Satu pertanyaan penting yang patut kita lontarkan untuk pertama kali ketika nama pesantren dibicarakan adalah; Mengapa pesantren sebagai sebuah lembaga mampu bertahan sampai sekarang? Sementara arus globalisasi dan modernisasi sedemikian hebatnya menerpa setiap sendi kehidupan. Pesantren sebagai elemen dari komunitas social sudah tentu tidak terlepas dari proses globalisasi dan modernisasi tersebut.
Dalam bidang pendidikan, sejarah mencatat bahwa pesantren yang notabene memiliki fungsi tarbiyah tidak begitu bergeming terhadap tekanan westernisasi dan modernisasi sistem pendidikan. Pada kenyataannya pesantren mampu mengisi ruang kosong yang tidak bisa dipenuhi oleh lembaga-lembaga pendidikan modern, persoalan moral misalnya; ternyata hasil dari proses belajar yang diterapkan oleh lembaga pendidikan modern mengalami persoalan yang cukup rumit; seperti tawuran antar pelajar dan pemakaian obat-obatan terlarang oleh para peserta didik mereka, sementara pesantren dengan ke-khasan metode dan kurikulum yang diterapkan mampu memberikan nilai lebih dalam hal moral terhadap peserta didiknya.
Pendidikan di pesantren dilaksanakan secara holistik dan komprehenshif, santri sebagai peserta didik tidak hanya diberikan materi secara Intelektual namun juga ditanamkan padanya nilai-nilai yang mengandung ajaran spiritual dan emosional, sehingga mereka benar-benar diharapkan menjadi insan yang utuh. Di pesantren secara otomatis karena memang lingkungan dan sistem mendukung, santri dituntut mampu menyeimbangkan antara otak kiri dan otak kanan sekaligus dikontrol oleh situasi dan kondisi lingkungan agar menyelaraskan antara kemampuan memahami dan mengamalkan sebuah materi yang diajarkan. Ketika hal ini mereka langgar maka mereka akan terhempas dan terlempar dari arus kehidupan para santri, karena memang disana ada tradisi dan kode etik yang senantiasa “dikukuhi” dan dihormati.
Bahkan dalam perkembangannya ternyata pesantren mampu melakukan berbagai langkah “evolutif” untuk tetap menjaga eksistensinya. Saat ini pesantren tidak hanya sebagai pusat studi keislaman dan lembaga tarbiyah saja, namun pesantren juga merambah kewilayah yang lebih luas dengan melakukan berbagai penyesuaian dan perubahan yaitu sebagai lembaga sosial-kemasyarakatan. Meskipun dalam sejarahnya dapat kita baca dan temukan bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan pesantren selama ini juga menyangkut wilayah itu namun dalam dua dasawarsa terakhir terlihat bahwa kerja-kerja pesantren di wilayah sosial yang dulunya bersifat sporadis dan tidak terkelola dengan baik sekarang telah menjadi hal yang sistematis terpola dan terlembagakan dengan modern.
Pesantren yang seringkali dikenal dengan “pondok” terdiri dari kata asal “santri” yang diberi awalan “pe” dan akhiran “an” yang menunjukkan tempat, dalam hal ini dapat diartikan sebagai tempat para santri mengejawantahkan diri mencari makna hidup dan kehidupan. Pesantren adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses yang wajar dalam perkembangan sistem pendidikan nasional. Dalam lintas sejarah pesantren tidak hanya identik dengan fungsi lembaga pengkajian terhadap keislaman tetapi mengandung makna keaslian Indonesia ( indigenous),proses sejarahlah yang pada kenyataannya telah membentuk dan menjadikan pesantren seperti sekarang .
Kehidupan pesantren merupakan sesuatu yang unik, seperti yang dapat dilihat dari gambaran lahiriyahnya. Secara fisik pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks tersebut berdiri minimal tiga bangunan utama; rumah kediaman pengasuh ( kiai ) atau sering disebut ndalem, sebuah Masjid atau Surau yang biasanya sekaligus dipakai sebagai tempat/pusat pengajaran dan pondokan tempat dimana para santri menginap/ hidup untuk menimba ilmu sang kiai selama menempuh pendidikan.
Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan tertua di Indonesia ( sekitar abad XVI ) memiliki berbagai keunikan dan ciri yang khas. Dari segi pengelolaan misalnya, seperti yang selama ini terlihat bersifat sangat mandiri dan berorientasi pada seorang figur sentral yang sering disebut “kiai”. Pada mulanya Pesantren merupakan tempat pendidikan yang didirikan oleh seorang tokoh agama Islam yang mempunyai kemampuan baik secara materi maupun keilmuan. Sehingga dalam proses selanjutnya keterlibatan pihak luar sangat terbatas dan minim, itupun dalam hal-hal tertentu saja.
