Tahqiqul Manath Sebagai Rekayasa Madzhab Manhaji Dalam Fiqh Sosial

Kolom Santri1183 Dilihat

Pendahuluan

Kiai Sahal merupakan salah satu Ulama yang selalu mengedepankan pentingnya kontekstualisasi fiqh, dengan tujuan untuk menjawab problematika masyarakat. Fiqh memiliki karakteristik yang unik, yaitu intervensi “samawi”, baik pada masa pembentukannya atau pada masa pengembangan. Artinya, fiqh tidak serta merta lahir dari dan untuk masyarakat atau lahir dari otoritas politik untuk masyarakat. Akan tetapi fiqh adalah disiplin ilmu yang unik, yang mampu memadukan unsur “samawi” dan kondisi aktual masyarakat di bumi, kondisi lokalitas dan universalitas serta unsur wahyu dan akal pikiran.[1] Sehingga untuk memadukan antara dua unsur ini, perlu adanya suatu metode yang mampu untuk menjawab problematika masyarakat, guna memenuhi usaha kontekstualisasi fiqh.

Telah diakui oleh banyak kalangan, bahwa salah satu tradisi warisan terbesar banga Indonesia ialah tradisi pengajaran agama islam. Hal ini dapat ditunjukkan dengan suatu yang disebut dengan “tradisi pesantren”. Tradisi ini memiliki peran untuk mentransmisikan ajaran islam tradisional lewat “kitab kuning”, yang merupakan kurikulum utama dan hadirnya sebagai syarat dalam tradisi pesantren.[2] Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh De Greaf bahwa pondok pesantren, atau apapun yang sejenis dengannya, seperti surau, dayah atau yang memiliki nama lain, itu memiliki peran terpenting setelah masjid.[3] Secara tidak langsung, lembaga pendidikan keagamaan yang ada sejak sebelum penjajahan dan pasca penjajahan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap tradisi intelektual Indonesia. Sifatnya yang mengajarkan filsafat hidup dan ajaran keagamaan memiliki andil untuk menciptakan budaya beragama yang santun, penuh dengan kasih sayang di Nusantara ini.[4]

Fiqh dan Karakteristiknya

            Fiqih secara terninologi adalah ilmu yang membahas hukum-hukum yang berhubungan dengan seorang mukallaf. Dengan bahasa lain, fiqh adalah kumpulan hukum islam atau yurisprudensi dalam islam. Sebagai kompendium (kumpulan) yurisprudensi dalam islam, ia memiliki sistematika dan karakteristik tersendiri. Konsekuensinya, untuk menetapkan suatu hukum, dalam literatur islam, fiqh dibantu dengan disiplin ilmu ushul fiqh, yang merupakan kumpulan kaidah-kaidah untuk menetapkan hukum fiqh. Di sisi lain kita juga dikenalkan dengan “Kaidah-kaidah” Fiqhiyyah yang berisi tentang kaidah aghlabiyyah (umum) yang juga digunakan untuk penetapan hukum.[5] Artinya sistematika dan seperangkat penalaran yang disuguhkan oleh ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah sebenarnya adalah sarana penunjang kontekstualisasi fiqh.

            Tidak jarang sebagian kaum muslimin melihat fiqh sebagai perangkat yang formal. Mereka terjerat pada asumsi formalistik yang disuguhkan fiqh, bahkan sebagiannya lagi menganggap bahwa fiqh tak ubahnya seperti “Al-Qu’an”, ia dianggap sebagai kitab suci setelah Al-Qur’an. Jika kita selalu terjebak pada pola pemikiran formalistik ini, dikhawatirkan masyarakat akan kabur dari fiqh itu sendiri, karena jika urusan masyarakat tidak terjiwai dengan fiqh, sungguh mereka sedang menjauh dari fiqh itu sendiri. Usaha kontekstualisasi fiqh sebenarnya bukanlah usaha untuk meninggalkan dan menanggalkan fiqh secara mutlak. Sebaliknya, dengan usaha ini urusan dan perilaku masyarakat akan lebih terjiwai dengan fiqh secara konseptual dan strategis, lebih-lebih merupakan usaha pengembalian urusan masyarakat ke rel fiqh.[6]

