A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbicara perihal tradisi dan budaya, tentu tak lepas dari sejarah yang melatarbelakangi lahirnya tradisi dan budaya tersebut. Di Indonesia sendiri kebudayaan menjadi unsur yang tidak dapat dipisahkan dari suatu komunitas masyarakat. Masyarakat Indonesia sendiri dikenal sebagai masyarakat yang berbudaya. Dengan melihat letak geografisnya, Indonesia menjadi tempat strategis bagi para pedagang dari berbagai negara di masa lampau berlabuh. Sejak masa pra kemerdekaan Indonesia menjadi tujuan berbagai bangsa untuk melakukan perdagangan selain karena letaknya yang strategis, Indonesia juga terkenal akan kekayaan sumber daya alam serta rempah-rempah yang melimpah sebagai komoditi yang banyak dicari masa itu. India, Tionghoa, Arab dan Bangsa Barat menjadi bangsa yang tercatat dalam sejarah melakukan transaksi perdagangan dengan masyarakat pribumi. Dalam perkembangannya proses transaksi tersebut juga disertai adanya akulturasi budaya antara Hindu-Buddha dan Islam.
Dengan melihat latar belakang sejarah tersebut Indonesia menjadi negara yang kaya akan keragaman budaya dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan. Indonesia juga masyhur dengan banyaknya suku bangsa yang mendiaminya, berdasarkan data dari laman Indonesia.go.id Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010. Suku Jawa adalah kelompok terbesar di Indonesia dengan jumlah yang mencapai 41% dari total populasi. Dengan jumlah populasi yang besar, hampir bisa ditemui komunitas Suku Jawa di berbagai daerah di Indonesia. Masyarakat Jawa sendiri dikenal dengan masyarakatnya yang berbudaya. Ada banyak tradisi dan kebudayaan yang lahir secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang masih terjaga eksistensinya hingga saat ini di tengah-tengah masyarakat Jawa yang mulai bergerak menuju peradaban modern.
Dalam masyarakat Jawa sendiri terkenal dengan berbagai kepercayaan atau ritual yang dilakukan oleh sekelompok masyarakatnya yang disebut sebagai “Kejawen”. Ajaran kejawen merupakan keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap kekuatan alam. Sebagai contoh, orang Jawa banyak yang menganut agama Islam, tetapi pengetahuan mereka tentang agamanya boleh dikatakan kurang mendalam. Praktik keagamaan yang dilakukan hanya sebagai seremoni semata.[1]
Masyarakat Jawa kental dengan keyakinan terhadap kekuatan roh atau kekuatan alam yang disebut Animisme. Kaum animis merupakan penduduk Jawa yang menganut keyakinan asli Jawa. Ketika agama Islam menyebar ke pulau Jawa, mereka tetap mempertahankan kepercayaannya. Oleh orang Islam, disebut sebagai Tiang Pasek atau orang tanpa kepercayaan.
Penganut Islam yang merupakan golongan terbesar di pulau Jawa, ternyata tidak memeluk agama ini secara murni sehingga masih dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
- Kaum Islam yang masih memegang campuran kepercayaan Brahma dan Budha;
- Kaum Islam yang menganut kepercayaan magik dan dualisme;
- Kaum Islam yang masih menganut. Animisme;
- Kaum Islam yang menganut agamanya secara murni.
Oleh Professor Veth, ketiga sekte Islam yang pertama disebut sebagai kejawen. Sampai saat ini, ajaran kejawen masih banyak dianut oleh orang Jawa. Sangat sulit untuk dapat melihat keyakinan orang Jawa secara murni karena ajaran agama yang dianut merupakan percampuran dengan ajaran-ajaran sebelumnya di masa lalu.[2] Salah satu tradisi yang lahir dari akulturasi tersebut adalah Sesajen. Sesajen diyakini sebagai tradisi yang lahir dari akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam.
Menurut Koentjaraningrat, memberikan sesajen meliputi perbuatan-perbuatan upacara yang biasanya diterangkan sebagai perbuatan-perbuatan. Untuk menyajikan makanan, benda-benda, atau sebagainya kepada dewa-dewa, roh- roh nenek moyang, atau makhluk halus lainya. Pada banyak upacara sesajen, dewa diberi makanan yang oleh manusia dianggap lezat, seolah-olah dewa-dewa atau roh itu mempunyai kegemaran yang sama dengan manusia. Dalam upacara sesajen, api dan air sering mempunyai peranan yang penting. Sesajen dilempar ke dalam api atau air (sungai, laut), dengan demikian akan sampai kepada dewa-dewa. Sering kali dari persembahan sesajen kepada para leluhur hanya merupakan lambang saja. Sajian diletakkan ditempat-tempat keramat, dan dengan demikian rasa dari makanan tersebut akan sampai kepada tujuannya.[3]
Di berbagai daerah memiliki ciri khas atau corak tersendiri dalam tradisi sesajen yang mereka lakukan. Mulai dari jenis makanan yang disajikan, tempat penyajian, waktu pelaksanaan, dan tata cara ritual sesajen. Keberagaman itu muncul dipengaruhi oleh faktor geografis dan kondisi sosial masyarakat setempat. Di Desa Plaosan, sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Lawu Kabupaten Magetan, terdapat suatu tradisi sesajen yang dilakukan setiap memasuki bulan Ramadhan. Sesajen tersebut ditujukan kepada arwah para keluarga yang telah meninggal, seperti orang tua dan anak. Tradisi itu diyakini sudah dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Meski tak sedikit masyarakat Islam yang menganggap tradisi sesajen sebagai kesirikan dan khurafat serta menyerupai tradisi orang Hindu-Buddha. Tak jarang tradisi sesajen menimbulkan berbagai macam konflik di tengah masyarakat bahkan di dalam internal sebuah keluarga.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba mendeskripsikan ritual sesajen yang dilaksanakan setiap memasuki bulan Ramadhan yang dilakukan masyarakat di Desa Plaosan, yang oleh sebagian kecil masyarakat di desa setempat tradisi tersebut mulai ditinggalkan karena di nilai bertentangan dengan ajaran Islam, sebab sesajen dianggap sebagai suatu kesirikan. Peneliti juga ingin mengungkap dan menguraikan fenomena masyarakat di Desa Plaosan, Kabupaten Magetan yang masih memegang teguh keyakinan mereka dalam melaksanakan tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi di tengah masyarakat yang mulai berpikir terbuka dan modern.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti mencoba mengambil rumusan masalah dari pokok-pokok judul, yaitu :
1.1. Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi ritual sesajen yang dilakukan masyarakat Desa Plaosan?
2.1. Mengapa masyarakat Desa Plaosan melakukan tradisi ritual sesajen setiap memasuki bulan Ramadhan ?
B. LANDASAN TEORI
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan beragam upacara adat dan ritual sosial keagamaan. Hampir setiap aktivitas masyarakat Indonesia selalu diiringi dengan beragam bentuk ritual dan upacara, dari bentuk yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Upacara dan ritual tradisional masyarakat Indonesia tersebut sering kali disertai dengan pemberian sesajen dengan beragam variasi dan maknanya.[4] Di berbagai daerah di Jawa memiliki ciri khas tersendiri dari ritual sesajen yang dilakukan, mulai dari waktu, tujuan, tata cara pelaksanaan, dan macam-macam sajian yang disajikan. Termasuk di dalam masyarakat Desa Plaosan sendiri juga memiliki tradisi sesajen dengan ciri khas yang tentu berbeda dengan daerah lain.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti mencoba untuk mendeskripsikan ritual sesajen yang dilaksanakan masyarakat setempat dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.[5] Adapun bentuk penelitiannya adalah deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan hanya bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena dalam situasi tertentu. Untuk mendeskripsikan suatu budaya, sebagaimana tujuan penelitian ini maka penggunaan teori pendekatan etnografi dirasa sebagai teori yang paling tepat.
Penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi merupakan salah satu penelitian kualitatif dimana penelitian tersebut mempelajari tentang kelompok sosial ataupun budaya masyarakat secara lebih mendalam yang mengharuskan peneliti bersentuhan langsung dan mengikuti kegiatan keseharian objek yang ditelitinya. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Creswell (dalam Sugiyono, 2014) yang mengatakan bahwa etnografi merupakan penelitian yang melakukan studi terhadap budaya kelompok dalam kondisi alamiah melalui observasi dan wawancara.
Penelitian etnografi tidak selamanya bekerja di lapangan. Hal tersebut dikemukakan oleh Daymon (2008) yang menjelaskan bahwa penelitian etnografi dapat dilakukan dalam bentuk deskripsi, kisah atau laporan tertulis mengenai suatu kelompok masyarakat yang dihasilkan oleh peneliti yang melewatkan waktu yang cukup panjang, tujuan dari bentuk deskripsi tersebut adalah untuk menggambarkan realitas sosial dalam sebuah kelompok sehingga para pembaca etnografi dapat dengan mudah memahaminya.[6]
Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti menggunakan teori pendekatan etnografi sebagai acuan. Peneliti mengacu pada teori tersebut karena definisi yang dipaparkan sesuai dengan tujuan penelitian ini, yakni mendalami tradisi sesajen di Desa Plaosan dalam bentuk deskripsi. Peneliti sendiri juga bersentuhan langsung dan mengikuti keseharian objek yang diteliti. Sehingga teori tersebut di rasa tepat untuk digunakan dalam penelitian ini.
C. TRADISI SESAJEN MEMASUKI BULAN RAMADHAN DI DESA PLAOSAN
1. Sekilas Profil Desa Plaosan
Desa Plaosan atau Kelurahan Plaosan merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Desa Plaosan berada di sisi barat Kabupaten Magetan, tepatnya 11 km dari pusat kota. Desa Plaosan berada pada ketinggian 874 meter dpl, dengan luas wilayah 3,75 Km2[7]. Berada di lereng Gunung Lawu yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah Jawa Timur. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar-Solo. Menurut berbagai cerita, Gunung Lawu diyakini sebagai pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan berhubungan erat dengan tradisi dan budaya Praja Mangkunegaran. Setiap orang yang hendak pergi ke puncaknya harus memahami berbagai larangan tidak tertulis untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu dilanggar si pelaku diyakini bakal bernasib sial.[8] Tak heran bila penduduk Desa Plaosan sebagai penduduk lereng Lawu sangat kental akan tradisi, ritual, dan kepercayaan akan berbagai mitos seputar Gunung Lawu.
Menilik sejarah masa lampau Desa Plaosan berada pada wilayah kekuasaan kerajaan Mataram Islam. Hal ini bisa dilihat cerita cikal bakal berdirinya Kabupaten Magetan yang di dirikan seorang kerabat keraton Mataram yang bernama Basah Gondokusumo atau lebih dikenal Basah Bibit yang dituduh menentang kebijakan Amangkurat I[9]. Berdasarkan letak geografis dan juga latar belakang sejarah Desa Plaosan, dilihat dari segi bahasa sehari-hari, adat istiadat maupun kebudayaannya banyak mendapat pengaruh dari daerah Jawa Tengah yakni daerah Solo/Surakarta dan sekitarnya daripada daerah-daerah di Jawa Timur lainnya. Tak heran mayoritas masyarakat Desa Plaosan masih memegang teguh tradisi Kejawen yang telah lama diwariskan sejak masa Mataram Islam. Salah satu tradisi yang masih dilakukan adalah ritual sesajen di beberapa tempat dan waktu tertentu. Salah satunya adalah ritual sesajen yang dilakukan setiap memasuki Bulan Ramadhan.
2. Tradisi Sesajen dalam Masyarakat Desa Plaosan
Beberapa istilah digunakan untuk menyebut istilah sesajen dalam konteks beberapa bahasa di Indonesia, seperti Sajen, Sesaji, Sajian (Bahasa Indonesia), Parawanten (Bahasa Sunda), Banten atau Bebanten (Bali). Kata Sajen dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘makanan (bunga-bungaan dsb) yang disajikan untuk makhluk halus’; sedangkan kata Sesajen sendiri diartikan sebagai ‘sajian (makanan, bunga, dan sebagainya yang disajikan untuk orang halus, dsb), dan kata sajian didefinisikan sebagai ‘1. Sesuatu yang disajikan; 2. Makanan, bunga-bungaan dsb yang dipersembahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib di upacara bersaji.”” Kata kerja untuk kata sajen ini adalah bersaji yang diartikan sebagai ‘mempersembahkan sajian dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan gaib, dengan jalan mempersembahkan makanan dan benda-benda lain yang melambangkan maksud dari komunikasi tersebut”.[10]
Aryono Suyono mendefinisikan sesaji atau sesajen sebagai suatu rangkaian makanan kecil, benda-benda kecil, bunga-bungaan serta barang hiasan yang tentunya disusun menuruti konsepsi keagamaan sehingga merupakan lambang (simbol) yang mengandung arti. Dengan mempersembahkan sesajen itu kepada tuhan, dewa, makhluk halus, dan penghuni alam gaib lainnya, manusia bermaksud berkomunikasi dengan tuhan, dewa dan makhluk-makhluk halus tersebut.[11]
Sesajen memang menjadi bagian penting bagi masyarakat di Indonesia terkhusus di Jawa. Tak terkecuali masyarakat Desa Plaosan yang mana ritual sesajen masih terjaga eksistensinya hingga saat ini. Ritual sesajen masih dapat ditemui di berbagai acara, waktu, dan tempat, seperti tradisi sesajen Memasuki Bulan Ramadhan. Meskipun keberadaannya masih menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat terutama masyarakat Muslim yang notabenenya beranggapan bahwa ritual sesajen sebagai suatu bentuk kesirikan. Penulis pernah mendapatkan suatu cerita yang dituturkan oleh Ibu Sumirahayu (Ibu Penulis) tentang seorang tokoh agama di salah satu RW di Desa Plaosan yang mengarahkan para warga terkhusus warga Muslim untuk meninggalkan ritual sesajen, dengan dalih bahwa ritual tersebut merupakan suatu bentuk kesirikan atau menyekutukan Allah SWT. Terlepas dari benar salahnya pendapat tersebut, memang menarik untuk menelisik lebih lanjut apakah dalam praktik ritual sesajen terdapat unsur kesirikan.
Masyarakat Desa Plaosan sendiri terpecah menjadi dua kelompok, kelompok pertama sebagai kelompok yang masih memegang teguh tradisi yang mereka anggap sudah dilakukan secara turun-temurun (kelompok tradisionalis), serta kelompok kedua sebagai yang telah meninggalkan tradisi tersebut (kelompok agamis). Pada dasarnya, masyarakat yang enggan meninggalkan tradisi tersebut karena meyakini segala bentuk risiko atau mara bahaya yang terjadi apabila meninggalkan tradisi tersebut. Keyakinan itu timbul dari tradisi lisan yang berlangsung dari generasi ke generasi secara turun-temurun. Tentu bukan hal mudah mengubah tradisi yang sudah melekat begitu kuat di tengah masyarakat. Hal ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi para penyebar ajaran Islam di Tanah Jawa di masa lampau dan tentu di era modern ini masih banyak masyarakat yang memegang teguh keyakinan mereka akan tradisi yang mereka warisi dari para leluhur.
Dalam bukunya Simuh mengungkapkan, bahwa Islam menghadapi kekuatan budaya yang telah berkembang secara kompleks dan halus yang merupakan hasil penyerapan unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme yang dipertahankan oleh para cendekiawan serta penguasa kerajaan- kerajaan Jawa. Maka di Jawa penyebaran Islam berhadapan dengan dua jenis kekuatan lingkungan budaya. Pertama, kebudayaan para petani lapisan bawah yang merupakan bagian terbesar, yang hidup bersahaja dengan adat istiadat yang dijiwai oleh religi animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan istana yang merupakan tradisi agung dengan unsur-unsur filsafat Hindu-Buddha yang memperkaya serta memperhalus budaya dan tradisi lapisan atas. Kalau lingkungan budaya pedesaan yang merupakan tradisi kecil masih tetap didominasi oleh tradisi lisan, maka kebudayaan kaum priayi dalam lingkungan istana mengembangkan tradisi tulisan dengan memanfaatkan sastra keagamaan Hindu-Buddha.[12] Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Desa Plaosan, sebagai bagian dari lingkungan budaya pedesaan yang didominasi oleh tradisi lisan.
Menghadapi fenomena sosial budaya tersebut, tentu tak perlu adanya persinggungan antara kelompok tradisionalis dan agamis. Mengingat Islam di Jawa sendiri disebarkan dengan kompromi tanpa mengubah paksa suatu tradisi yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat. Dalam bukunya Ahmad Khalil menuturkan, bahwa dalam sejarah penyebaran Islam, keluar dari jazirah Arab yang kemudian berinteraksi dan bergulat dengan lingkungan sosial budaya yang baru, dikenal dua model dakwah: kompromi dan non-kompromi. Dakwah model kompromi adalah ajakan kepada Islam dengan cara mempertemukan atau memadukan Islam dengan ajaran atau tradisi budaya yang berbeda atau bahkan tampak berlawanan dengan isi kandungan syariah. Sedangkan model non- kompromi adalah suatu ajakan yang menekankan dan mempertahankan keutuhan dan kemurnian syariah, sehingga ia dalam penerapannya mempunyai pandangan. Yang agak rigid (kaku) dalam menghadapi lingkungan sosial, budaya dan seni setempat yang berbeda dengan tempat asal kelahiran Islam.
Fenomena gerakan dakwah yang kompromi bisa dilihat secara mayoritas dalam perkembangan Islam di Jawa, atau mungkin di sebagian besar wilayah Indonesia, di mana ia mengalami proses yang cukup unik dan berliku. Kemungkinan hal ini karena Islam berhadapan dengan kekuatan tradisi budaya Hindu-Budha yang telah mengakar kuat dalam masyarakat, baik di kalangan priayi yang berpusat di istana maupun di kalangan rakyat yang berinti pada ajaran. Animisme dan dinamisme.[13]
Dakwah kompromi tersebut juga bisa dilihat tumbuh subur di tengah masyarakat Desa Plaosan. Mayoritas penduduknya adalah Muslim dari berbagai golongan. Selain Muslim, agama Kristen dan Buddha adalah agama yang cukup banyak di anut oleh masyarakat Desa Plaosan. Mereka hidup berdampingan dengan toleransi antar umat beragama yang terjaga. Dalam praktiknya, ritual sesajen tersebut dilakukan oleh masyarakat Muslim maupun Non-Muslim dengan caranya masing-masing.
3. Tata Cara dan Tujuan Pelaksanaan Ritual Sesajen Memasuki Bulan Ramadhan Di Desa Plaosan
Sesaji merupakan bentuk slametan, agar dirinya terbebas dari mara bahaya. Kalau orang Jawa tidak mampu melalukan sesaji, rasanya ada nuansa hidup yang lepas, belum lengkap. Oleh sebab itu, dalam setiap jengkal kehidupan, orang Jawa mempertahankan sesaji. Biarpun sesaji yang dilakukan belum seperti orang Bali, artinya hanya waktu-waktu khusus, jelas menandai se buah tradisi Jawa yang kuat.
Banyak tata cara sesaji dan ubarampe yang harus disajikan, tergantung bentuk dan momennya. Sesaji tersebut, kalau tidak keliru lebih bertujuan untuk keselamatan. Poerbosohardjo dan Sutomo (1998) banyak membahas masalah sesaji, yang mirip dengan bahasan Ki Padmosusastro dalam Serat Tatacara. Dari pembahasan tersebut, tampak setiap langkah keagamaan Jawa, terutama hal-hal yang terkait dengan perubahan status hidup, dari lahir sampai mati, selalu diberi sesaji.[14] Tak terkecuali masyarakat Desa Plaosan juga memiliki ritual sesajen dengan tata cara dan waktu tertentu. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa masyarakat Desa Plaosan sebagian penduduknya masih memegang teguh tradisi tersebut. Pada umumnya ada banyak waktu yang dikhususkan dalam masyarakat Desa Plaosan untuk Pasang Sajen, seperti pada saat acara selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari ,dst. Serta di beberapa momentum yang dianggap sakral seperti acara pernikahan, khitanan, 7 bulanan, dan sebagainya.
Pada pembahasan ini, peneliti terfokus pada ritual sesajen yang dilakukan masyarakat Desa Plaosan setiap memasuki Bulan Ramadhan. Pada dasarnya ritual tersebut muncul karena adanya suatu keyakinan bahwa arwah keluarga yang telah meninggal akan pulang ke rumah setiap Bulan Ramadhan. Untuk menyambut kedatangan mereka, para ahli waris akan memberikan berbagai hidangan sebagai santapan bagi mereka.
Tata cara pelaksanaan sesajen tersebut mungkin tak jauh berbeda dengan pelaksanaan sesajen di daerah lain. Sesajen biasanya akan dipasang pada Bakda Asar hari terakhir Bulan Sya’ban, kemudian akan dilepas pada waktu Bakda Asar hari pertama Bulan Ramadhan. Sesajen akan diletakkan di ruangan yang Masyarakat Desa Plaosan menyebut dengan istilah senthong yakni kamar kosong yang tertutup, sehingga tak satu pun orang boleh masuk sebelum waktu ritual selesai. Sesajen akan diberi doa dan dibacakan beberapa ayat Al-Quran seperti Al-Fatihah dan Ayat Kursi. Pada malam harinya, sesajen akan diberi lilin sebagai lampu penerang.
Ubarampenya seperti umumnya sesajen, berbagai olahan masakan seperti nasi, sayur lodeh, kering tempe, mi goreng, gorengan, dan lain sebagainya. Namun, ada beberapa hidangan yang tak boleh terlewat yakni ingkung, jajan pasar, buah pisang dan hidangan yang disukai roh semasa hidupnya seperti kopi dan rokok, serta kembang setaman. Tentu dalam sesajen hidangan yang tidak boleh terlewatkan tersebut memiliki nilai-nilai atau simbol-simbol tersendiri yang begitu penting sehingga tidak boleh ditinggalkan. Semua hidangan tersebut diletakkan di atas meja dengan disediakan sendok dan piring kosong sebanyak jumlah arwah yang disambut.[15]
Pelaksanaan sesajen tersebut tentu memiliki berbagai tujuan dan maksud tertentu bagi pelakunya. Bagi masyarakat Jawa, sesajian dapat dipilah menjadi empat jenis. Salah satu jenis sesajian yang dianggap istimewa oleh suatu masyarakat Jawa, mungkin tidak dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa yang lain. Keempat jenis sesajian tersebut adalah sebagai berikut:
- Sesajian yang diperuntukkan bagi Yang Kuasa, rasul, para wali, dewa-dewa, bidadari-bidadari, kekuatan yang terdapat pada seseorang ulama atau yang dihormati, setan-setan, hantu-hantu, roh-roh dan lainnya, dengan tujuan menyenangkan mereka. Sesajian ini disebut sebagai Selamatan.
- Sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan, makhluk- makhluk mengerikan, hantu-hantu, roh-roh jahat. Sesajian ini disebut sebagai Penulakan.
- Sesajian yang dilakukan secara teratur kepada rasul-rasul, para wali, bidadari, jin-jin, kekuatan seseorang yang sudah meninggal, serta hantu-hantu yang baik, binatang, dan tumbuhan-tumbuhan. Sesajian ini disebut Wadima.
