Santri dan Solusi Bencana NKRI
oleh : M. Abdul Fatah dan M. Royhan
Korupsi, kesenjangan sosial, kebejatan politikus, kriminalitas yang nyata di tengah tengah masyarakat adalah masalah harian yang tidak asing lagi di telinga kita. Penyebabnya beragam, mulai dari kemerosotan moral, ngawurnya para pemangku konstitusi, hingga cacatnya sistem pemerintahan. Hal ini jika dikaitkan dengan runtutan bencana alam yang menimpa Indonesia, seakan-akan menjadi sebuah jawaban akan dosa pemerintah Indonesia, yang oleh kelompok khilafah (kelompok yang mengusung ideologi khilafah) mereka sebut “negara thogut”. Begitulah anggapan mereka (kelompok khilafah) bahwasanya semua bencana yang menimpa negri ini adalah laknat dari Tuhan, ketidak ridhoan Tuhan terhadap NKRI, yang kemudian diganjar dengan berbagai bencana alam
Lalu apakah ada yang salah dengan bangsa ini? Sampai-sampal alam pun murka dan meluapkan kemarahannya lewat bencana? Lantas Apakah kita harus mengganti sistem pemerintahan kita? Jika jawabannya iya, tergolong goblok lah kita. Dangkal sekali cara berfikir yang demikian. Suara lantang yang dikobarkan kum khilafah untuk menegakkan Daulah Islamiyyah bukanlah tanpa alasan. Cacatnya sistem pemerintahan di Indonesia yang ber-ideologikan Panasila menjadi alasan utama kelompok ini. Mereka menganggap negara Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga agenda dan tujuan mereka adalah mengganti negara Bhineka Tunggal Ika ini dengan sitem khilafah seperti pada masa kanjeng Nabi. Mereka berkeyakinan bilamana hukum hukum Islam diterapkan di Indonesia secara kaffah, maka secara ajaib Indonesia akan menjadi negara yang tentram dan damal
Alasan tersebut tidak masuk akal, karena mereka seakan-akan menganggap bahwa selama ini islam tidak menebar kedamain di negri ini. Seharusnya, jika mereka mau membaca sejarah, maka mereka pasti akan mengetahul bagaimana ajaran Islam yang dibawa ulama terbukti mampu memberi kesejukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, jika sistem khilafah akhirnya diterapkan di Indonesia, maka hal tersebut justru akan membubarkan keutuhan NKRI.
Kalaupun sistem khilafah akhirnya ditegakkan di Indonesia. Lalu siapakah yang pantas serta mampu menjadi seorang khalifah? Sudah pantaskah menjadi seorang khalifah dengan kriteria-kriteria yang amat ketat? Seideal apapun sistem pemerintahan jika tidak dijalankan oleh orang-orang berkompeten dan amanah, maka diibaratkan seperti barang berharga atau berguna ketika di tangan orang tolol yang tidak pada ahlinya, mereka tidak tau manfaatnya serta tidak mampu memanfaatkannya, sehingga tunggulah waktu kerusakannya. Jika demikian, tanpa melalui sistem khilafah, kedamaian yang dicita-citakan akan mudah dicapai dengan sistem negara ini apabila mampu menjalankan sistemnya dengan baik. Letak kecacatan negara ini bukan pada sistem pemerintahannya, melainkan pada orang orang yang menjalankan nya. Hal Ini bukanlah sebuah dakwaan, Ini merupakan sebuah realita jika dilihat dari aksi-aksi mereka serta gerakan-gerakan mereka yang mengatasnamakan Islam namun sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.
Apabila doktrin khilafah terus menerus digaungkan, kami (penulis) tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan negara kita tercinta. Faham (ideologi khilafah) ini betul-betul membahayakan bagi perkembangan Indonesia, seperti diskriminasi agama, sikap intoleran, fanatik buta, hingga menyuarakan aksinya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan yaitu kekerasan dan menimbulkan kerusuhan hingga peperangan. Lantas bagaimana tugas kita sebagai santri dalam menyikapi permasalahan tersebut? Bagaimana cara kita memposisikan diri untuk menghadapi kelompok khilafah tersebut?
Kunci yang paling utama adalah membekall diri dengan pemahaman agama yang kuat dan mendalam Bagi santri, makna Al-Muhafdzotu Ala al-Qodim dapat diimplementasikan apabila kekayaan ilmiah Ulama berupa literatur kitab kuning berfaham Ahlu as- Sunnah wa al-Jama’ah dapat dijaga dan dikuasai. Selain itu, pemahaman tentang nasionalisme cinta tanah air harus selalu dipupuk guna membentengi diri dari faham-faham yang bersifat makar kepada NKRI.
Apabila kalua kita melihat bahwa saat ini faham-faham khalifah tidak hamya menyasar dalam real life saja, media sosial pun menjadi lahan basah bagi mereka kelompok khilafah untuk menyebarkan fahamnya. Santri tidak boleh ketinggalan zaman, santri perlu meng-counter ideologi tersebut dengan mengembalikannya pada ajaran yang sesuai dengan konteks ke Indonesiaan. Dari sinilah implementasi Wa al-akhdzu Bi al Jdid Al-aslah dengan melakukan konteksualisasi model dakwah yang sesuai dengan zaman. Sudah tidak zaman lagi dakwah dengan (me)nunggu bola, jemput lah bola. Temanilah umat seperti apa yang telah diajarkan para kiai selama ini, yakni mewakafkan diri untuk umat.
Pancasila sebagai idelogi bangsa terbukti mampu mengawal NKRI dari dulu hingga kini dan nanti. Santri harus bisa menampilkan wajah asli Islam yang cinta damal, menghapuskan stigma masyarakat yang mengatakan Islam agama teroris, agama yang mengajarkan merakit bom dan lain sebagainya. Panasila sebagai pemersatu atas keberagaman mengandung nilai-nilai luhur yang meliputi unsur ke Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kita tidak cukup hanya “menghafalkan” saja. Lebih dari itu, kita harus mampu mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Kita harus mewujudkan jiwa nasionalisme dalam mental, tingkah laku dan amal perbuatan kita. Semoga santri bisa membuktikan Islam Rahmatan lil ‘Alamin (Rahmat bagi seluruh alam(makhluk)), bukan Bala’an lil ‘Ålamin (Bencana bagi seluruh alam).
*) Karya pernah dipublikasikan di bulletin Mahally Edisi ke-3