TATANAN SOSIAL BISA JADI SUMBER HUKUM (Uraian Mengenai Hukum Menjajakan Makanan di Siang Hari Bulan Romadhon) KH. MA. Sahal Mahfudh

Kolom Yai305 Dilihat

TATANAN SOSIAL BISA JADI SUMBER HUKUM

(Uraian Mengenai Hukum Menjajakan Makanan di Siang Hari Bulan Romadhon)

KH. MA. Sahal Mahfudh

Suatu saat yang lain di bulan Ramadhan, tiba-tiba muncul risalah dari warga yang mempersoalkan hal-hal kecil yang biasa ia lihat sehari-hari di sepanjang jalan. Yaitu, warung-warung yang menjajakan makanan di siang hari. Penanya yakin betul bahwa apa yang mereka lakukan secara tidak langsung ikut terlibat dalam menfasilitasi masyarakat muslim yang berpuasa untuk berbuka. Bahkan lebih jauh, penanya mempersoalkan uang yang dihasilkan dari cara berdagang tersebut.

Saya akhirnya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan beberapa pendekatan. Suatu hal penting yang harus dipegang adalah bahwa dalam syari’at kegiatan berdagang merupakan sesuatu yang  masyru’ (bagian dari syari’at islam). Hal ini cukup jelas seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an : Wa ahallallahu al-bai’a wa harrama al-riba (Allah SWT telah menghalalkan berdagang dan mengharamkan praktik riba).

Syari’at Islam merupakan tuntutan hidup agar manusia senantiasa selamat di dunia dan akhirat. Oleh karena itu syari’at Islam memberikan tuntutan bagaimana sekiranya kegiatan berdagang dengan segala aspeknya bukan sekedar kegiatan yang bersifat ekonomis-materialistik, akan tetapi juga secara langsung menjadi bagian dari kegiatan yang bernilai ibadah dan bisa mendapatkan pahala dengan cara meniatkan berdagang sebagai ibadah.

Tuntutan Islam mengatakan bahwa berdagang sah-sah saja tentu sepanjang komoditas yang dijual berupa barang suci, halal, dan dilakukan dengan ridlan bi ridlan (sama-sama ridla atau rela) dan tidak mengandung praktek riba. Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu berdagang makanan masih perlu dipertimbangkan secara syari’at, yaitu ketika pedagang menjajakan makanan siang hari pada bulan Ramadhan.

Jika saja teman anda bisa membatasi konsumennya hanya untuk orang yang tidak wajib berpuasa seperti musafir dan orang sakit maka membuka warung (menjual makanan untuk mereka) tidaklah menjadi masalah. Jadi, persoalan berdagang pada bulan Ramadhan teramat kondisional. Contoh sederhananya : sepanjang jalan lazimnya adat, pembeli dagangan tersebut rata-rata adalah musafir, dan karena itu penting artinya bagi penjual untuk meniatkan jualannya agar diperuntukkan oleh para musafirin. Akan tetapi, praktek ini nyaris banyak disalahgunakan oleh orang berdagang dengan asumsi psikologis bahwa pada umumnya ketika orang membuka warung makanan maka yang ada adalah keinginan atau harapan besar (illat al-a’dzam) agar semua orang bisa makan diwarungnya, mengkonsumsi atau membeli jualannya tidak peduli dia wajib puasa atau tidak. Sama halnya dengan orang yang menjual golok kepada seorang pembunuh, pada prinsipnya golok sah diperjual belikan, tetapi menjadi masalah ketika golok dijual kepada seorang yang ingin digunakan untuk membunuh. Karena itu, niat menjadi kontrol-vertikal.

Meninggalkan puasa merupakan perbuatan maksiat. Dengan demikian secara langsung menjual makanan kepada orang yang meninggalkan kewajiban puasa atau menjual golok kepada pembuhuh sama halnya membantu orang-orang yang melakukan maksiat dan melanggar ajaran agama.

Dalam pandangan fiqih suatu syari’at dianggap sah bila sudah memenuhi syarat dan rukun, tetapi perlu juga diingat bahwa satu ketentuan syari’at tidak dibenarkan menabrak pada ketentuan syari’at yang lain dalam hal ini larangan berbuat atau membantu maksiat dan pelanggaran ajaran agama atau kebathilan yang lain.

Dalam keterangan thuhfatuthullab jual beli semacam itu digolongkan pada jenis jual beli yang diharamkan (bai’ al-muharram). Oleh karena itu, jika seseorang tetap memaksa melakukannya maka apa yang dihasilkannya juga tidak bisa menjadi sesuatu yang bersih, setidak-tidaknya hilang keberkahan dari hasil jual beli itu. Secara tegas Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2: Wata’awanu ala al-birri wa at-taqwa wa la ta’awanu ala al-itsmi wa al-udwan, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Sumber : Wajah Baru Fiqih Pesantren (200-202)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *