Site icon Mahally

Implementasi Hifz al-Nafs dalam Pencegahan Bullying di Lingkungan Pesantren

Latar Belakang 

           Hifz al-Nafs merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat islam, selain hifz al-din (menjaga agama), hifz al-’aql (menjaga aqal), hifz al-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-maal (menjaga harta ). Tujuan hifz al-nafs adalah melindungi jiwa manusia dari segala bentuk ancaman, baik fisik maupun psikologis. Al-Qur’an secara eksplisit melarang tindakan yang dapat membahayakan jiwa, seperti dalam firman Allah swt ” dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh  Allah maha penyayang kepadamu ” (Qs. An-Nisa’ : 29).

         Bullying merupakan salah satu tindakan agresif yang disengaja dilakukan oleh sekelompok atau seseorang yang secara berulang ulang, dan dari waktu ke waktu terhadap seorang korban yang tidak dapat mempertahankan dirinya dengan mudah. Bullying tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik korban. Bullying dapat menimbulkan luka bathin, tekanan mental, dan bahkan trauma. Jelas hal tersebut bertentangan dengan hifz al-nafs.

         Pesantren sebagai pendidikan islam memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan akhlak generasi muda. Salah satu tantangan yang dihadapi pesantren di era modern ini adalah munculnya perilaku bullying di kalangan santri. Meski dikenal sebagai tempat pendidikan moral dan spiritual, realitas menunjukkan bahwa kasus bullying juga bisa terjadi di pesantren, baik dalam bentuk senioritas, perundungan verbal, maupun kekerasan fisik. Maka, segala bentuk kekerasan verbal, fisik, atau sosial dalam lingkungan pesantren wajib dicegah dan ditangani secrara serius.

Pembahasan 

          Hifz al-nafs secara etimologi berasal dari kata ”hifz” yang berarti menjaga atau melindungi, dan ”nafs” yang berarti jiwa atau diri. Dalam terminologi syari’ah, hifz al-nafs merujuk pada upaya perlindungan menyeluruh terhadap eksistensi manusia, baik secara fisik, psikologis, maupun spiritual. Konsep ini mencakup tiga tingkatan perlindungan, yaitu dlaruriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat (kebutuhan tersier).

         Al-qur’an memberikan landasan kuat bagi implementasi hifz al-nafs. Firman Allah swt dalam Qs. Al-Maidah:32 menegaskan bahwa ” barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” Ayat ini tidak hanya melarang pembunuhan fisik, tetapi juga segala bentuk tindakan yang dapat merusak jiwa dan martabat manusia.

         Jenis-jenis bullying yang biasa terjadi, di antaranya :

  1. Bullying verbal 

Bullying jenis ini menjadi bentuk paling umum yang dialami oleh santri, seperti ejekan dan pemberian nama panggilan yang merendahkan. 

Beberapa santri mengaku sering mendengar kata-kata yang menyinggung latar belakang daerah atau fisik dari santri lain. Misalnya, santri yang memiliki aksen bahasa daerah tertentu sering kali diejek dengan dialeknya.

2. Bullying sosial

Seperti halnya santri melaporkan pengalaman dikucilkan oleh teman-temannya, terutama saat kegiatan kelompok. Santri yang dianggap ” berbeda” ( misalnya karena penampilan atau kebiasaan yang berbeda ), sering kali tidak diikutsertakan dalam kelompok tertentu. Hal ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan terisolasi pada korban. 

3. Bullying fisik 

Meskipun lebih jarang, bullying fisik dalam bentuk dorongan atau kekerasan ringan juga banyak ditemukan. Biasanya, hal ini terjadi dikalangan santri junior yang baru memasuki pesantren, dimana santri yang lebih senior terkadang merasa memiliki.

         Implementasi hifz al-nafs dalam mencegah bullying di pesantren dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan : 

  1. Pendekatan karakter berbasis maqasid al-syari’ah 

Pesantren perlu menyisipkan nilai-nilai maqasid dalam kurikulum formal maupun non formal. Santri harus ditanamkan bahwa menjaga jiwa orang lain adalah bentuk ibadah dan penghormatan terhadap kemanusian. Nilain rohmatan lil alamin menjadi dasar untuk menumbuhkan kasih sayang dan empati antar santri.

2. Keteladanan dari pengasuh dan guru

Kiai dan ustadz memiliki posisi strategis sebagai teladan. Jika mereka menampilkan sikap yang lemah lembut, tidak otoriter, dan responsif terhadap keluhan santri, maka budaya kekerasan akan tergantikan oleh budaya saling menghargai dan melindungi.

3. Sistem pengawasan dan penanganan kasus

Pesantren harus memiliki sistem pelaporan dan penanganan kasus bullying. Untuk menyuarakan korban dan memberi pembinaan kepada pelaku.

4. Pemberdayaan nilai ukhuwah dan ta’awun

Lingkungan pesantren perlu dibangun berdasarkan ukhuwah (persaudaraan), dan ta’awun (tolong  menolong). Pembiasaan saling mendo’akan, berjama’ah, bekerja sama dalam kegiatan akan memperkuat ikatan sosial, dan mencegah terjadinya perundungan.

Kesimpulan:

Hifz al-nafs bukan sekedar konsep teoretis, melainkan prinsip moral, dan sosial yang wajib diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam lingkungan pesantren. Pencegahan bullying harus menjadi agenda bersama dengan pendekatan edukatif, preventif, dan solutif. Dengan menjadikan maqasid al-syari’ah sebagai pondasi pendidikan, khususnya prinsip hifz al-nafs, pesantren dapat menjadi tempat yang aman dan penuh rahmat bagi para pencari ilmu.



Exit mobile version