Santri Ma’had Aly PMH Berbicara Tentang Negara Ideal Dalam Perspektif Fiqh Sosial

Berita, Event, Kegiatan651 Dilihat

Santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh mengikuti diskusi Fiqh Sosial Kiai Sahal yang diadakan oleh pengurus departemen SDM HIMAM (Himpunan Santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda) pada Jum’at (21/07) malam. Tema diskusi Fiqh Sosial kali ini adalah Wajah Negara Ideal Perspektif Fiqh Sosial. Kegiatan diskusi ini merupakan kegiatan rutin santri setiap tahunnya per semester dengan disatukannya santri putra dan santri putri dalam satu forum untuk saling bertukar pendapat. Berbeda dengan diskusi yaumiyah yang diikuti santri biasanya merupakan musyawarah di masing-masing pondok, kegiatan musyawarah putri sendiri dan putra sendiri.

Berkenaan dengan dekatnya waktu pemilu yang sebentar lagi akan datang, nampaknya banyak media yang mulai memperbincangkan. Tak mau kalah, Santri Ma’had Aly PMH pun turut merespon dengan mengadakan diskusi yang membahas tentang bagaimana negara ideal yang diharapkan oleh masyarakat melalui pendekatan perspektif Fiqh Sosial.

 

Muhammad Masrur Majid selaku pemantik diskusi pada malam hari itu sedikit menyampaikan beberapa tulisan makalah Kiai Sahal tentang kebangsaan yang jumlahnya ada 22 buah. Dia mengatakan bahwa politik, pemimpin, dan keadilan merupakan poin yang akan dibahas pada diskusi kali ini. Selain itu dalam pemaparannya, pemantik mengatakan hak dan kewajiban masyarakat dalam hidup bernegara, baik sebagai pemimpin maupun rakyat. “Setujukah kalian dengan negara Islam? Jika iya lalu apakah sistem kenegaraan yang ada di Indonesia ini salah? Lalu bagaimana konsep negara ideal yang tepat menurut cara pandang Fiqh Sosial di masa sekarang? Mari kita diskusikan bersama.” Ucap Masrur sebagai pantikan awal untuk berdiskusi.

Diskusi yang diadakan di halaman Ma’had Aly tersebut diahadiri oleh seluruh santri dari semester 1 hingga 5 tersebut berjalan dengan penuh antusiasme. Masing-masing kelompok diskusi menyampaikan argumennya satu per-satu kemudian dilanjutkan sesi i’tirod. Muhammad Ikhlasul Amal selaku jubir kelompok 1 putra menyampaikan bahwasannya kepemimpinan negara yang ideal adalah yang slalu ittiba’ dan meminta rekomendasi kepada para ulama sebagai orang yang dipandang paling pandai dalam sebuah negara, kedua dia berpendapat bahwa kepemerintahan yang baik adalah yang slalu mengajak musyawarah rakyatnya dalam memutuskan suatu hukum. Tentunya slalu mempertimbangkan kemaslahatan bagi negara dan rakyatnya.

Kemudian Su’dah Maimanah sebagai jubir kelompok 6 dari putri berargumen bahwasanya negara ideal merupakan negara yang memiliki pemimpin yang baik dan sistem kepemerintahannya dilandaskan oleh kemaslahatan, dia juga menyertakan 8 syarat yang harus ditempuh seorang pemimpin dalam memimpin negara. “negara yang ideal adalah negara yang demokratis dan aman” ujarnya.

 

Diskusi mulai panas ketika Khizam Ali menyampaikan syarat negara ideal adalah terwujudnya moralis politik dengan islam sebagai inspirasi berpolitik serta menguatkan urgensinya dari realita sisi buruk kepemerintahan DPR yang ada di Indonesia saat ini yang tinggi akan korupsi. Diskusi pun dilanjut dengan menyampaikan pertanyaan satu sama lain dan saling lempar i’tirod. Hingga pada akhirnya diskusi yang dimulai bakda maghrib tersebut diakhiri pada jam 21.00 oleh moderator.

 

Sesi akhir diskusi merupakan yang paling ditunggu-tunggu yakni penyampaian mushohhih oleh bapak Abdulloh Harits, M.A. dan bapak Muhammad Mirza, Lc. Pak Mirza, panggilan akrabnya menyampaikan bagaimana cara berdiskusi yang baik dan benar oleh kalangan mahasiswa. Beliau berkomentar bahwa dalam berdiskusi ketika mengucapkan argumen melalui referensi harus menyertakan pendapat pribadi, tidak serta merta selalu setuju dengan apa yang dikatakan oleh pendapat ahli. “ Kalian berargumen kalau menurut Kiai Sahal dalam bukunya Nuansa Fiqh Sosial begini.. begini.. tapi tidak menyertakan dalam artikel yang mana, halaman berapa, dan kutipan murni pendapat Kiai sahal, sehingga seakan-akan pemahaman kalian terhadap Kiai sahal sudah benar padahal tidak menutup kemungkinan bersifat subjektif, dimanipulasi, maupun salah tangkap. kemudian, ketika diberi informasi oleh orang lain kalian cenderung percaya, Apakah semudah itu mengimani pendapat seseorang? Gak bahaya ta?. Ya ini bukan berarti kalian salah, tapi kalau waktunya diskusi ya memang seharusnya begitu..” Ujar beliau.

Selanjutnya Pak Harits menyampaikan bagaimana negara ideal sebenarnya dalam pandang perspektif Fiqh Sosial Kiai Sahal. … “Melalui Konferensi Ulama di Cipanas 1954, masyarakat pesnatren khususnya NU mengakui pemerintah Indonesia saat itu sebagai wali al-amr dlaruri bi al-syaukah atau mandataris darurat de facto sebagai konsep kompromistis idealisme dan realita, Sehingga kemudian masyarakat pesantren tidak pernah melepaskan dukungannya kepada Indonesia dan pemerintah yang dibentuk dari konstitusi republik indonesia dianggap sah tanpa syarat dan pemikiran etika berpolitik kiai sahal dalam memfungsikan fikih sebagai alat rekayasa sosial harus selalu kita gaungkan karena hal tersebut termasuk pemikiran yang bersifat futuristik dalam menghadapi realitas pejabat-pejabat yang belum memenuhi tanggung jawab sebagai mana mestinya. Jadi, menurut saya negara indonesia saat ini sudah ideal, bahkan pada tahun tahun berikutnya akan lebih ideal lagi.” Tutur beliau.

 

Pewarta : Vina Rahma Sania (Jurmed 23/24)

Editor : Khizam Ali (Jurmed 23/24)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *