اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم تسليما
Mushonnif kitab tersebut adalah Syaikh Abdullah Shiddiq al-Ghummari. Beliau merupakan seorang guru dari beberapa ulama yang menjadi referensi keilmuan di Indonesia.
Diantara murid-murid beliau yaitu;
- Syaikh Yasin bin Isa Al-fadani
- Sayyid Muhammad bin Alawi al-Makky al-Hasany
- Syaikh Ali Jum’ah al-Azhary al-Mishry
- Syaikh Ismail Zain al-Yamany al-Makky
Pembahasan kitab yang dipegang kita saat ini (Husnu at-Tafahhum wad ad-Darki Limas’alati at-Tarki) hanya sampai contoh-contoh kasus peninggalan setelah Nabi Muhammad Saw. (Hlm.28). Pembahasan setelahnya merupakan penjelasan dari Syaikh Shafwat Jaudah Ahmad sekaligus penahqiq kitab ini.
Dimana cakupan pembahasan sebagaimana berikut
النطق الجوهرية المهمات
- – الترك ليس بحجة في شرعنا
- – التر ال يدل على التحريم إال يصحب معه نص
- – أمر إتفاقي ليس بحجة في األصول
- – كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف
- – الترك يحتمل أنواعا غير التحريم وأن ما دخلها الحتمال سقط به الاستدلال
- – جائز الترك ليس بواجب
- – السكوت في مقام البيان يفيد الحصر
Kitab ini ditulis oleh Syekh Abi Fadhl Abdullah bin Muhammad bin Ash Shodiq Al Ghumari, salah seorang Syekh Muhammad Yasin Al Fadani. Latar belakang penyusunan kitab ini dimulai dari permintaan salah seorang muridnya yaitu Syekh Mahmud Sa’id, untuk memberikan risalah tentang masalah Tarki (Sikap Nabi meninggalkan sesuatu) yang sebelumnya ia temukan dalam kitab Itqonus Sun’ ah Fi Ma’nal Bid’ah, juga merupakan karangan seorang guru, namun hanya bagian singkat tentang masalah Tarki (sikap meninggalkan Nabi).
Pada awal pengenalan kitab ini menyinggung dalil-dalil yang dijadikan sebagai sumber tegaknya syariat antara lain Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas yang disepakati oleh Imam Jumhur. dan dalil-dalilnya berbeda-beda menurut para ulama, seperti Hadits Mursal, Qoul Shohabi, Syar’u Man Qoblana, Istihab, Istihsan dan ‘Amalu Ahli Madinah yang muaranya mengacu pada hukum taklif diantaranya, Wajib/Fardhu, Haram, Mandub, Makruh dan Mubah/Halal, dalam agama diketahui bahwa seorang Mujtahid dapat bersandar pada hukum-hukum tersebut hanya dengan dalil-dalil dan hujjah yang mereka bangun.
Makna Tarku
Makna Tarku yang dimaksud dalam kitab ini adalah “Sikap mengenai sesuatu hal yang tidak dikerjakan oleh Nabi Saw dan juga tidak dilakukan oleh para ulama salaf ” tanpa ada penjelasan atau hadits tentang apakah itu akibat dari larangan atau ketidaktaatan sebagai status hukum Nabi. Banyak ulama akhir-akhir ini yang menjatuhkan status haram dalam kasus semacam ini, bahkan ada golongan yang sangat fanatik. Mushonif menilai bahwa Ibnu Taimiyah adalah salah seorang yang mengambil pendapat dalam beberapa kasus. Perlu diperhatikan bahwa jika Nabi SAW meninggalkan sesuatu, sebenarnya masih ada beberapa kemungkinan selain haram:
1) Meninggalkan karena kebiasaan , sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhor dan Muslim, yang menyatakan bahwa ketika Nabi disuguhkan dainh dhobb (kadal gurun), Nabi menolaknya karena dia tidak terbiasa tidak ada ditempat Nabi, bukan karena dilarang. Hadits tersebut menunjukkan doa hal;
– Sikap Nabi meninggalkan atau enggan memakan dhob meskipun sudah dihadapannya, bukan berarti hal itu berstatus haram.
– Bisa saja dianggap sesuatu yang menjijikkan dan tidak pula langsung menunjukkan status sesuatu yang haram.
2) Terkadang karena lupa , seperti yang diriwayatkan bahwa ketika Nabi melupakan sesuatu saat shalat, beliau menegaskan bahwa beliau juga manusia yang bisa melupakan sesuatu.
3) Berangkat karena khawatir akan menjadi kewajiban bagi umatnya , seperti ketika Nabi meninggalkan shalat Tarawih (Qiyamu Romadhon) ketika para sahabat berkumpul untuk shalat Tarawih bersama Nabi.
4) Karena Nabi tidak memprovokasi atau terbesit dalam pikiran Nabi , misalnya ketika Nabi memberikan khutbah Jum’at di atas pohon kurma dan dia tidak berpikir untuk membuat kursi khutbah.
5) meninggalkan karena Nabi masuk dalam khitob ayat dan hadits yang bersifat umum, seperti saat Nabi meninggalkan shalat dhuha, dan kesunatan² lain. Didasarkan pada firman Allah SWT di dalam QS. Al-Hajj : 77.
6) Meninggalkan karena khawatir mempengaruhi atau mengoyahkan hati sahabat, seperti saat Nabi mengurungkan niatnya untuk membongkar dan membangun kembali Ka’bah karena menjaga hati para sahabatnya dari golongan ahli Makkah yang baru masuk Islam.
Dan masih banyak kemungkinan yang lain, namun tidak ada hadits atau atsar yang menjelaskan bahwa Nabi meninggalkan sesuatu itu karena menunjukkan status sesuatu itu haram.
Sikap Tarku Nabi tidak menunjukkan status hukum haram.
Musonif menyatakan dalam kitab Ar-Roddul Muhkamul Matin bahwa sikap Tarku dari Nabi tidak menunjukkan status sesuatu yang haram maka dari itu tertulis dalam kitab tersebut:
“Sikap Nabi meninggalkan sesuatu, kecuali disertai nash yang menyatakan bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu haram, tidak dapat dijadikan dalil, tetapi memberi arti bahwa hal itu benar-benar dapat dilakukan, sedangkan jika perbuatan itu adalah sesuatu yang haram, maka tidak ada artinya. artinya selain dari kebolehan itu harus disangkal, dan tentu saja hanya dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti yang menyatakan demikian.”
Kemudian Imam Abi Sa’id menjelaskan qoidah ini. ketika dia menentang orang-orang yang melarang doa setelah shalat karena bersandar pada ulama Salaf yang tidak melakukannya. Mengenai sikap Nabi meninggalkan sesuatu, bukan berarti wajib meninggalkan yang ditinggalkan Nabi, melainkan diperbolehkan untuk ikut meninggalkan hal tersebut. apalagi diartikan sampai haram atau makruh. Terlebih lagi pada amalan yang memiliki argumentasi global, seperti berdoa.
Kasus lain ada Dalam kitab Al-Muhalla, Ibnu Hazm menyebutkan dalil Malikiyah dan Hanafiah mengenai shalat dua rakaat sebelum Maghrib dengan Qaul Ibrahim An-Nakha’i yang menyatakan bahwa Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman tidak melakukannya Ibnu Hazm kemudian membantah qaul tersebut bahwa jika qaul Ibrahim An-Nakha’i yang terdahulu memang shohih maka hal ini tidak dapat dijadikan dalil atas pendapat tersebut karena para sahabat dalam qaul Ibrahim An-Nakha’i yang terdahulu para sahabat itu tidak melakukannya, bukan melarang shalat rakaat sebelum maghrib.
