Upaya Santri Milenial: Membendung Kabar Hoax dan Mencegah Masuknya Paham Radikalisme di Era Digital
Oleh: Sandi Juliyansyah
Era digital saat ini, di mana informasi dan teknologi berkembang begitu pesat. Berbagai macam dan bahkan ribuan informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat hanya dengan hitungan detik. Informasi yang dulunya dapat diperoleh melaui lisan ke lisan, surat kabar, koran, buku, jurnal ilmiah dan majalah, kini dapat diperoleh melalui gawai internet. Pada tataran praktis, hal ini dapat dikatakan sebagai kabar baik, karena berbagai informasi begitu mudah dan cepat diakses, tanpa harus keluar rumah terlebih dahulu untuk membeli koran, majalah dan sebagainya. Namun, disisi lain, tak jarang informasi yang diperoleh tidak mencapai tingakat kevaliditasan. Sehingga banyak kabar-kabar hoax yang tersebar dan masuknya paham-paham radikalisme yang dapat membahayakan keutuhan NKRI.
Sebagai anak bangsa yang menyandang gelar santri, sudah seharusnya memberikan kontribusi dalam menahan lajunya arus penyebaran informasi hoaxs dan faham-faham radikalisme di negeri tercinta Indonesia. Santri sebagai agen perubahan harus lebih terbuka terhadap dunia luar dan perubahan zaman. Artinya, di samping memperdalam ilmu agama (tafaqquh fi ad-din), para santri juga harus membekali diri dengan keterampilan dalam dunia digital. Karena hal tersebut merupakan keniscayaan pada zaman ini yang harus disikapi secara bijak. Keterampilan dalam dunia digital ini kerap dikenal dengan istilah literasi digital. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Abdulloh Hamid dalam bukunya “Literasi Digital Santri Milenial” beliau memberikan konklusi tentang defenisi literasi digital secara sederhana yaitu, sebuah kemampuan untuk memahami dan mengunakan informasi dalam berbagai format dari beragam sumber yang disajikan melalui komputer atau secara digital. [1]
Adanya keterampilan dalam dunia digital, selain dituntut untuk dapat mengerti, memahami dan memanfaatkan sumber informasi dalam berbagai format, para santri juga diharapkan mampu mengoprasikan berbagai perangkat lainya yang mendukung. Hal ini tidak lain, agar para santri mampu beradaptasi dan berperan dalam dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan demikian, penyebaran informasi yang sifatnya tidak valid dapat difilter secara teliti. Sehingga informasi yang diperoleh bisa dipertanggungjawabkan kebenaranya. Dalam buku yang sama Dr. Abdulloh Hamid juga memetakan tentang konsep strategi dalam meninjau kebenaran suatu informasi yakni:[2]
- Konsep Tabayun
Tabayun ialah mengkonfirmasi atau melakukan cek dan ricek atas kabar apapun. Karena sejatinya, suatu informasi atau kabar bisa saja salah bisa juga benar. Pada dasarnya, tabayun merupakan konsep al-Qur’an untuk lebih selektif dalam menerima suatu kabar atau informasi bersamaan dengan melakukan konfirmasi tentang kebenarannya.
- Konsep Tashawwur dan Tashdiq
Dalam dunia pesantren kedua istilah ini memang sangat populer. Secara bahasa Tashawwur dapat berarti menggambarkan atau membayangkan, sedangkan secara istilah dapat didefenisikan sebagai pengetahuan atau gambaran terhadap sesuatu yang tidak disertai penghukuman atas sesuatu tersebut (idrak al-syai’ ma’a ‘adami al-hukmi ‘alaihi). Tashawur dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu; ada yang bersifat dharuriy (tidak butuh penalaran terlebih dahulu) dan ada yang bersifat nazhariy (membutuhkan penalaran). Hanya saja tashawwur yang sifatnya dharuriy dan nazhariy ini tidak boleh disebarkan. Sedangkan Tashdiq secara bahasa bermakna pembenaran atau persetujuan. Tashdiq dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu; dharuriy dan nazhariy. Sederhananya, jika tashawwur adalah hanya sebuah gambaran maka tashdiq adalah tashawwur (gambaran) yang disertai dengan hukum.
- Konsep Ilmu Takhrij al-Hadits
Dalam penjelasannya, Dr. Abdulloh Hamid mengutip pendapat dari Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits yang menggemukakan bahwa syarat hadits shahih ialah:
ما اتّصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله الى منتهاه من غير شذوذ و لا علة
“Setiap hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil, yang kuat hafalanya dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat syadz (keraguan) dan ‘ilat (cacat).”
Kelima syarat di atas, merupakan kreteria yang diterapkan pada kajian sanad dan hanya syarat yang keempat dan kelima yang digunakan pada kajian matan. Menurut beliau konsep Takhrij al-Hadits ini dapat dijadikan sebagai strategi dalam melihat kebenaran informasi yang beredar, yaitu dilihat dari siapa pembawa informasinya dan juga dilihat dari redaksi atau isi dari informasinya.
