Santri Membaca Buku Fiksi, Perlukah?

Kolom Santri, Opini1080 Dilihat

Santri Membaca Buku Fiksi, Perlukah?

Di suatu sore ketika saya membuka paket berisi buku kumpulan cerpen yang saya pesan melalui online, teman saya bertanya berapa harga buku itu dan saya jawab bahwa harganya adalah delapan puluh ribu, teman saya agak kaget mendengarnya dan berkata bahwa alangkah lebih baik bila uang itu digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat daripada digunakan untuk sekedar membeli buku fiksi berisi khayalan dan imajinasi. Kali lain ketika saya sedang membaca salah satu novel fiksi, teman saya melintas dan berhenti sejenak didepan saya, tatapannya agak meremehkan lalu ia berkata, “santri kok baca buku fiksi, baca kitab kuning dong,”. Saya yakin beberapa orang pasti pernah mengalami dua kejadian serupa seperti yang saya alami, di beberapa tempat, termasuk pesantren, masih terdapat beberapa orang yang beranggapan bahwa fiksi hanyalah khayalan dan imajinasi belaka sehingga membaca buku fiksi adalah termasuk kegiatan yang mubazir waktu karena tidak membawa kemanfaatan, bahkan membeli buku fiksi adalah hal yang sia-sia. Benarkah demikian?, tetapi sebelum memulai penjelasan yang ingin saya ingin menyampaikan membahas fiksi disini juga berarti membahas sastra.

Manfaat membaca buku fiksi

Mengatakan fiksi sebagai hasil dari khayalan dan imajinasi belaka tidaklah sepenuhnya salah, tetapi yang kemudian menjadi problem adalah sikap merendahkan terhadap hal tersebut. Sikap merendahkan barangkali berawal dari anggapan bahwa buku fiksi dibuat berdasar dari proses lamunan panjang yang diawali dari ruang kosong, padahal jika kita telusuri beberapa karya fiksi (atau sastra) justru lahir dilatarbelakangi oleh realitas yang terjadi di sekitarnya. Okky Madasari, salah satu penulis Indonesia, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa alasan kenapa menulis karya fiksi yaitu

Pertama, fiksi berisi refleksi kehidupan yang berangkat dari realitas kehidupan yang dialami oleh seseorang atau kelompok masyarakat

Kedua, fiksi mampu menjadi media dalam menyampaikan isu dan kritik sosial yang bersifat sensitif namun bisa tersampaikan secara luwes

Ketiga, berawal dari pikiran kritis sang penulis yang kemudian menangkap adanya kejanggalan di sekitarnya, penulis akan mempertanyakan kejanggalan tersebut melalui fiksi

Keempat, penulis dapat menyajikan hal sensitif dengan cerdik ke dalam karya fiksi sehingga masih relevan dibaca di era berbeda. seperti karya sastra lama milik Ahmad Tohari, Pramoedya yang telah dikarang beberapa tahun yang lalu namun masih relevan dengan era ini.

Kelima, menulis fiksi melibatkan beragam karakter dengan berbagai watak ke dalam plot cerita, dan untuk menyulamnya menjadi sebuah cerita dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Pada proses inilah pola pikir dan pengendalian emosi penulis terasah jadi lebih baik

Keenam, penulis fiksi akan berusaha mencari tatanan kata yang tidak monoton. Upaya ini akan memantik penulis untuk terus memperkaya diksi-diksi

Penjelasan diatas secara tidak langsung menampakkan manfaat yang didapatkan seseorang ketika membaca karya fiksi (atau sastra). Poin pertama sampai keempat menyiratkan bahwa ketika membaca karya fiksi secara tidak langsung pembaca akan mengetahui latar belakang suatu isu yang terjadi di suatu wilayah beserta konfliknya bahkan penyelesaiannya sehingga pembaca kemudian akan menarik kesimpulan dari peristiwa itu. Di sisi lain,pada saat membaca rangkaian peristiwa, pembaca akan disajikan berbagai pikiran kritis dan kejanggalan yang akan menambah wawasan pembaca. Selanjutnya melalui poin kelima pembaca akan mengetahui berbagai emosi dan sikap dari masing-masing karakter dalam menghadapi suatu permasalahan dengan segala kerumitannya. Dari pembacaan inilah kemampuan membaca situasi dan kepekaan sosial pembaca secara tidak langsung akan terasah. Penyampaian poin enam tentang memperkaya diksi bagi penulis secara tidak langsung juga memperkaya diksi bagi pembaca dan hal ini sudah maklum.

Horatius mengemukakan bahwa sastra mempunyai dua manfaat atau fungsi utama yaitu dulce et utile, Dulce berarti sangat menyenangkan atau kenikmatan. Kemudian, utile berarti isinya bersifat mendidik. Maka, tidak aneh bila tokoh-tokoh bangsa seperti Soekarno, Kartini dan Ki Hajar Dewantoro adalah para penggemar sastra.

Santri dan Karya Fiksi

tidaklah bijaksana apabila dikatakan bahwa santri hanyalah mereka yang berada di pesantren dan beraktivitas hanya disekitar lingkup kitab kuning saja. Dalam berbagai forum para kiai kita telah mengatakan bahwa santri bisa menjadi apa saja, tidak hanya kiai.

Gus Mus, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor, nama-nama berikut adalah nama besar dalam kancah sastra indonesia yang memiliki latar belakang pesantren, di era ini pun telah muncul sastrawan dari kalangan santri, sebutlah Raedu Basha dengan buku kumpulan puisinya yang berjudul Hadrah Kiai berhasil meraih penghargaan dalam perayaan hari puisi pada tahun 2017, kemudian ada Kedung Darma Romansha dengan buku novelnya yang berjudul Telembuk berhasil mendapatkan penghargaan lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017,dan masih banyak nama lain. Segala sesuatu yang besar selalu diawali langkah-langkah kecil, dan bagaimanakah nama-nama besar itu memulai langkah?, tentu saja mereka mengawalinya dengan membaca karya fiksi (atau sastra). Raedu Basha dalam salah satu kesempatan menceritakan bahwa awal kesukaannya pada fiksi adalah ketika ia membaca buku fiksi yang dirampas oleh pengurus di pesantren. Membaca karya fiksi bagi santri bukanlah kegiatan yang mubazir waktu.

Kiai H. Abdul Ghoffar Rozin dalam sambutannya pada acara zoominar yang diadakan oleh IPMAFA (Institut Matha’liul Falah) berkata “sastra pesantren harus terus dikembangkan untuk mengasah kepekaan sosial dan kemanusiaan”, Hal ini menunjukan bahwa karya fiksi pun tidak boleh dipandang sebelah mata oleh kalangan pesantren. Dan kalangan pesantren pun menyadari hal itu sehingga pada bulan Desember lalu Pesantren Tebuireng menjadi tuan rumah acara besar yaitu Muktamar Sastra Pesantren.

Berkembangnya suatu karya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan membaca karya itu sendiri. Bila pandangan sebelah mata itu terus saja dibiarkan, akan sulit terjadinya kaderisasi sastrawan santri di kemudian hari. Figur seperti Gus Mus, Ahmad Tohari, Readu Basha mungkin sulit dilahirkan untuk kedua kali tapi mengadakan pengkaderan melalui pengembangan sastra pesantren bisa jadi suatu alternatif untuk mensisasatinya,dan tentu saja langkah awal yang bisa kita tempuh adalah tidak menyepelekan karya fiksi.

Nama : Muhammad Sholihuddin, salah satu santri pesantren Maslakul Huda dan sedang melanjutkan studi di Ma’had Aly Maslakul Huda

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *