TINJAUAN SOSIOLOGIS TENTANG PRESPEKTIF PERILAKU PENYIMPANGAN SOSIAL GHASAB DI PESANTREN MASLAKUL HUDA LI AL-MUBTADI’IN

Makalah922 Dilihat

A. LATAR BELAKANG.

Ghasab berasal dari kata “(غَصَبَ – يَغْصِبُ – غَصَباً ) ghasaba-yasghsibu-gashaban” secara bahasa (لغة) memiliki arti mengambil sesuatu secara dhalim dengan cara terang-terangan. Adapun menurut istilah (اصطلاحا), Ghasab menurut syara’ didefinisikan sebagai upaya menguasai hak orang lain dengan cara dhalim. Artinya, “mengambil (menguasai hak) suatu barang yang dimiliki orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu atau memaksakan kehendak memanfaatkan barang tanpa sepengetahuan Pemilik Barang”. Yang dimaksud pengambilan, ini tidak bertujuan untuk memilikinya secara tetap, melainkan sifatnya yang sementara, yang kemudian nantinya akan dikembalikan pada tempatnya, walaupun terkadang tidak pada tempat dan kondisi semula. Sedangkan menurut al-Jurjani, ghasab diartikan sebagai mengambil sesuatu secara zalim baik yang diambil itu harta atau yang lain. [1]

Di Lingkungan Pondok Pesantren pada umumnya terdapat kiai dan para santri. Pesantren sebagai salah satu Lembaga pendidikan tentu mempunyai tujuan untuk diri para santri, yaitu menanamkan nilai-nilai Agama Islam sebagai langkah membentuk Karakter (Moralitas) dan berakhlaqul Karimah. Namun tidak demikian, dalam keseharianya yang dilakukan oleh para santri, pada saat menyantri di dalam Pondok Pesantren tidak selebihnya santrinya memiliki budaya (kebiasaan) yang positif, bahkan tidak menutup kemungkinan, terdapat budaya (kebiasaan-kebiasan) yang negatif, atau “Perilaku-perilaku menyimpang” yang dilakukan oleh para santri, Contoh kecil Seperti halnya kebiasaan ghasab-mengghasab yang sering terjadi di kalangan Pondok Pesantren Manapun, khususnya fenomena yang terjadi di Pesantren Maslakul Huda Lil Al-mubtadi’in.

Maka kemudian, Peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang Prespektif Perilaku Penyimpangan Sosial Ghasab dilingkungan Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-mubtadi’in. Sejauh ini yang diketahui oleh para Musyrif (pembimbing), para santri di Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-mubtadi’in mengetahui tentang hukum, ghasab itu tidak boleh menurut peraturan Pesantren, atau tidak dibenarkan oleh Agama. Meskipun, dipesantren sendiri perilaku tersebut masuk dalam kategori pelanggaran yang Non Poin sehingga tidak begitu diperhatikan dengan serius. Oleh karenanya menurut sebagian para santri, menganggap bahwa perbuatan ghasab merupakan sesuatu yang niscaya, khususnya dilingkungan Pondok Pesantren. Dari prespektif ini lah, kemudian para santri beranggapan, “eh bilamana barang ini saya pinjam, kemungkinan besar diizinkan oleh yang mempunyai, toh nantinya barang ini saya kembalikan.”

Dalam menganalisis hasil-hasil penggalian data yang diperoleh dari lapangan dan juga fenomena yang terjadi, kemudian peneliti mencoba memberikan komentar seperlunya dari deskripsi tersebut, baru kemudian disimpulkan dari hasil deskripsi yang diperoleh. Artinya sebagai bentuk analisis, dan juga bentuk penelitian sosial yang dilakukan, penulis menggunakan pemaparan dari penjelasan yang bersifat kualitatif yang berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, yang dilakukan kepada santri Maslakul Huda Lil Al-mubtadi’in dan juga para Musyrif.

B. RUMUSAN MASALAH.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ini menjadi penting terhadap fokus masalah yang akan dijelaskan oleh peneliti, melalui berbagai riset yang dilakukan di sebuah lingkungan pondok pesantren, lebih tepatnya dengan para Musyrif (Pembimbing) maupun dengan para santri pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in. Sehingga nanti Objektifitas suatu permasalahan dapat terfokus serta landasan teori yang dibuat tidak bersifat subjektif.

Untuk mengetahui lebih luas suatu permasalahan, peneliti mencoba merumuskan Rumusan masalah pada penelitian ini, yang fokus penelitiannya ini bertujuan untuk mengetahui prilaku penyimpangan sosial Ghasab-mengghasab di lingkungan Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in. Adapun rumusan masalah sebagaimana berikut :

  1. Apa yang menjadi Faktor Budaya (kebiasaan) Ghasab dalam kehidupan sehari-hari santri Pondok Pesantren Maslakul Huda Li Al-Mubtadiin.
  2. Bagaimana tinjauan sosiologis serta langkah antisipatif Musyrif (Pembimbing) pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in tentang prilaku menyimpang, Ghasab di pondok pesantren dalam perspektif penyimpangan sosial?

C. TUJUAN.

Sebagaimana yang sudah dipaparkan melalui Latar Belakang, yang kemudian dirumuskan oleh peneliti pada Rumusan Masalah. Maka kemudian tujuan akhir pada penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui apa yang menjadi faktor Ghasab-mengghasab menjadi kebiasaan bagi para santri Pesantren Maslakul HudaLil Al-Mubtadi’in. Maka kemudian apapun bentuk Alasan maupun Faktor yang dapat memengaruhi santri melakukan Prilaku menyimpang tersebut tetap di sebut sebagai Prilaku penyimpangan sosial.
  2. Untuk mengetahui motif tindakan penyimpangan sosial Ghasab serta menganalisis fenomena tersebut sebagai langkah Antisipatif Para Musyrif (Pembimbing) terhadap Perilaku Menyimpang para santri Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in.

D. METODE PENELITIAN.

Metode penelitian merupakan prosedur dalam melakukan tenik penelitian. Penelitian yang dilakukan  tidak jauh berbeda dari tujuan penelitian pada umumnya, yakni untuk memenuhi kebutuhan terhadap objek yang akan diteliti, konklusi hasil penggalian data yang diperoleh dari lapangan maupun terhadap fenomena yang terjadi, dapat memberikan informasi-informasi, pokok-pokok pikiran dan pendapat lainnya sesuai dengan ruang lingkup yang diteliti.

Di dalam penelitian ini pada dasarnya menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatan penelitian ini adalah fenomenologi. Studi fenomenologi tidak berfokus pada kehidupan dari seorang individu tetapi lebih pada konsep atau fenomena, dan bentuk studi ini berusaha untuk memahami pengalaman individu tentang fenomena tersebut. Maka teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif, yakni penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang prespektif penyimpangan sosial dalam hal ini kebiasaan Ghasab di Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in.

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti ‘menampak’  dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Meskipun demikian pelopor aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl. Jika dikaji lagi Fenomenologi itu berasal dari phenomenon  yang berarti realitas yang tampak. Dan logos yang berarti ilmu. Jadi fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak. Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain). (Kuswarno,2009:2)

Menurut Alfred Schutz ada enam karakteristik yang sangat mendasar dari the life world ini, yaitu pertama, wide-awakeness (ada unsur dari kesadaran yang berarti sadar sepenuhnya). Kedua, reality (orang yakin akan eksistensi dunia). Ketiga, dalam dunia keseharian orang-orang berinteraksi. Keempat, pengelaman dari seseorang merupakan totalitas dari pengelaman dia sendiri. Kelima, dunia intersubyektif dicirikan terjadinya komunikasi dan tindakan sosial. Keenam, adanya perspektif waktu dalam masyarakat. [2]

E. KERANGKA TEORI.

Ghasab dalam kajian disiplin ilmu fiqih yang disusun oleh Imam Ibnu Qosim Al Ghazi, dalam Kitabnya yaitu Fathul Qarib menjelaskan dengan sangat ringkas dan sistematis bahwa, Ghasab secara bahasa (لغة) memiliki arti mengambil sesuatu secara dhalim dengan cara terang-terangan. Adapun menurut istilah (اصطلاحا), Ghasab menurut syara’ didefinisikan sebagai upaya menguasai hak orang lain dengan cara dhalim. [3] Artinya, “mengambil (menguasai hak) suatu barang yang dimiliki orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu atau memaksakan kehendak memanfaatkan barang tanpa sepengetahuan Pemilik Barang”.

