Amfibi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu “Amphi”(rangkap) dan “bios” (hidup). Hewan yang hidup di dua alam sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah barmā’ī (برمائي). Kata barmā ī merupakan penggabungan dari dua kata, yaitu barri (بر ) yang artinya daratan dan mā (ماء ) yang berarti air. Secara sederhana artinya ialah hewan darat dan air (amfibi). Oleh karena itu, amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua habitat.
Didalam hukum menkonsumsi hewan amfibi, Ulama’ berbeda pendapat. Ada yang menghalalkan, namun kebanyakan malah mengharamkannya. Terkait alasan kenapa banyak Ulama’ yang mengaharamkannya, penulis sendiri belum menemukan alasan atau dalil dari Qur’an maupun hadis yang secara tegas dan sepesifik (khusus) menerangkan hal tersebut.
Dari pengamatan yang kami lakukan, belum ada dalil dari Qur’an maupun hadis yang secara sepesifik menerangkan tentang hewan amfibi, apalagi sampai hukum mengkonsumsinya. Dari pengamatan kami, pembahasan tentang hewan amfibi hanya terbatas pada kitab-kitab fikih, itu pun, disitu tidak disinggung sama sekali terkait pijakan dalil yang digunakan untuk menganalisis hewan amfibi.
Mengenai pembahasan hewan amfibi di dalam beberapa kitab fikih, rata-rata contoh hewan yang disebut adalah katak (kodok) dan kepiting. Hal ini seperti apa yang diterangkan oleh Imam ar-Ramli didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, tentang binatang yang hidup di air dan daratan:
وما يعيش دائما في بر وبحر كضفدع وسرطان ويسمى عقرب الماء ونسناس وحية حرام لاستخباثه وضرره
Hal serupa juga diungkapkan oleh al-Khatib asy-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj tentang binatang yang hidup di air dan daratan :
وما يعيش فب بر وبحر كضفدع وسرطان ويسمى ايضا عقرب الماء وحية حرام للسمية في الحية والعقرب وللاستخباث في غيرها.
Dari kedua keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa alasan Imam ar-Romli dan al-Khatib asy-Syarbini mengharamkan hewan yang hidup di air dan daratan sekaligus dikarenakan unsur istikhbats (menjijikkan, buruk) dan adanya dharar (bahaya) yang terkandung didalamya.
Mengenai ‘illat (alasan) yang menjadi sebab keharaman hewan amfibi tersebut, jika kita korelasikan dengan apa yang ada dalam Qur’an maupun hadis, maka ‘illat tersebut merujuk pada dalil yang masih bersifat umum, artinya dalil mengenai keharaman hewan amfibi masih bersifat umum, belum sampai pada taraf dalil yang sepesifik (khusus).
Oleh karenanya kesimpulan yang bisa kami dapat yaitu tidak ada dalil yang secara khusus mengharamkan (konsumsi) hewan amfibi, dan hukum terkait hal tersebut hanya bersifat ijtihady (dhzonny), oleh karenanya konsumsi hewan amfibi masih bersifat serba kemungkinan, bisa mengarah kepada halal, maupun haram tergantung ‘illat yang terkandung pada masing-masing hewan tersebut.
Jika seperti itu, maka bagiamana status keharaman kepiting dan katak (kodok) ? Mengenai hal tersebut, apabila kita anlisis dengan mengkategorikannya sebagai hewan amfibi, maka status keharamannya belum qoth’i, sebab belum ada dalil yang secara khusus mengharamkannya. Sedangkan di dalam kaidah fikih sendiri disebutkan
الاصل في الاشيأ الاباحة حتى يدل دليل على تحريمها
” pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya.”
Alhasil, jika memang tidak ada dalil yang secara sepesifik mengaharamkan hewan amfibi, terutama kepiting dan katak, maka kemungkinan mengarah pada kehalalannya juga besar.
