Site icon Mahally

Analisis Hukum ‘Iddah dan Ihdād dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perspektif Mubadālah

Pendahuluan

            Pernikahan dalam islam tidak hanya sekedar ikatan lahiriah antara dua manusia, akan tetapi ikatan batin juga termasuk didalamnya. Yang mana mencakup nilai-nilai moral dan spiritual. Dalam konteks ini, muncullah penetapan dalam syariat islam tentang aturan masa setelah terjadinya perpisahan dengan pasangan, baik karena perceraian ataupun kematian. Dari sinilah muncul ketentuan ’iddah dan ihdād yang terdapat dimensi hukum, etika dan sosial didalamnya. Yang mana hal tersebut dapat berpengaruh terhadap posisi serta peran perempuan dalam masyarakat.

            Di Indonesia, terdapat Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berfungsi sebagai pedoman hukum positif bagi umat Islam. Namun, ada beberapa kebijakan dalam KHI yang kerap memunculkan perdebatan. Perdebatan sering terjadi diakibatkan adanya dugaan diskriminasi terhadap perempuan karena penerapan masa tunggu dan masa berkabung lebih lama dibandingkan kewajiban yang diberikan pada laki-laki.

            Pendekatan mubādalah adalah sebuah metode tafsir yang menekankan kesalingan dan keadilan gender. Yang mana dalam konteks ini membuka peluang reinterpretasi atas ketentuan ’iddah dan ihdād agar sejalan dengan nilai-nilai syariat tapi juga tidak mengabaikan prinsip kesetaraan. Oleh karena itu, diperlukan penelaahan kembali bagaimana aturan KHI dapat dijalankan secara adil, kontekstual, dan sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus menjaga tujuan dari hukum islam itu sendiri.

a. Pengertian ’iddah dan ihdād

            ’Iddah adalah sebuah istilah bagi perempuan dalam  masa  lamanya menunggu   dan   tidak   boleh menikah setelah  kematian suaminya/setelah berpisah dari suaminya.[1] Dapat diberi penjelasan lengkap bahwa ’iddah adalah suatu tenggang  waktu  tertentu  yang  harus  dihitung  oleh  perempuan yang dimulai ketika ia dicerai   oleh   suaminya, baik disebabkan  karena  talak  ataupun wafatnya suami. Dalam masa tersebut maka perempuan tidak diperbolehkan kawin   atau melaksanakan akad pernikahan dengan laki-laki lain. [2]

            Sedangkan ihdād adalah ketidakbolehan bagi wanita yang ditinggal mati suaminya  untuk berdandan/memakai sesuatu yang memjadi daya tarik orang lain untuk memperhatikan dirinya dan menjadi terpikat.[3]

b. Aturan ‘Iddah dan Ihdād dalam KHI

            Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai panduan hukum Islam positif di Indonesia telah mengatur ketentuan tentang ’iddah dan Ihdād.  Yang mana KHI disesuaikan dengan konteks agama dan hukum nasional. Terhadap aturan ini diperlukan pemahaman yang mendalam, karena keduanya berhubungan terhadap hak dan kewajiban perempuan muslim setelah perpisahan. Selain itu KHI juga menjaga tatanan moral dan sosial dalam masyarakat.

            Pembahasan’iddah dalam KHI terdapat pada pasal 153-155 yang menjelaskan ketentuan masa tunggu bagi seorang wanita yang mengalami ’iddah. Ketentuannya diantara lain adalah sebagai berikut :

  1. Ketika ditinggal wafat suaminya masa iddahnya adalah 130 hari atau 4 bulan 10 hari
  2. Ketika karna adanya perceraian maka masa iddahnya adalah 3 kali sucinan
  3. Ketika sedang hamil maka iddaahnya samapi melahirkan

            Sedangkan mengenai ihdād atau masa berkabung dalam KHI di jelaskan pada pasal 170 yang berbunyi :

  1. Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa ’iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
  2. Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.[4]

            Dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi rujukan adalah kitab-kitab mu’tabaroh.  Secara isinya, materi dalam kitab-kitab mu’tabaroh terkenal keabsahannya.  Akan tetapi masih muncul pandangan bahwa ketentuan dalam kitab-kitab tersebut tidak dapat memecahkan masalah yang ada.

c. Deskriminasi Perempuan dalam KHI

            Mengenai rumusan KHI tentang masa tunggu dalam Bab VVII Pasal 153-155 dan bagian kedua tentang masa berkabung dalam Bab XIX Pasal 170, sebenarnya itu mendiskriminasi kaum perempuan. Pendiskriminasiannya terletak pada ketentuan ’iddah yang hanya diberlakukan untuk seorang isteri yang dibarengi dengan masa ihdād, sedangkan bagi laki-laki hanya menjalankan sepatutnya saja. Adanya ‘iddah dan ihdād sebenarnya tidak hanya untuk mengetahui kebersihan rahim saja karena untuk zaman sekarang kebersihan rahim bisa diatasi melalui teknologi yang berkembang . Tetapi juga untuk rekonsiliasi dan mengagungkan akad pernikahan yang mana hal ini seharusnya dilakukan oleh 2 pihak, tidak hanya isteri yang terikat. [5]

d. Gagasan dalam Mubādalah

            Jika adanya ’iddah hanya untuk ibadah semata atau hanya untuk memastikan kebersihan rahim maka ketentuan ini tidak bisa di mubādalah. Akan tetapi jika ’iddah bertujuan untuk memberi waktu dan refleksi terhadap pasangannya maka itu berlaku mubādalah. Dalam hal ini jika hukum fiqih tidak bisa digunakan maka bisa dengan etika fiqih. Ketika fiqih melarang wanita yang dicerai bersolek ketika masa ’iddah yang dapat memikat laki-laki maka laki-laki yang menceraikannya juga tidak melakukan hal-hal yang dapat menarik seorang perempuan. Tujuannya tidak lain adalah untuk mempermudah kesiapan psikologis dari kedua belah pihak dan bisa menjadi jalan untuk kembali pada pernikahan yang semula.[6]

            Seorang isteri yang ditinggal wafat oleh suaminya masa ’iddahnya sudah di sebutkan dalam surah Al-Baqoroh ayat 234. Yang mana masa ’iddahnya adalah 4 bulan 10 hari ketika tidak dalam keadaan hamil. Fungsi ’iddah selain untuk memastikan kandungan berfungsi juga sebagai waktu penghormatan terakhir seorang isteri kepada suaminya dan keluarganya. Hal ini juga ditetapkan terhadap seorang suami yang ditinggal wafat oleh isterinya dengan tidak mendekati perempuan lain. Hal ini bertujuan untuk menghormati isteri dan keluarganya. Inilah etika mubādalah mengenai ihdād. [7]

Kesimpulan

            Aturan ’iddah dan ihdād dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk mengatur masa tunggu dan masa berkabung bagi perempuan setelah perceraian atau kematian suami. Yang mana tujuan ’iddah dan ihdād adalah untuk menjaga kehormatan, memastikan kepastian status rahim serta untuk refleksi untuk kedua pasangan. Namun, dalam penerapannya dianggap kurang adil karena kewajiban tersebut diberikan lebih berat kepada perempuan dengan ketentuan waktu, sedangkan laki-laki hanya menjalani masa berkabung “menurut kepatutan” tanpa ada aturan yang jelas.

            Untuk menyelesaikan hal ini, pendekatan mubādalah memberikan tawaran reinterpretasi yang memperkuat prinsip kesalingan dan keadilan gender. Dalam kaca mata mubādalah ,’iddah dan ihdād tidak hanya disebutkan sebagai kewajiban perempuan, tetapi juga berlaku bagi kedua belah pihak sebagai dasar etika sosial. Kontekstualisasi terhadap KHI sangat diperlukan agar aturan ini tetap sejalan dengan tujuan syariat Islam, menghilangkan tindakan diskriminasi, juga relevan dengan perkembangan masyarakat modern.

[1] Kholid, M.M dan Abdul Aziz, S.Pd.I, MH.I, Problematika ‘Iddah dan Ihdād (Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanafi), h.130

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Kompilasi Hukum Islam

[5] Nuzulia Febri Hidayati, Rekontruksi Hukum ’Iddah dan Ihdād dalam Kompilasi Hukum Islam, h.58

[6] Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubādalah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm 427

[7] Ibid. 428

Exit mobile version