Sebagai negara plural dengan berbagai agama dan keyakinan, toleransi antar umat beragama sangat dibutuhkan di tengah pluralitas masyarakat Indonesia guna menjaga kerukunan serta keharmonisan masyarakat. Pluralitas atau keberagaman merupakan suatu realitas yang tidak bisa dihindari, sebagaimana yang telah tersurat dalam surat al-Hujurat ayat 13, bahwasanya manusia diciptakan dengan keberagaman dari latar belakang suku dan bangsa yang berbeda-beda dengan tujuan untuk saling mengenal. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi di tengah keberagaman. Hal ini bisa dilihat dalam sabda Nabi Muhammad Saw.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, ditanyakan kepada Rasulullah Saw. : “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?, maka beliau bersabda: Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)”.
Dari kutipan Hadits di atas sudah pasti menggambarkan Agama Islam dan dikatakan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung nilai tasamuh atau toleransi. Namun, pada realitasnya tak sedikit kelompok yang mengatasnamakan kelompok Muslim bertindak intoleran terhadap umat agama lain. Atau setidaknya mereka menilai toleransi yang dilakukan oleh sebagian kelompok Muslim lain telah melebihi batasan toleransi yang diperbolehkan dalam agama. Tentu hal ini menimbulkan persinggungan sosial di tengah umat beragama bahkan di internal umat Islam sendiri. Lantas, seberapa penting toleransi antar umat beragama dan bagaimana batasan toleransi antar umat beragama itu sendiri?
Pada dasarnya, menjaga kerukunan antar umat beragama sangatlah urgen bahkan wajib. Kerukunan tersebut bisa tercipta dengan adanya nilai-nilai toleransi agama di tengah masyarakat. Menjaga agama (hifdz ad-diin), menjaga dan merawat keselamatan raga (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aqli), menjaga harta benda (hifdz al-māl), serta menjaga keturunan (hifdz al-nasl) merupakan konsep paling sederhana dari tujuan pokok syariat Islam (maqoshid al-syarī’ah) yang mana tujuan tersebut tidak akan terwujud dan bisa dicapai apabila tidak ada kerukunan di tengah pluralitas umat beragama. Dalam kaidah fikih disebutkan ;
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
Bisa dipahami bahwa sesuatu yang wajib tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya. Dalam konteks pembahasan ini, suatu kerukunan di tengah umat beragama tidak akan bisa tercapai secara sempurna bila tidak ada sikap toleransi antar umat beragama, maka toleransi menjadi suatu hal yang wajib untuk menciptakan kerukunan tersebut. Singkatnya, sikap toleransi untuk menjaga kerukunan umat beragama menjadi prasyarat tercapainya maqoshid al-syarī’ah.
Selaras dengan kaidah fikih جلب المصالح و درء المفاسد, bahwasanya toleransi antar umat beragama bertujuan untuk menarik kemaslahatan, dalam konteks ini adalah terciptanya kerukunan dan keharmonisan di tengah keberagaman umat beragama, serta menolak kemelaratan/kerusakan, dalam hal ini adalah terjadinya perpecahan dan ketidakharmonisan antar umat beragama. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap toleransi di tengah pluralitas menjadi hal yang fundamental demi tercapainya kemaslahatan dan terhindar dari mafsadah.
Akan tetapi, dalam toleransi agama perlu memperhatikan batasan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kiai Sahal Mahfudz dalam bukunya Pesantren Mencari Makna bahwasanya, hubungan manusia ada dua. Pertama, hubungan manusia kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq) yang sifatnya eksklusif. Kedua hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam lingkungan yang sifatnya fleksibel. Dalam konteks hubungan kedua prinsip dasarnya adalah toleransi (tasamuh). Dalam konteks interaksi sesama muslim dikenal ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan antar sesama umat Islam) yang harus terus dipupuk dan dikembangkan. Sedangkan dalam konteks interaksi dengan non muslim, prinsip toleransi harus dikedepankan demi kepentingan kemaslahatan umum. Dengan saling memahami satu dengan yang lain akan tercipta keteraturan umum yang dikenal dengan kedisiplinan sosial.
Toleransi kerukunan umat beragama dalam pandangan Kiai Sahal Mahfudz mempunyai konsep menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain dengan tidak mencampuri urusan masing-masing atau mengganggu baik dalam aspek sosial, ekonomi, yang bersifat duniawi, terlebih dalam masalah keimanan. Menurut Kiai Sahal Mahfudz dibalik penting dan bahkan wajibnya sikap toleransi khususnya di Indonesia yang mempunyai ragam banyak atau plural, tetap saja toleransi tersebut mempunyai batasan, tak serta merta dengan alasan plural dapat bertoleransi sebebas-bebasnya. Agama membatasi bahwa toleransi hanya dalam hal kemanusiaan bukan dalam ranah peribadatan atau keyakinan. Selama toleransi itu bukan dalam hal akidah, maka boleh saja bagi umat muslim bersikap toleransi terhadap non muslim untuk menjaga serta menjalin hubungan baik antar sesama umat beragama.
Rendi Aji Alamsyah, Santri semester 5 Ma’had Aly PMH 23/24