Krisis lingkungan global yang kita hadapi sekarang mulai dari perubahan iklim, kerusakan hutan, pencemaran, hingga punahnya berbagai spesies sebenarnya bukan hanya soal teknologi yang kurang canggih. Ada masalah lebih mendasar, yaitu cara manusia memandang alam. Beragam solusi teknis memang telah dilakukan, tetapi selama manusia masih memosisikan alam hanya sebagai sumber daya yang bisa diambil seenaknya, kerusakan akan terus berulang. Dalam konteks inilah, ekoteologi Islam menawarkan jalan keluar, mengembalikan kesadaran spiritual manusia agar kembali memuliakan alam sebagai ciptaan Tuhan.[1]
Konsep Ekoteologi Islam
Secara singkat, ekoteologi Islam memadukan ajaran tauhid dengan kesadaran ekologis. Ada tiga prinsip utama yang menjadi pijakannya:
- Tauhid: Konsep keesaan Allah menempatkan alam semesta sebagai bagian dari ciptaan-Nya yang memiliki nilai suci. Menjaga alam berarti menjaga amanah dari Sang Pencipta.
- Khalifah: Dalam Al-Qur’an, manusia ditunjuk sebagai khalifah di bumi. Ini bukan berarti manusia bebas mengeksploitasi, melainkan justru memikul tanggung jawab untuk merawat, mengatur, dan menjaga keseimbangan alam.
- Amanah: Segala yang ada di bumi adalah titipan yang suatu saat harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Karena itu, Islam sangat menentang tindakan merusak (fasad fil-ardh) dan perilaku hidup boros (israf). Prinsip ini juga mengajarkan keadilan bagi semua makhluk hidup, bukan hanya manusia.[2]
Akar Krisis Lingkungan: Krisis Spiritualitas
Seorang pemikir Muslim terkenal, Seyyed Hossein Nasr, pernah menekankan bahwa kerusakan lingkungan adalah cerminan dari krisis spiritual manusia modern. Saat manusia memisahkan diri dari nilai-nilai spiritual, alam hanya dipandang sebagai komoditas. Akibatnya, hubungan suci antara manusia dan alam terputus. Maka, solusi teknis saja tidak cukup, yang lebih penting adalah membangun kembali kesadaran bahwa bumi ini bukan semata milik manusia, tetapi milik Tuhan yang harus dijaga bersama.[3]
Fiqh Bi’ah: Rekonstruksi Etika Lingkungan dalam Islam
Dalam kerangka ekoteologi Islam, Fiqh Bi’ah (fiqh lingkungan) menjadi instrumen penting untuk mewujudkan nilai-nilai spiritual ke dalam tindakan nyata. Fiqh Bi’ah lahir sebagai respon atas tantangan modern di mana kerusakan lingkungan tidak bisa lagi dipisahkan dari perilaku manusia sehari-hari.
Konsep ini menegaskan bahwa segala bentuk aktivitas manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap alam, sebab bumi dan segala isinya adalah amanah. Ulama kontemporer berupaya merekonstruksi fiqh ini agar tetap relevan, termasuk dengan mengembangkan fatwa-fatwa yang mendukung pelestarian alam. Misalnya, larangan membuang sampah sembarangan, larangan penebangan hutan secara liar, anjuran untuk menghemat air dan energi, serta kewajiban menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Sebagaimana dijelaskan di banyak forum keagamaan, Fiqh Bi’ah tidak hanya berbicara soal hukum halal-haram, tetapi juga menuntun umat Islam untuk berprinsip pada keberlanjutan (sustainability). Praktik Fiqh Bi’ah harus bersifat kontekstual, menyesuaikan kondisi zaman, tanpa melepaskan ruh keadilan dan keseimbangan yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah.[4]
Implementasi Ekoteologi Islam dalam Kehidupan Sehari-hari
Prinsip ekoteologi dan Fiqh Bi’ah tidak berhenti pada tataran gagasan. Ia perlu diwujudkan dalam tindakan nyata, misalnya:
- Pendidikan dan Kesadaran Spiritual. Menanamkan nilai cinta lingkungan sejak dini sangat penting. Pesantren, masjid, dan lembaga pendidikan bisa berperan menumbuhkan kesadaran ekologis dengan memasukkan materi Fiqh Bi’ah dalam kurikulum keagamaan.
- Praktik Hidup Sederhana. Mengurangi sampah plastik, mendaur ulang barang, menanam pohon, atau berhemat energi adalah langkah kecil tapi nyata adalah perilaku nyata yang selaras dengan Fiqh Bi’ah.
- Kebijakan yang Adil dan Berkelanjutan. Pemerintah dan masyarakat perlu merumuskan aturan yang berpihak pada kelestarian alam. Ulama dan juga lembaga fatwa juga diharapkan mengeluarkan keputusan-keputusan yang mendukung kelestarian lingkungan.[5]
Peran Manusia sebagai Khalifah
Al-Qur’an mengingatkan, manusia adalah khalifah di bumi sebagaimana dalam Al-Qur’an Surah Al-Fatir ayat 39:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ فِى الْاَرْضِۗ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهۗ وَلَا يَزِيْدُ الْكٰفِرِيْنَ كُفْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ اِلَّا مَقْتًاۚ وَلَا يَزِيْدُ الْكٰفِرِيْنَ كُفْرُهُمْ اِلَّا خَسَارًا٣٩
Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. Siapa yang kufur, (akibat) kekufurannya akan menimpa dirinya sendiri. Kekufuran orang-orang kafir itu hanya akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka. Kekufuran orang-orang kafir itu juga hanya akan menambah kerugian mereka”.[6]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan mencegah kerusakan, seperti yang tertulis dalam Surah Al-Baqarah ayat 11 dan 205.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ(١١)
Artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi:” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ(٢٠٥)
Artinya: “Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan,”.
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab kekhalifahan manusia mencakup tanggung jawab ekologis yang melekat pada keimanan. Manusia diingatkan untuk belajar dari kehancuran umat-umat sebelumnya, agar lebih sadar diri, bersyukur atas nikmat Allah, dan mematuhi perintah-Nya. Memelihara kelestarian alam adalah bagian dari ibadah, sekaligus bukti syukur kepada Sang Pencipta.[7]
Sebagai Kesimpulan, krisis lingkungan bukan hanya masalah teknis, tetapi juga krisis spiritual manusia yang lupa akan tanggung jawabnya sebagai khalifah. Ekoteologi Islam dan Fiqh Bi’ah hadir mengingatkan kembali bahwa menjaga alam adalah amanah dan bagian dari ibadah. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran kolektif, pendidikan, serta kebijakan yang berpihak pada kelestarian. Dengan demikian, harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta dapat terjaga demi keberlanjutan hidup generasi mendatang.
[1] Adam Satria Nugraha dan Sholihul Huda, “Eko-Spiritualitas dalam Pemikiran Sayed Husein Nashr”, Al-Hikmah: Jurnal Studi Agama-Agama Vol. 10, No. 2 (2024): 134–142.
[2] Hesty Widiastuty dan Khairil Anwar, “Ekoteologi Islam: Prinsip Konservasi Lingkungan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Implikasi Kebijakannya”, Risâlah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam Vol. 11, No. 1 (2025), https://doi.org/10.31943/jurnal_risalah.v11i1.2149.
[3] Nurul Khoirona Seci Vella dan Derry Ahmad Rizal, “Ekoteologi dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan Relasi Agama-Masyarakat”, Al-I‘timad: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 2, No. 2 (Oktober 2024): 155,https://journal.ipmafa.ac.id/index.php/altimad/index.
[4] NU Online, “Rekonstruksi Fiqih al-Bi’ah,” diakses pada 1 Juli 2025, dari https://www.nu.or.id.
[5] Ibid
[6] Al-Qur’an, Surah Fathir [35]: 39, NU Online, https://quran.nu.or.id/fathir/39.
[7] Muhammad Rizky Mubarok dan Nasrulloh, “Interpretasi Kontekstual dalam Menangani Krisis Lingkungan: Kajian Surat Al-Baqarah Ayat 11 dan 205 dalam Tafsir Ibnu Katsir”, Holistik Analisis Nexus Vol. 2, No. 10 (Oktober 2024), https://doi.org/10.62504/nexus929.
Ekoteologi, prespektif islam tethadap lingkungan… Artikel Bagus…
Ayo menanam…Ayo lestarikan bumi..!