Kemudian, selain membendung lajunya arus peneyebaran berita-berita hoax, seyogyanya para santri juga ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam mencegah masuknya paham-paham radikalisme dalam negara Indonesia. Radikalisme merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem masyarakat sampai ke akarnya.[3] Jika paham ini dibiarkan untuk terus menjelajah di samudra bumi nusantara, maka tentu hal ini akan memberikan dampak buruk bagi keutuhan NKRI. Dengan adanya perkembangan teknologi yang sedemikian rupa, peluang masuknya paham radikalisme juga semakin besar, terutama melalui media sosial.
Di era digital saat ini, para santri dituntut untuk melek akan teknologi, hal ini bertujuan untuk menyebarluaskan pandangan-pandangan islam yang moderat. Karena di era ini, media dakwah tidak hanya secara offline (berada dalam satu majelis) tapi juga secara online melalui media sosial. Adanya peran santri di media sosial diharapkan dapat memukul mundur paham-paham radikalisme dan dapat membumikan ajaran-ajaran islam yang moderat. Sehingga kedaulatan dan keutuhan NKRI akan senantiasa aman, terjaga dan jauh dari kata “kehancuran”.
Oleh sebab itu, para santri harus menjunjung tinggi nasionalisme. Nasionalisme merupakan paham kebangsaan dan cinta tanah air. Nasionalisme harus tertancap kuat dalam sanubari anak bangsa terkhusus bagi para santri demi menjaga semangat mempertahankan, siap berkorban dan berjuang demi bangsa dan negara sehingga keberagaman dari aspek agama, suku dan budaya dapat tetap terpelihara dan tetap menjadi power (kekuatan) riil yang memperkokoh kedaulatan NKRI. Dengan demikian, akan tercipta suasana kehidupan yang damai sentosa, saling menghargai, mengasishi dan melindungi satu sama lain.[4]
Pada dasarnya potret nasionalisme telah di gambarkan oleh Rasulallah SAW, hal ini terbukti ketika perjalanan hijrah menuju Madinah, di tengah perjalanan Rasulallah sangat merindukan tanah kelahiranya yaitu kota Makkah. Kemudia malaikat Jibril datang bertanya; “ya Rasulallah, apakah engkau merindukan negerimu?”, lalu Rasulallah menjawab; “Ya”. Kemudian turunlah ayat:[5]
إنّ الذي فرض عليك القرآن لرادّك إلى معاد ( القصاص:85)
“Sesungguhnya Allah yang mewajibkan kepadamu (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, maka Allah benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (Makkah).” (QS. Al-Qashas:85)
Dalam pandangan Isma’il Haqiqi bin Musthafa al-Hanafi dalam Tafsir Ruh al-Bayan juz 4/320, ayat di atas mengandung isyarat bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman.[6]
و في تفسير الآية إشارة إلى أنّ حبّ الوطن من الإيمان
Bahkan Sayyidina Umar bin Khatab Ra mengatakan:
لولا حبّ الوطن لخرب بلد السوء، فبحبّ الأوطان عمرت البلدان
“Seandainya saja tidak ada cinta pada tanah air, niscaya negeri yang terpuruk akan semakin hancur, maka dengan adanya cinta pada tanah air , negeri-negeri akan termakmurkan”
Melihat untaian pemaparan di atas, dapat ditarik konklusi bahwa dalam menyikapi era digital saat ini yang banjir akan informasi. Para santri harus lebih teliti dalam memilah informasi yang ada agar tidak salah mengambil informasi. Ada tiga trik atau konsep yang ditawarkan oleh Dr. Abdulloh Hamid dalam bukunya “Literasi Digital Santri Milenial” yaitu; Tabayyun, Tashawwur dan Tashdiq serta Ilmu Takhrij al-Hadits. Kemudian dalam mencegah masuknya paham radikalisme dalam negara Indonesia, yaitu para santri harus ikut berperan aktif dalam berdakwah di media sosial dan menjunjung tinggi nasionalisme, dalam rangka membumikan ajaran-ajaran Islam yang moderat serta sebagai upaya memukul mundur paham-paham radikalisme. Upaya-upaya ini tidak lain bertujuan untuk menjaga eksistensi NKRI agar tetap aman, terjaga dan jauh dari kata “kehancuran”. Sebagaimana jargon yang masyhur:
حبّ الوطن من الإيمان
REPERENSI
- Abdulloh Hamid, Literasi Digital Santri Milenial, Jakarta: kompas gramedia, cetakan ke-2, 2021, hal. 123.
- , hal. 137 – 151.
- https://katadata.co.id/safrezi/berita/61e664b8b2ff9/radikalisme-adalah-pahamyang menghendaki-perubahan-ini-penjelasannya
- Tim Bahtsul Masail HIMASAL, Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan di tengah Kebhenikaan, cetakan Lirboyo Press dan LTN Himasal Pusat, 2018, hal. 14.
- , hal. 15 – 16.
- Isma’il Haqiqi bin Musthafa al-Hanafi dalam Tafsir Ruh al-Bayan, al-Maktabah as-syamilah, juz 4, hal. 320. Dikutip dari buku Tim Bahtsul Masail HIMASAL, Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan di tengah Kebhenikaan. cetakan Lirboyo Press dan LTN Himasal Pusat, 2018, hal. 16