Mengenai kepiting sendiri jika kita analisis lebih dalam, unsur untuk menilainya sebagai hewan yang halal lebih kuat daripada keharamannya. Selain karena menilai dalil-dalil tentang keharaman hewan amfibi belum kuat, akhir-akhir ini banyak ahli yang meneliti bahwa kepiting bukan termasuk kategori amfibi. Kalaupun pendapat mengenai keharaman hewan amfibi itu bisa diterima, toh kepiting tidak termasuk di dalamnya.
Pendapat bahwa kepiting bukan hewan dua alam telah dikemukakan oleh banyak pakar dan ahli, salah satunya yakni Dr. Sulistiono (dosen Fakultas perikanan dan kelautan IPB) dalam makalah ( Eko-Biologi Kepiting Bakau ). dalam penjelasannya, para pakar memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit, tetapi tidak demikian halnya dengan kepiting. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa bertahan di darat selama 4–5 hari karena insangnya menyimpan air, tapi kalau tidak ada airnya sama sekali dia akan mati. Jadi, kepiting tidak bisa lepas dari air, karena memang habitatnya di air. Dari penjelasan tersebut bisa kami simpulkan bahwa kepiting termasuk hewan yang halal dikonsumsi sebab ‘illat (alasan yang mendasari keharamannya sudah terpatahkan oleh berbagai penelitian dan temuan yang bisa dipertanggung jawabkan.
Mengenai keharaman katak sendiri hampir semua Ulama’ sepakat tentang keharamannya, bukan hanya sebab katak termasuk kategori amfibi, namun ada dalil yang memang secara sepesifik menyinggung tentang keharaman katak. Dalil tersebut berasal dari hadis yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman al-Quraisy yang berbunyi :
عن عبد الرحمن عثمان القرشي أن طيبا سأل رسول الله صم عن الضفدع يجعلها في الدواء، فنهى عن قتله (أخرجه أحمد وصححه الحاكم وأخرجه أبو داود والنسائي)
“Dari Abdurrahman bin ‘Utsman al-Quraisy bahwanya seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya. (Di- takhrij-kan oleh Ahmad dan di-shahih-kan oleh Hakim, di-takhrij-kan pula oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Dari hadits tersebut, mayoritas Ulama’ mengatakan bahwa memakan daging kodok itu haram, sebab Rasulullah SAW melarang untuk membunuhnya. Sementara di kalangan ulama berkembang sebuah kaidah bahwa hewan-hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, hukumnya haram dimakan. Meski pun tidak tidak disebutkan bahwa hewan itu najis atau haram dimakan.
Demikian juga dengan hewan yang dilarang untuk membunuhnya, hukumnya pun haram dimakan, meski tidak ada keterangan bahwa dagingnya najis atau haram dimakan. Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Oleh karenanya keharaman memakan daging katak lebih mendasarkannya pada dalil hadis tersebut daripada membawanya dari kategori amfibi yang belum jelas dalilnya dan masih lemah dalam hal istidlalnya.
Dari bebagai data yang telah kami sebutkan, bisa diambil suatu kesimpulan bahwa dalil keharaman kepiting terpatahkan oleh adanya perubahan ‘illat yang mendasarinya. Sedangkan dalil keharaman katak masih terus berlanjut, bukan karena katak termasuk amfibi, namun karena ada nash hadis yang secara tegas menerangkannya.
Agar lebih jelas mengenai hukumnya, bisa dilihat di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab karya Imam an-Nawawi :
قلت: الصحيح المعتمد أن جميع ما في البحر تحل ميتته إلا الضفدع، ويحمل ما ذكره الأصحاب أو بعضهم من السلحفاة والحية والنسناس على ما يكون في ماء غير البحر، والله تعلى اعلم. الى ان قال :
(فرع) قد ذكرنا أن الصحيح من مذهبنا حل جميع ميتات البحر إلا الضفدع، وحكاه العبدري عن أبي بكر الصديق وعمر وعثمان و ابن عباس قال: وقال مالك: يحل الجميع سواء الضفدع ،وغيره وقال أبو حنيفة: لا يحل غير السمك.
Wallahu A’lam…
M. Ulil Albab, Santri semester 5 Ma’had Aly PMH 23/24.