Proses modernisasi dan globalisasi sebagai “nalar” zaman yang tidak mungkin dielakkan oleh siapapun; termasuk pesantren, dalam tahap selanjutnya menempatkan pesantren pada sebuah posisi yang dilematis, antara memilih untuk tetap mempertahankan berbagai ciri khasnya dengan resiko akan “ketinggalan” dan “ditinggalkan” oleh masyarakat atau mengikuti “arus” perubahan dengan konsekuensi melakukan berbagai lompatan yang signifikan dan urgen. Menurut Azyumardi Azra ada empat sikap yang dilakukan pesantren dalam menghadapi proses modernisasi sejak awal abad ini: pertama, pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational; kedua,pembaruan metodologi, seperti system klasikal, perjenjangan; ketiga, pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan; dan keempat; pembaruan fungsi, dari semula yang hanya fungsi kependidikan, dikembangkan sehingga juga mencakup fungsi social-ekonomi.
Seiring dengan perkembangan zaman yang menuntut berbagai konsekuensi tersebut, pesantren dengan sendirinya harus rela melakukan beberapa perubahan supaya tetap eksis. Karel Steenbrink mengatakan respon pesantren dalam hal ini dengan menyebutnya sebagai “menolak dan mencontoh”. Sambil menolak beberapa pandangan dunia kaum modernis, kaum tradisi di pesantren pada saat yang sama mereka juga —kecuali dalam batas tertentu— mengikuti jejak langkah kaum modernis, untuk bisa tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah “akomodasi” dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren, akan tetapi juga bermanfaat bagi para santri; seperti sistem kepengurusan, kurikulum yang lebih jelas serta sistem managerial dan pengelolaan pesantren. Hal ini tidak begitu sulit dilakukan oleh pesantren, mengingat kebanyakan pesantren dikelola secara mandiri baik dari segi finansial maupun operasional.
Berbagai keunikan pesantren mulai dari; cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diiukuti serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya menjadi alasan Gus Dur menempatkan pesantren sebagai sebuah subkultur. Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai kehidupannya sendiri. Dengan demikian dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan cultural yang relatif lebih kuat daripada masyarakat sekitarnya. Kedudukan ini terbukti dari kemampuan pesantren dalam melakukan transformasi total sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa mengorbankan identitas diri dan keunikannya.
Diskripsi singkat tentang pesantren diatas adalah bukti nyata bahwa dalam pesantren ada sebuah sistem yang jelas. Secara lebih umum bisa dikatakan sistem pendidikan pesantren karena pada dasarnya tugas utama pesantren adalah memberikan pendidikan, khususnya kepada santri maupun masyarakat secara umum. Sistem pendidikan pesantren yang digagas oleh KH.M.A. Sahal Mahfudh terimplementasikan dalam kerangka besar pesantren Maslakul Huda yang terdiri dari tiga elemen penting dalam pengembangannya: 1. Pesantren sebagai pengemban tradisi-tradisi klasik yang unik, 2. Kiai sebagai Cultural Broker atau transformator nilai dan gagasan, 3. Pesantren sebagai lembaga pengembangan masyarakat.
Ketiga elemen tersebut bermuara pada terwujudnya kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Pada tahap selanjutnya ketiga elemen dasar itu diwujudkan kedalam lembaga Maslakul Huda menjadi tiga langkah nyata: 1. Tarbiyah, dengan mendirikan pesantren putra dan putri, 2.LSM, dengan mendirikan Lembaga Pengembangan Masyarakat (BPPM) 3.Unit Usaha Provit dengan mendirikan badan usaha milik pesantren (BUMP)
Sebagai sebuah lembaga yang telah sekian tahun berdiri dan berjalan dengan berbagai aktifitasnya, Maslakul Huda membutuhkan semacam panduan berbentuk buku untuk memudahkan berbagai pihak dalam membaca dan memahami lembaga ini. Buku ini tidak sekedar tulisan atau catatan biografis tentang pesantren maslakul huda, namun lebih dari itu, buku ini nantinya diharapkan mampu memberikan gambaran secara holistic dan komprehensif tentang pemikiran dan gagasan besar KH.MA. Sahal Mahfudh mengenai sistem pendidikan pesantren dengan berbagai analisa dan dasar filosofinya.
Dalam penulisan, sengaja digunakan metode holistik hal ini dimaksudkan untuk bisa lebih dalam memahami dan meninjau gagasan KH.MA. Sahal Mahfudh tentang sistem pendidikan pesantren secara utuh dan komprehensif, karena subyek yang menjadi obyek studi tidak hanya dilihat secara ’atomis’, yang terisolasi dari lingkungannya, melainkan ditinjau dalam interaksi dengan seluruh kenyataannya. Sebuah obyek baru akan mencapai identitasnya dalam korelasi dan komunikasi dengan lingkungan sekitar yang melingkupinya, maka obyek hanya dapat difahami dengan memahami seluruh kenyataan dalam hubungan dengan dirinya terlebih dahulu, dan dia sendiri dalam hubungan dengan segalanya. Karena setiap sesuatu berangkat dari mana dia berada dan dalam situasi zamannya, ia selalu melakukan hubungan aksi-reaksi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zamannya, sehingga sulit untuk mengatakan sesuatu yang orisinal tanpa pengaruh pihak lain. Dengan demikian akan terjadi sebuah pusaran hermeneutis antara obyek penelitian dan cakrawalanya, yang pada tahap selanjutnya akan didapatkan pemahaman yang lebih kompleks dan cenderung mendekati kelengkapan menyeleruh terhadap obyek kajian.