Perilaku Ghasab di Lingkungan Pesantren ini cenderung nyaris atau mungkin sudah menjadi budaya (menjadi kebiasaan) oleh para santri di Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in, bahkan mungkin disetiap pesantren manapun, pasti sering menjumpai perilaku menyimpang tersebut. Perilaku Ghasab sendiri bukanlah sebuah Fenomena baru di Lingkungan Pesantren, dan Seringkali budaya (kebiaasan) tersebut, muncul oleh perilaku para santri yang merasa sangat membutuhkan kemanfaatan barang tersebut, dan hanya akan memanfaatkan barang yang telah di ghasab itu sesaat saja. , Sehingga kemudian para santri beranggapan, “eh bilamana barang ini saya pinjam, kemungkinan besar diizinkan oleh yang mempunyai, toh nantinya barang ini saya kembalikan.” [4]

Fenomena Ghasab terbilang menjadi hal yang unik dan sudah dianggap hal yang biasa oleh para santri di Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in. Sebagian para Musyrif (Pembimbing) dalam mensikapi Fenomena tersebut, Musyrif Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in sepakat, bahwa, Ghasab-mengghasab Merupakan bagian dari tindakan Prilaku Penyimpangan Sosial, dan juga merupakan sebuah Pelanggaran, karena bersinggungan dengan norma-norma atau Peraturan yang ada di Pondok Pesantren itu sendiri. “Ghasab tidak dapat disebut meminjam, karena tidak ada akad peminjamannya. Ghasab juga tidak termasuk kategori mencuri karena tidak ada unsur untuk dimiliki. Riset penelitian Barang yang biasanya sering di ghasab adalah barang yang menjadi kebutuhan primer dilingkungan Pesantren. Seperti peralatan mandi, sandal, sepatu, piring, baju, sarung, buku dan sebagainya. Perilaku ghasab tidak mengenal waktu, selama pelaku membutuhkan barang tersebut, tetap akan ia pakai. Ghasab pun tidak selalu didasari unsur kesengajaan, namun ada suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk menggunakan barang yang bukan miliknya, selagi dapat memenuhi kebutuhannya walaupun sifatnya yang sementara”. [5]

F. PESANTREN MASLAKUL HUDA LIL AL-MUBTADI’IN.

Pesantren Maslakul Huda (PMH) merupakan Pesantren yang didirikan Prakemerdekaan, tepatnya pada tahun 1910 M. Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadiin merupakan salah satu lembaga yang berada di bawah naungan Yayasan Pesantren Maslakul Huda (YPMH) . Pada tahun 2010 M, Bapak K.H Abdul Ghaffar Rozin yang saat itu adalah wakil pengasuh menginisiasi didirikanya Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadiin atas restu Kiai Sahal Mahfudh. Lembaga ini mulai beroperasi pada tahun 2011 yang khusus di peruntukan bagi santri pemula yang usianya berkisar antara 11-16 tahun. Harapan beliau Bapak K.H Abdul Ghaffar Rozin Dalam metode atau proses pembelajarannya, pendidikan di Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in dilakukan dengan mendasarkan pada tiga pilar utama, yaitu Bimbingan akhlak (internalisasi nilai), bimbingan akademik (ilmu alat dan fiqh, dll.), dan juga Bimbingan hafalan. sehingga proses pendidikan dan pembelajaran santri bisa berjalan lebih efektif. Di samping itu, pendidikan anak pada usia 11-16 tahun juga membutuhkan metode pembelajaran dan pendekatan yang intens terutama dalam bimbingan Akhlak dan Akademik. [6]

pembelajaran para santri Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadiin menerapkan sistem mentoring dimana setiap 10-15 santri di bimbing oleh satu orang musyrif (pembimbing). Hal tersebut menimbang betapa pentingnya melakukan pendampingan secara intensif terhadap santri remaja (11 -16 thn) terutama pada bimbingan akhlak dan akademik. Karena itu pengelompokan santri  pemula dengan di dampingi seorang pembimbing, terpisah dengan santri lama ini di harapkan dapat meminimalisir imitasi terhadap hal-hal negatif dari santri lama yang biasanya lebih mudah dari pada imitasi terhadap hal positif. Maka kemudian, Pesantren memfasilitasi santri baru agar mampu beradaptasi secara baik dalam mempelajari materi, kultur, dan nilai-nilai Pesantren