Perlu Pertimbangan
1- Aspek keharaman sesuatu itu memiliki indikasi dan dapat dilihat melalui beberapa sight, sebagaimana berikut:
- Nahyi (larangan)
- Tahrim (Pengharaman)
- adanya ancaman siksa ketika melakukannya atau celana hinaan bagi pelakunya
Dari aspek ketiga tidak ada yang menunjukkan Tarku sebagai indikasi
2- Allah berfirman di dalam QS. Al-Hasyr : 7, yang artinya “..Apa yang diberikan Rasul maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..” . Dapat dilihat Allah tidak berfirman “Apa yang Nabi tinggalkan maka jauhilah olehmu”, karena sikap itu meninggalkan Nabi tidak menunjukkan status sesuatu itu haram.
3- Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya “Apa-apa yang Aku perintahkan pada kalian maka kerjakanlah sekemampuan kalian, dan apa yang aku larang maka jauhilah” , dan Nabi tidak menyebutkan “Apa yang aku tinggalkan, maka jauhilah”. Lalu bagaimana bisa sikap Tarku Nabi menunjukkan status haram.
4- Para Ulama Ushul mengenal sunnah sebagai perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi. Mereka tidak mengatakan sikap Tarku Nabi termasuk daripada sunnah, Oleh karena itu Tarku bukanlah sebuah dalil.
5- Sikap Tarku Nabi tidak termasuk pada dalil-dalil yang telah disebutkan di awal
6- Sikap Nabi Meninggalkan sesuatu itu masih mengandung bermacam-macam kemungkinan selain keharaman. Ada qaidah usul yang menyebutkan bahwa “perkara yang masih mengandung kemungkinan, maka gugur mengambil dalil dengannya”.
7- Tarku itu adalah aslu, karena sejatinya tarku adalah adamul fi’li, dan ‘adam merupakan aslu. Kemudian fi’lu itu thori’un (baru) dan aslu itu tidak menunjukkan pada sesuatu baik secara lughot maupun syara’, oleh karena itu sikap meninggalkan tidak berkonsekuensi pada keharaman.
Ibnu Sam’ani mengatakan bahwa jika Nabi meninggalkan sesuatu, maka kita harus mengikutinya. Dia berargumen dengan reaksi shohabat-shohabat nabi ketika mereka melihat Nabi enggan dan menarik kembali tangannya dari daging dhobb, mereka terdiam dan kemudian bertanya kepada Nabi tentang hal itu. Namun pendapat ini dibantah oleh Syeik Al-Ghumari sembari meriwayatkan jawaban Nabi terhadap hadits yang dengan jelas menyatakan bahwa dhob tidak haram, tetapi Nabi tidak memakannya, karena tidak terbaisa. Hal ini menunjukkan bahwa sikap meninggalkan Nabi tidak mengarah pada pelarangan.
- Pendapat Ibnu Taimiyah
Tatkala Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang mengunjungi kuburan dan meminta orang di kuburan untuk membantunya dengan keinginannya, seperti menyembuhkan penyakit atau menemukan kuda atau unta yang hilang atau sejenisnya. Ibnu Taimiyah menjawab dengan jawaban panjang diantaranya : “Tidak ada Sahabat atau Tabi’in yang melakukan ini dan tidak ada Imam yang memerintahkannya.” (artinya para sahabat tidak meminta doa kepada Nabi setelah kematiannya, karena mereka meminta doa ketika Nabi masih hidup)”.
Syekh Al-Ghumari kemudian membantah pendapat tersebut dengan menyebutkan bahwa istidlal Ibnu Taimiyyah tidak benar karena beberapa alasan. Salah satunya, alasan shohabat tidak ada yang ziarah, bisa jadi hanya kebetulan, dengan kata lain, bisa saja para sahabat tidak meminta doa kepada Nabi setelah wafatnya, atau bisa saja di antara mereka tidak diperbolehkan haji, atau mungkin saja diperbolehkan haji tetapi masih ada hal-hal lain yang lebih penting. dan masih banyak lagi kemungkinannya. Sekali lagi, perhatikan kaidah “Hal-hal yang masih mengandung kemungkinan, yaitu tidak mengandung argumen apa pun”
Sedangkan perihal larangan berziarah di kalangan Sahabat itu ditepis dengan kisah yang diriwayatkan oleh Bilal Bin Harits Al-Muzan yang pergi ke makam Nabi di Aamur Ramadah, berziarah kemudian meminta hujan melalui wasilah kepada Rasulullah dan menanyakan apa yang tidak dilakukan oleh Khalifah Umar, dan tidak melarangnya. Ada sebuah kisah dalam kitab Shohih Bukhari yang mengatakan bahwa Nabi pernah memakai cincin emas yang diikuti para Sahabat, namun kemudian Nabi membuangnya dan bersumpah tidak akan memakainya lagi selamanya lalu para Sahabat mengikutinya juga. Imam Ibnu Hajar mengatakan di sini Imam Bukhari merangkum contoh-contoh yang meliputi sikap para sahabat yang mengikutinya dalam perbuatan Nabi dan sikap Tarku Nabi.
Syekh Al-Ghumari mengatakan bahwa Tarku dalam hadits tersebut adalah bentuk majaz, karena membuang adalah pekerjaan, kemudian para sahabat mengikuti tindakan Nabi, sehingga muncul sikap membuang dan meninggalkan, yang bersumber dari sikap Tarku Nabi yang mana tidak termasuk pokok bahasan dalam kitab ini. Artinya bahwa sikap Tarku Nabi tidak menunjukkan akibat pelanggaran hukum, tetapi hanya menunjukkan bolehnya meninggalkan sesuatu itu. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Jabir An Nasa’i yang mengatakan bahwa salah satu hal yang dilakukan Rasul ketika mendekati ajalnya adalah menahan diri dari wudhu setelah makan makanan yang dimasak di atas api.
Kesimpulannya adalah tarku itu tidak menunjukkan haram, tapi menunjukkan kebolehan meninggalkan. Imam Abu Abdullah At-Tilmisani berkata di dalam kitab Miftahul Ushul, “Sifat meninggalkan Nabi disamakan dengan sifat melakukannya. sebagaimana disimpulkan bahwa sifat melakukan Nabi itu menunjukkan pada tidak adanya keharaman, begitu pula disimpulkan sifat meninggalkannya Nabi menunjukkan pada tidak adanya kewajiban. Contohnya seperti argumen ulama kita dalam tidak adanya kewajiban wudhu setelah memakan makanan yang dimasak dengan api.” Contoh lain seperti kasus Nabi meninggalkan wudhu setelah memakan kambing dan juga kami Nabi meninggalkan wudhu setelah melakukan bekam. Di sinilah muncul kaidah usul yang mengatakan “kebolehan meninggalkan itu bukan merupakan kewajiban”.
Ulama membagi sikap Tarku Nabi menjadi dua jenis;
- Sikap Tarku Nabi akan hal yang tidak dibutuhkan pada masa Nabi, kemudian kebutuhan ini muncul setelah wafatnya Nabi. Pada dasarnya, hal-hal seperti itu diperbolehkan status hukumnya.
- Sikap Tarku Nabi akan sesuatu yang harus dilakukan pada masa nabi (ad tuntutan) Sikap yang semacam ini mempunyai arti mencegah, karena jika sesuatu itu bermanfaat menurut syara maka Nabi akan melakukannya, tetapi jika Nabi tidak melakukannya maka dapat disimpulkan bahwa sesuatu itu tidak berguna. tidak diperbolehkan.
Ibnu Taimiyah dalam hal ini memberi contoh adzan dalam shalat Iedul Fitri itu bid’ah yang disadari oleh sebagian ulama dengan alasan bahwa itu adalah Dzikrullah, dan menyeru makhluk untuk beribadah, seperti dalam adzan untuk sholat Jum’at dan mengqiyaskannya untuk adzan dalam Iedul Fitri. Dapat dilihat bahwa ketika Nabi memerintahkan azan dalam shalat Jum’at, meskipun Nabi tidak memerintahkan adzan dan iqomah dalam “sholat Idul Fitri”, ini menunjukkan bahwa meninggalkan azan dalam “sholat Idul Fitri” adalah sunnah, ungkapnya. Imam Syatibi dan Ibnu Hajar Al Haitami dan lain-lain juga setuju akan kesunnahan hal itu namun kesunnahan tersebut tidak fokus pada Tarku secara langsung melainkan hal ini selaras dengan pernyataan as-sukuutu fii maqomil bayan (sesuatu yang tidak tercantum dalam rangkaian penjelasan) yang Sahih adalah adzan dalam ‘iedul Fitri memang bid’ah, tapi bukan karena Nabi meninggalkannya melainkan karena Nabi menjelaskan dalam Hadits apa yang dilakukan di ‘iedain’ dan Nabi tidak menyebutkan adzan, maka Nabi menunjukkan bahwa dia tidak memasukkan adzan dalam doa ‘iedain, bahwa itu tidak disyariatkan.
Syekh al-Ghumari menjelaskan dari kisah yang mengatakan Ibnu Umar menafikan (mendustakan) orang yang mengartikan lafadz “naha (shighot larangan) dalam hadis sebagai haromah, maka kita harus bercermin kepada Ibnu Umar karena lafadz naha meskipun tidak secara jelas tetap dapat mengandung makna makruh atau harom. Makna dari perkataan Ibnu umar adalah bahwa seorang muslim tidak boleh menetapkan hukum yang haram tanpa bukti yang kuat baik dari kitab maupun hadits. Imam Ibrahim An-Nakha’i berkata bahwa para ulama terdahulu sering memakruhkan sesuatu yang tidak mereka haramkan, begitu pula Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad mereka sangat berhati-hati dalam menetapkan haram pada sesuatu yang belum diyakini keharamannya, karena sebab syubhat ataupun ada khilaf. Imam Syafi’i juga mengatakan bahwa ia khawatir sesuatu itu haram, tapi ia juga tidak bisa memastikan itu hukumnya haram, karena khawatir jika menghukuminya haram, akan masuk pada golongan orang yang mendustakan hukum Allah, yang disebutkan di dalam QS. An-Nahl : 116.
Oleh karenanya orang-orang yang terlalu berlebihan di dalam mengharamkan sesuatu itu tidak boleh mengharamkan sesuatu tanpa dalil, dan hanya bergantung pada statement bahwa Nabi tidak melakukan hal itu, karena hal tersebut tidak menunjukkan keharaman atau kemakruhan. dengan sikap itu mereka semua bisa masuk ke dalam kategori ayat QS. An-Nahl :116. Imam asy-Syafi’i pernah berkata yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam manaqib beliau;
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف
“Segala sesuatu yang memiliki dasar dalam syariat bukanlah termasuk perbuatan bid’ah meskipun tidak dilakukan oleh para ulama terdahulu walaupun para salaf tidak pernah mengamalkannya.”
Beberapa contoh-contoh perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi diantaranya :
– Merayakan Maulid Nabi
– Merayakan malam Isra Mi’raj
– Menghidupkan malam Nisfu Sya’ban
– Mentawasulkan dzikiran pada jenazah
– Membacakan Al-Qur’an pada mayit di dalam rumah
– Membaca Al-Qur’an pada mayit di kuburan sebelum dikebumikan dan setelahnya
– Shalat tarawih lebih dari 8 rakaat
Tentu tidak bisa dikatakan bahwa kebolehan hal-hal diatas dan selainnya itu diebut sebagai mendustakan hukum Allah dan masuk ke dalam ayat QS. Yunus : 59, karena sesuatu yang tidak diiringi dengan larangan (baik itu menandakan haram atau makruh) maka pada dasarnya statusnya itu boleh hal ini selaras dengan hadis Nabi yang menyebutkan af’wu (termaafkan) kebolehannya pada sesuatu yang tidak dihukumi oleh syara.
Petuk – Semen – Kediri 15 Sya’ban 1444
Oleh : Umar Zain, Santri Ma’had Aly Semester 7