Tiada kata yang pantas untuk mengungkap kekaguman saya pada ushul al-fiqh dan qowaid al-fiqh. Selama ini menurut saya banyak kaidah-kaidah yang ternyata unik dan menarik untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-sehari kita. Entah apa yang mempengaruhinya atau memang barokahnya para mushonnif, namun intinya inilah sedikit banyak kaidah yang menurut saya unik dan menarik.
Kaidah “Man Lam Yaqum Bihi Washfun Lam Yusytaq Minhu Ismun”terjemah bebasnya kurang lebih “barang siapa dalam dirinya tiada sifat atau gelar tertentu, maka dirinya tidak berhak menyandang gelar tersebut”. Dalam bingkai pesantren kita dapat ambil ibrahnya bahwa ‘santri adalah orang yang menyandang sifat mengaji di pesantren’, maka ketika seorang tersebut sedang tidak mengaji apakah masih berhak menandang gelar santri?
Merujuk pada kaidah diatas orang tersebut tidak berhak menyandang gelar santri karena terlepas dari sifat tersebut (mengaji). Berbeda halnya dengan sudut pandang Ulama’ Mu’tazilah, mereka berpendapat “Isytiqoq al Ismi min Washfi Al Ma’dum”terjemah bebasnya kurang lebih “diperbolehkan penyandangan gelar atau sifat kepada seseorang yang sejatinya tidak mempunyai sifat tersebut”. Oleh karena itu sah-sah saja menyandang gelar santri meskipun sifat mengaji tidak selalu menempel padanya.
Pada dasarnya berusaha supaya menjadi santri sejati baik saya, anda, dan kita semua bukan hanya orang yang kebetulan tinggal dipesantren kemudian disebut santri. Bukan hanya sebatas “Man tasyabaha bi qoumin fa hua minhum” barang siapa yang menyerupai sabuah kelompok tertentu dalam hal ini santris, serupa tempatnya, tidurnya, makannya, maka dia termasuk santri. Hal ini perlu kita jadikan sebuah refleksi kedepan supaya kita semua tidak sampai menyandang gelar “Al Ismu la Yadullu ‘Ala Musamma” yaitu sebuah nama atau gelar bertolak balik dengan eksistensinya.