Pesantren, disamping merupakan lembaga Pendidikan dan Keilmuan, ia sekaligus juga merupakan lembaga moral. Ilmu di Pesantren mengacu pada pembentukan moral dan akhlaq karimah. Kehadiran Pesantren Sebagai Lembaga Tafaqquh Fiddin mempunyai peran aktif dalam pengembangan intelektualitas para santri, disamping berusaha melakukan komunikasi dan kerjasama dengan Masyarakat yang diiringi pengejawantahan tata nilai dan juga Ajaran Agama Islam. [7]

G. TINJAUAN SOSIOLOGIS PENYIMPANGAN SOSIAL DI PESANTREN MASLAKUL HUDA LIL AL-MUBTADI’IN.

Dalam mempelajari sejarah perkembangan suatu ilmu maka harus didasari pada suatu teori. Hal itu karena teori mempermudahkan kita untuk mengerti tentang berbagai gejala yang ada. Menurut George B. Vold, teori merupakan bagian penting dari suatu penjelasan atas gejala-gejala yang tidak dipahami. Oleh karena itu, untuk menjelaskan perkembangan perilaku menyimpang meninjau dari segi sosiologis maka harus dijelaskan melalui teori-teori yang ada.

Perilaku menyimpang biasa disebut dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kesusilaan atau kepatuhan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian dari pada makhluk sosial. Dalam kamu besar bahasa Indonesia, perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku,perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Penyimpangan terhadap norma atau nilai masyarakat disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan penyimpangan disebut divian (deviant). kebalikan dari perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak menyimpang  atau disebut dengan konformitas. Konformitas adalah bentuk interaksi sosial dari sesorang yang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok.[8]

Beberapa contoh mengenai penyimpangan sosial di pondok pesantren seperti halnya Ghasab-Menghasab yang sudah menjadi kebiasaan oleh para santri Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in, kemudian memberikan prespektif bagi para santri dan menganggap bahwa perbuatan ghasab merupakan sesuatu yang niscaya, khususnya dilingkungan Pondok Pesantren. Dari prespektif ini lah, kemudian para santri beranggapan, “eh bilamana barang ini saya pinjam, kemungkinan besar diizinkan oleh yang mempunyai, toh nantinya barang ini saya kembalikan.” Maka Implikasi yang ditimbulkan dari sebuah fenomena tersebut, Apabila dia (si Pemilik) membutuhkan barang yang sudah dighasab, dia akan berupaya memenuhi kebutuhannya dengan mencari barang yang serupa dengan kepunyaannya untuk dipakai. Siklus perghasaban tersebut di lingkungan pesantren akan begitu seterusnya, dan tidak akan ada henti-hentinya.

Sebenarnya upaya yang dilakukan oleh para Musyrif sebagai langkah Antisipasi dalam menanggulangi Fenomena Ghasab-mengghasab di Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in tersebut sudah di legislasikan dalam Buku Tata Tertib Pesantren dan melalui sosialisasi di Pesantren yang diikuti oleh seluruh santri. Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelanggaran sendiri dikategorikan kedalam dua (2) macam Kategori ; Pertama “Poin” dan yang Kedua “Non poin”. Jika ditinjau dari segi kaidah normatif, perilaku ghasab jelas merupakan sebuah pelanggaran yang ada didalam Peraturan Buku Tata Tertib Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in,[9] Meski secara hukum tertulis, perilaku tersebut, masuk kedalam kategori pelanggaran Non Poin. Walau demikian Para Musyrif sudah mengusahakan langkah-langkah dalam mensikapi serta menanggulangi kebiasaan gasab tersebut, mulai dari ancaman takziran (Hukuman) yang bersifat edukatif yang di tentukan oleh kebijakan Para Musyrif terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelanggaran Non Poin.

Setelah melalui berbagai tahapan-tahapan yang sudah dilakukan oleh peneliti, penelitian ini bersifat kualitatif yang berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, yang dilakukan kepada santri dan juga para Musyrif Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-mubtadi’in. Pendekatan penelitian ini adalah Studi Kasus fenomenologi. Maka Kemudian Peneliti mencoba menganalisis Faktor apa memengaruhi terjadinya Ghasab-mengghasab di Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in?.

