PENTINGNYA MEMBATASI AGAR TIDAK MELAMPAUI
(Uraian Mengenai Pandangan Islam Terhadap Pacaran)
KH. MA. Sahal Mahfudh
Seorang anak yang mengaku masih muda menyempatkan diri melayangkan surat untuk saya. Isinya singkat tapi mengejutkan: ia dengan teramat lugu menanyakan soal berpacaran yang sedang ia lakukan sebelum menuju jenjang pernikahan.
Karenanya saya tegaskan bahwa segala macam bentuk interaksi antara seorang laki-laki dengan lawan jenis yang berstatus al-ajnabiy (orang lain menurut sudut pandang agama), dalam Islam telah diatur secara detail antara lain sebagaimana yang diungkapkan salah satu kitab Fiqh al- Bajuri, bahwa untuk sekadar melihat (dalam bahasa fiqih memakai istilah al-nadhar), seorang harus berhadapan dengan beberapa ketentuan yang mengikat.
Ketentuan tersebut, seperti halnya pendapat ulama-ulama yang lain, secara tegas tidak memperbolehkan seorang lelaki melihat perempuan ajnabiyyah (mereka yang tidak terikat dalam hubungan mahram) bukan istri sah, kecuali untuk keperluan-keperluan yang sudah sama yang mendapat pemakluman, semisal pengobatan dan kebutuhan medis yang lain.
Pemakluman tersebut berlaku sebatas pada melihat bagian-bagian anggota tubuh yang berkenaan dengan proses pengobatan saja. Itu pun setelah usaha mendapatkan tenaga medis seorang wanita mengalami berbagai kendala yang menyebabkan tidak terpenuhinya pengobatan oleh selain tenaga medis lawan jenis itu. Di tambah lagi dengan satu persyaratan hadirnya sang suami atau salah satu anggota keluarga mahram atau setidaknya wanita lain yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab.
Hal lain yang juga mendapatkan pemakluman adalah yang terjadi dalam kasus mu’amalah (transaksi), semisal jual-beli, dan kasus al-syahadah (persaksikan). Mengingat adanya satu kaidah fiqih: al-daruratu tuqaddaru biqaddriha, bahwa kebutuhan mendesak yang tidak mungkin ditinggalkan bisa diperbolehkan dengan syarat tidak melebihi kadar yang dibutuhkan, dalam hal muamalah tersebut.
Jika dipandang perlu untuk mengetahui siapa lawan transaksinya, seseorang hanya diperbolehkan melihat wajah atau raut muka saja, yang menurut pengamatan mereka dianggap cukup.
Dari keterangan yang dari dijelaskan oleh antara pengarang kitab al-Bajuri tersebut, didapat satu kesimpulan, bahwa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak seperti pengobatan (at-tadawi) sekalipun pembolehan sekedar melihat perempuan ajnabiyyah terbatas sekali dan masih harus disertai syarat-syarat yang ketat. Apalagi untuk hal-hal yang tidak bisa dikategorikan sebagai kebutuhan yang dibenarkan (al-hajat).
Sementara pacaran, baik yang diteruskan ke jenjang pernikahan maupun yang tidak, meski di mata sekelompok orang tertentu dianggap satu kewajaran yang sulit dipertanggungjawabkan alasannya, menurut syariat secara tegas dinyatakan bukan sebagai satu hal yang wajar, lebih-lebih sebagai satu kebutuhan.
Karena itu, dengan tegas pula syariat tidak memperbolehkan adanya pacaran yang lazimnya sangat mungkin tidak dilakukan dengan hanya pandang memandang, tapi lebih jauh lagi. semisal bersentuhan dan atau bahkan sampai pada keadaan khalwat, menyendiri berduaan.
Dengan demikian, pacaran tersebut dalam praktiknya menimbulkan satu dan atau beberapa bentuk penyimpangan yang sudah barang tentu tidak bisa dibenarkan. Toh, untuk keperluan pernikahan sebagaimana yang Anda maksudkan, syariat telah memberikan satu solusi dengan diperbolehkannya khitbah yang bertujuan agar seorang lelaki bisa mengenali keberadaan perempuan calon istrinya
Selanjutnya mengenai manfaat dan akibat dari pacaran, saya kira sudah jelas sehingga tidak perlu lagi saya jelaskan.
Sumber : "WAJAH BARU FIQH PESANTREN" KH. MA. Sahal Mahfudh