- Sesajian berupa makanan yang diberikan kepada para wali, malaikat untuk keselamatan roh-roh orang meninggal dan keselamatan penyelenggara acara, keluarganya dan hartanya. Sesajian ini dinamakan Sedekah.[16]
Dari beberapa jenis tersebut, ritual sesajen yang dilakukan masyarakat di Desa Plaosan bisa dimasukkan pada jenis pertama, dimana sesaji tersebut ditujukan untuk roh para keluarga yang telah meninggal dunia. Tujuan pelaksanaan ritual tersebut sebagai bentuk penghormatan dan penyambutan kepada arwah keluarga yang pulang ke rumah ketika memasuki Bulan Ramadhan. Ada beberapa keyakinan yang berkembang di tengah masyarakat apabila ritual tersebut ditinggal, seperti arwah keluarga tersebut akan marah dan bisa mendatangkan bala yang mengganggu ketenangan keluarga yang masih hidup, arwah akan bersedih jika tidak ada hidangan yang diberikan kepada mereka sehingga mereka kelaparan, dan keyakinan-keyakinan lainnya.[17]
Suwardi Endraswara dalam bukunya menyebutkan, bahwa Agama Jawa selalu menggariskan fungsi sesaji sebagai: (1) langkah negosiasi spiritual dengan kekuatan adikodrati, agar tidak mengganggu, (2) pemberian berkah ke- pada warga sekitar, agar ikut merasakan hikmah sesaji, (3) perwujudan keikhlasan diri, berkorban kepada Kang Gawe Urip. Yang terakhir ini, sesaji merupakan bentuk ucapan terima kasih. Sesaji merupakan refleksi dari naluri keagamaan orang Jawa. Andaikata tidak ada yang memerintah, agama Jawa selalu menghubungkan antara yang hidup dengan dunia lain (yang tak hidup secara fisik). Untuk itu, orang Jawa melakukan berbagai ritual.[18] Hal ini selaras dengan fungsi sesajen bagi Masyarakat Desa Plaosan sebagai negosiasi spiritual dengan kekuatan adikodrati (supranatural), dalam hal ini adalah arwah keluarga dan leluhur yang bertujuan agar keluarga tak mendapatkan gangguan atau bala jika tidak menghidangkan sesajen untuk mereka.
Harus diakui, sesaji dalam agama Jawa memang sering memunculkan masalah bagi pihak lain. Paling tidak ada anggapan yang minir terhadap perilaku sesaji itu. Tidak sedikit para pelaku agama resmi akan menyatakan bahwa sesaji itu sia-sia, dianggap menyembah hal-hal yang aneh, tidak masuk akal. Orang awam dan orang beragama resmi sering meneror pelaku agama Jawa, sebagai orang yang tidak ber-Tuhan. Anggapan ini tentu akan ditolak oleh penganut agama Jawa, sebab sesaji yang dilakukan merupakan tindakan simbolik. Agama Jawa adalah sebuah pekerti simbolik.[19]
D. KESIMPULAN
Sesajen merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dengan tata cara, ubarampe, dan dengan berbagai tujuan tertentu. Sesajen memang menjadi bagian penting bagi masyarakat di Indonesia terkhusus di Jawa. Tak terkecuali masyarakat Desa Plaosan yang mana ritual sesajen masih terjaga eksistensinya hingga saat ini. Ritual sesajen masih dapat ditemui di berbagai acara, waktu, dan tempat, seperti tradisi sesajen Memasuki Bulan Ramadhan.
Sesajen tersebut secara umum memiliki tata cara tak jauh berbeda dengan masyarakat di daerah lain. Sesajen dipasang bakda Asar hari terakhir di Bulan Sya’ban dan dilepas pada bakda Asar hari pertama di Bulan Ramadhan. Peletakan sesajen nerada di sebuah ruangan yang disebut senthong. Ada berbagai macam ubarampe yang dihidangkan di atas meja seperti pada umumnya makanan yang dimakan oleh seseorang. Hanya saja ada ubarampe tertentu yang tidak boleh ditinggalkan.
Tujuan dari adanya sesajen tersebut adalah sebagai bentuk penghormatan dan penyambutan kepada arwah keluarga yang diyakini oleh keluarganya pulang setiap memasuki Bulan Ramadhan. Ada berbagai keyakinan apabila ritual tersebut ditinggalkan, seperti arwah keluarga tersebut akan marah dan bisa mendatangkan bala yang mengganggu ketenangan keluarga yang masih hidup, arwah akan bersedih jika tidak ada hidangan yang diberikan kepada mereka sehingga mereka kelaparan, dan keyakinan-keyakinan lainnya.
E. DAFTAR PUSTAKA
Suyono, Capt. R.P., Dunia Mistik Orang Jawa,( Yogyakarta : LKiS, Cet.3, 2012).
Koentjaraningrat.1992..,Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta : Dian Rakyat).
Dr. Ayatullah Humaeni, MA. Dkk, Sesajen : Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen Masyarakat Muslim Banten dan Masyarakat Hindu Bali, (Banten : LP2M UIN SMH Banten, cet.III, 2021).
Sugiyono, 2017. Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung : Alfabeta).
https://penalaran-unm.org/metode-penelitian-kualitatif-dengan-jenis-pendekatan-studi-kasus/
http://soendoel.blogspot.com/2013/01/profil-kecamatan-plaosan-magetan.html?m=1
https://www.kodim-magetan.com/sejarah-kabupaten-magetan/
Prof.Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., Agama Jawa : Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen, (Yogyakarta: Narasi-Lembu Jawa, cet.I edisi baru, 2018).
Ahmad Khalil, M.Fil.I., Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN-Malang Press, Cet.I, 2008).
Dr. Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, cet.II, 2018)
[1] Suyono, Capt. R.P., Dunia Mistik Orang Jawa,( Yogyakarta : LKiS, Cet.3, 2012), Hal. 2
[2] Ibid. Hal.3
[3] Koentjaraningrat.1992.,Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta : Dian Rakyat), Hal. 262
[4] Dr. Ayatullah Humaeni, MA. dkk, Sesajen : Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen Masyarakat Muslim Banten dan Masyarakat Hindu Bali, (Banten : LP2M UIN SMH Banten, cet.III, 2021), hlm. 31
[5] Sugiyono, 2017. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : Alfabeta. hlm. 15.
[6] Dikutip dari https://penalaran-unm.org/metode-penelitian-kualitatif-dengan-jenis-pendekatan-studi-kasus/ diunduh pada tanggal 14 Februari 2023
[7] Dikutip dari http://soendoel.blogspot.com/2013/01/profil-kecamatan-plaosan-magetan.html?m=1 diunduh pada tanggal 17 Februari 2023
[8] Dikutip dari https://m.solopos.com/misteri-lawu-gunung-tertua-sakral-di-jawa-1196574 diunduh pada tanggal 23 Februari 2023
[9] Dikutip dari https://www.kodim-magetan.com/sejarah-kabupaten-magetan/ diunduh pada tanggal 17 Februari 2023
[10] Dr. Ayatullah Humaeni, MA. Dkk, Sesajen : Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen Masyarakat Muslim Banten dan Masyarakat Hindu Bali, (Banten : LP2M UIN SMH Banten, cet.III, 2021), hlm. 32. Lihat juga: Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ed. Ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 862.
[11] Ibid. Hal. 32-33. Lihat juga : Aryono Suyono, Kamus Antropologi (Jakarta : Akademika Pressindo, 1985), 358
[12] Dr. Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, cet.II, 2018), hal. 145.
[13] Ahmad Khalil, M.Fil.I., Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN-Malang Press, Cet.I, 2008), hlm.14.
[14] Prof.Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., Agama Jawa : Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen, (Yogyakarta: Narasi-Lembu Jawa, cet.I edisi baru, 2018). Hal. 64.
[15] Berdasarkan pengamatan penulis terhadap ritual yang dilakukan oleh beberapa kerabat dan nenek
[16] Suyono, Capt. R.P., Dunia Mistik Orang Jawa,( Yogyakarta : LKiS, Cet.3, 2012), Hal. 131-132.
[17] Hasil wawancara terbuka dengan Saudari Lina Agustin pada tanggal 8 Februari 2023 dan berdasarkan penuturan dari Ibu Pariyem (nenek penulis).
[18] Prof.Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., Agama Jawa : Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen, (Yogyakarta: Narasi-Lembu Jawa, cet.I edisi baru, 2018).hlm.66.
[19] Ibid. hlm.69.
Rendi Aji Alamsyah,
Santri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda semester 4