Adapun fator yang memengaruhi terjadinya Fenomena Ghasab-mengghasab di Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in diantaranya ;

  1. Faktor Individu
  2. Faktor Lingkungan
  3. Faktor Situasional
  4. Faktor Kultural
  5. Dan Faktor Fasilitas

H. PENUTUP.

Dalam kehidupan bermasyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh norma (aturan) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat, baik kehidupan bermasyarakat di Pondok Pesantren. Kehadiranya sebagai salah satu Lembaga pendidikan tentunya mempunyai tujuan menanamkan nilai-nilai Agama Islam sebagai langkah membentuk Karakter (Moralitas) dan berakhlaqul Karimah.

Permaslahan Ghasab-mengghasab Merupakan bagian dari tindakan Prilaku Penyimpangan Sosial. Fenomena Ghasab terbilang menjadi hal yang unik dan sudah dianggap hal yang biasa oleh para santri di Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in.

  • Ghasab tidak dapat disebut meminjam, karena tidak ada akad peminjamannya.
  • Ghasab juga tidak termasuk kategori mencuri karena tidak ada unsur untuk memiliki,
  • Perilaku ghasab tidak mengenal waktu, selama pelaku membutuhkan barang tersebut, tetap akan ia pakai.
  • Ghasab pun tidak selalu didasari unsur kesengajaan, namun ada suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk menggunakan barang yang bukan miliknya, selagi dapat memenuhi kebutuhannya walaupun sifatnya yang sementara.

Riset penelitian Barang yang biasanya sering di ghasab adalah barang yang menjadi kebutuhan primer dilingkungan Pesantren. Hal tersebut bisa terjadi karena Adanya ikatan kekeluargaan dan emosional yang kuat, dan juga kebersamaan di dalam suatu kompleks asrama yang dapat melahirkan hubungan kekeluargaan yang cukup kental antar sesama santri. Maka Seringkali hal tersebut dianggap sebagai suatu tindakan yang sudah biasa dilingkungan Pondok Pesantren.

Sebagai langkah Antisipasi dalam menanggulangi Fenomena Permasalahan Ghasab-mengghasab di Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in. Para Musyrif (pembimbing), terkait pelanggaran bagi para santri sudah di legislasikan dalam Buku Tata Tertib Pesantren dan melalui sosialisasi di Pesantren yang diikuti oleh seluruh santri Melalui Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelanggaran bagi Santri melanggar, itu dikategorikan kedalam dua (2) macam Kategori ; Poin dan juga Non Poin. Maka sayogyanya Para santri di Pondok Pesantren Maslakul Huda Lil Al-mubtadi’in mengetahui tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelanggaran, bahwa dalam peraturan Pesantren ghasab itu tidak boleh, atau tidak dibenarkan oleh Agama.

I. DAFTAR PUSTAKA.

[1] Sumber : Kitab At-Ta’rifat Karya Imam Ali bin Muhammad Al-Jurjani

[2] Sumber : PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN FENOMENOLOGI. BY RIZAL MAWARDI

https://dosen.perbanas.id/penelitian-kualitatif-pendekatan-fenomenologi/

[3] Sumber : Bab Ahkamul Ghasabi. Kitab Fathul Qarib Karya Imam Ibnu Qosim Al Ghazi

[4] Sumber : Wawancara Kepada Santri Kamar Lum’atul Himmah Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in

[5] Sumber : Wawancara kepada Musyrif Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadi’in

[6] Sumber : Materi Kepesantrenan Pondok Pesantren Maslakul Maslakul Huda Lil Al-Mubtadiin.

[7] Sumber : Makalah Kyai Sahal, Prospek Perguruan Tinggi di Pesantren.

[8] Sumber : Buku prilaku menyimpang tinjauan sosiologis Dr. H.J Ciek julyati Hisyam M. M. M. Si. https://books.google.co.id/books/about/Perilaku_Menyimpang.html?id=ALdTEAAAQBAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y

[9] Sumber : Buku Tata Tertib Pesantren Maslakul Huda Lil Al-Mubtadiin.

 

Luqman Hakim,

Santri Ma’had Aly Maslakul Huda semester 4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *