contoh dalam pondok pesantren yang diasuh oleh kiai sahal, para santrinya diberi kesempatan untuk mengikuti acara semacam Emotional Spiritual Quotient (ESQ) atau Neuro Linguistic Programing (NLP) yang setiap tahunnya memang diadakan dari lembaga pesantren. Selain memberikan motivasi, acara tersebut juga dapat membantu santri memahami potensi kesadaran dalam diri. Langkah tersebut sebenarnya lumayan membantu para santri, karena setelah acara training tersebut usai, akan ada bimbingan lebih lanjut dari beberapa elemen internal pesantren yang koordinatif.
Oleh karena itu, adanya training ESQ atau NLP ini penting sekali bagi santri, agar dapat peninjauan menghadapi perubahan yang terjadi begitu cepat ini, juga dapat mengetahui langkah demi langkahnya dengan jelas untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Serta perubahanya dapat membantu para santri menjadi lebih percaya diri, juga dapat menyembuhkan traumanya.
_________
Kontributor: Ainie Tsuroyya, santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda semester V