Aplikasi Tahqiqul Manath Dalam Sebuah Kasus

Untuk menyuguhkan fiqh yang konseptual dan strategis, dalam ushul fiqh kita dikenalkan salah satu metode yang disebut dengan “tahqiqul manath”. Istilah ini pertama kali disodorkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa-Nya.[7]Adalah Imam As-Subki yang mencoba memberikan pengertian “tahqiqul manath”, yaitu penetapan suatu ‘ilat dalam sebuah kasus.[8] As-Subki menuliskan konsep tahqiqul manath ini dalam salah satu cara penetapan ‘ilat dalam qiyas.[9]Oleh Imam Asy-Syathtibi tahqiqul manath diberikan sebuah devinisi yang lebih luas, yaitu proses spesifikasi hukum yang telah ditetapkan oleh sebuah dalil pada mahallul hukmi (objek hukum, yaitu mukallaf). [10] Sebagai pakar maqoshid, Al-Ghozali maupun Asy-Syathibi mencoba untuk memberikan konsep tahqiqul manath tidak hanya pada tataran penetapan ilat qiyas, lebih dari itu, tahqiqul manath dikembangkan sebagai sebuah cara (analisa) dalam menetapkan hukum pada sebuah persoalan (problematika) masyarakat. Lebih dari itu “Asy-Syathibi” memaparkan bahwa salah satu ijtihad penetapan hukum pada mukallaf ialah lewat “Tahqiqul manath.”[11]

            Setelah menjabarkan pengertian tahqiqul manath, saatnya penulis akan menjelaskan cara pengaplikasian metode ini untuk mentransformasikan hukum fiqh pada sebuah kasus. Di sini penulis akan menggunakan pendekatan yang telah dikontruksikan oleh Al-Ghazali dalam Mustashfa-nya. Dalam pengoprasian tahqiqul manath, Al-Ghazali menggunakan silogisme kategoris. Jelasnya adalah Ghazali meminjam istilah “An-Namath Al-Awal”. Misalnya pernyataan “setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram” diletakkan sebagai muqoddimah kulliyah dan perkataan “minuman arak hukumnya memabukkan” sebagai muqoddimah juz’iyyah. Proposisi muqoddimah kuliyah dihasilkan dari dalil-dalil syariat yang mu’tabar. Sementara proposisi muqoddimah juz’iyyah merujuk dari hasil analisa seseorang dengan menggunakan perangkat pengathuan yang relevan dan dapat menguakn bahwa “minuman arak” adalah yang memabukkan.[12]

            Dari paragraf ini dapat dikatakan bahwa posisi tahqiqul manath sebagai kontekstualisasi fiqh berada pada tataran muqoddimah juz’iyyah. Dari contoh tersebut, jika ternyata penelitiannya menyatakan bahwa “minuman arak” terkonfirmasi memabukkan, maka natijah (hasil) fatwa (dalam bahasa sederhana analisa) tersebut adalah “minuman arab memabukkan”. Jika sebaliknya, bahwa minuman arak terkonfirmasi negativ memabukkan, maka aplikasi dan penetapan hukum tersebut tidak bisa diterapkan. Dalam analisa tahqiqul manath terhadap suatu kasus, seorang harus menggunakan seperangkat pengetahuan yang sesuai dengan objek yang akan dikaji.[13] Perangkat pengetahuan (nadhoriyyat) tersebut ternyata telah diinformasikan oleh Ghazali sendiri dalam kitabnya yang lain, yaitu “Asasul Qiyas”. Perangkat pengetahuan yang dimaksud ialah:

  1. Perangkat analisa dengan alat bantu kebahasaan (nadhoriyah lughowiyyah).
  2. Perangkat analisa yang bersifat adat-kebiasaan (nadhoriyyah ‘urfiyyah),
  3. Perangkat analisa dengan alat bantu ilmu logika (nadhoriyyah ‘aqliyyah).
  4. Perangkat analisa dengan pendekatan pancaindera (nadhoriyyah hissiyah).
  5. Perangkat analisa dengan alat bantu ilmu fisika (nadhoriyyah thobi’iyyah).[14]

Dalam tulisan ini penulis tidak menjelaskan aplikasi tahqiqul manath dengan salah satu dari lima analisa tersebut, cukup dengan merujuk pada kitab tersebut. Dalam kitab tersebut Al-Ghazali mencoba untuk menyederhanakan bahwa analisa fiqh (nadhor fiqhi) itu sebenarnya hanya tercakup pada dua metode analisa, pertama diistilahkan olehnya dengan sebutan “tahqiqul manath”[15] dan kedua disebut dengan “tahqiqul manath”. Analisa pertama dimaksudkan untuk penetapan ilat pada nas. Sedangkan tahqiqul manath adalah analisa wujud manath (tempat bergantung)nya hukum.[16]Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa analisa tahqiqul manath adalah salah satu metode kontekstualisasi hukum fiqh pada sebuah kasus, berikut dengan salah satu dari lima perangkat tersebut, atau bahkan lebih dari satu.

Sebelumnya penulis menyatakan bahwa “muqoddimah kulliyah” adalah seperangkat dalil-dalil syariat. Muqoddimah kulliyah inilah yang dimaksud dengan konsep kulli (dasar) fiqh. Konsep dasar yang telah ditetapkan dalam madzhab sifatnya adalah tetap, tidak bisa berubah. Lalu apakah yang dituliskan dan ditetapkan oleh ulama dalam kitab-kitab fiqh itu sepenuhnya adalah muqoddimah kulliyah, dalam bahasa lain, apakah semuanya tidak bisa berubah. Atau ada pernyataan-pernyataan yang tidak bisa dikatakan sebagai “fiqh”. Adalah Imam Al-Qorrofi yang telah memberikan rambu-rambu yang dimaksud dengan fiqh. Rambu-rambu ini sifatnya permanen, tidak bisa berubah. Rambu-rambu itu olehnya disebut sebagai madzhab fiqh, yang selanjutnya disebut sebagai hukum fiqh, yang dibatasinya hanya pada lima bagian:

  1. hukum-hukum syar’iyyah-furû’iyyah-ijtihâdiyyah. Syar’iyyah artinya bukan ‘aqliyyah, hissiyyah atau hukum lain selain ketetapan syariat. Hukum syar’iyyah adalah hukum wajib, nadb (sunnah), ibahah (kebolehan), haram, dan makruh. Furû’iyyah artinya bukan aqidah atau ushul fiqih. Ijtihâdiyyah artinya bukan hukum yang sudah maklum secara dlaruri (pasti).
  2. Ketetapan sebab sebuah hukum.
  3. Ketetapan syarat sebuah hukum.
  4. Ketetapan tentang mâni’ sebuah hukum.
  5. Ketetapan tentang hujjah-hujjah yang dapat menetapkan sebab, syarat, dan mâni’ tersebut dalam kaitan diterimanya di pengadilan. Bagian pertama dikenal dengan hukum syar’iyyah-taklîfiyyah. Sementara bagian kedua, ketiga dan keempat juga kelima dikenal dengan istilah hukum syar’iyyah wadh’iyyah.[17]

Hal ini bisa disimpulkan bahwa kesempatan seorang melakukan aktualisasi fiqh ialah pada selain lima aspek tersebut. Aspek-aspek penentu yang mengonfirmasikan sebuah masalah dihukumi dengan “fiqh”, harus tidak lepas dari analisa yang telah dituliskan Al-Ghazali di atas. Jadi dalam tahqiqul manath yang menjadi syarat utama adalah pengetahuan atas masalah yang dibahas (waqi’ah) dengan utuh dan detail. Pengetahun ini bukanlah pengetahuna akan hukum fiqh, melainkan pengetahuan atas tashawwur mas’alah (gambaran problematika). Pengetahun ini dapat merujuk pada para ahli di bidang objek yang sedang dikaji (ahlul khibroh atau ahlul ma’rifat). [18]

Kesimpulan

            Perubahan sosial sejalan dengan perkembangan alih teknologi dan sistem ekonomi serta kemajuan aspek-aspek kehidupan lainnya, merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, keberadaannya akan selalu ada. Hal ini meniscayakan akan suatu panduan ruhaniah yang memiliki relevansi erat dan melekat dengan masalah nyata yang akan terus menerus muncul seiring dengan keniscayaan perkembangan nilai dan budaya. Apabila fiqh kita tidak mampu untuk melayani kebutuhan pokok ini dengan pendekatan kontekstual yang dinamis dan strategis, dapat dipastikan umat manusia akan terjauhkan nilai-nilai transcendental yang pada gilirannya akan memunculkan watak sekular, lebih-lebih anti fiqh. Padahal, seperti yang telah dicontohkan oleh mereka yang mengalaminya, tiada kebahagiaan hakiki yang diraih dalam watak dan sikap seperti itu.

            Namun demikian, usaha kontekstualisasi fiqh untuk melayani masyarakat dengan watak strategis dan dinamis, menuntut kita (para pengembang fiqh) untuk memiliki watak budimensional, (yaitu berdimensi kesakralan dan keduniawian) fiqh. Untuk itu, tahqiqul manath dalam disiplin ushul fiqh hadir untuk menjawab problem kontekstualisasi fiqh ini. Ia menawarkan cara berfikir dengan kerangka analisa dua muqoddimah, yakni muqoddimah kulliyah danmuqoddimah juz’iyyah. Proporsi muqoddimah kulliyah merupakan rambu-rambu dari cara berfikir pada dimensi kesakralan, karena sifatnya yang tidak dapat dirubah, yaitu fiqh pada tataran konsep. Lalu hadirnya muqoddimah juz’iyyah merupakan isyarat dari fiqh yang berwatak keduniawian, karena sifatnya yang bersinggungan langsung dengan kondisi aktual masyarakat (mukallaf).

            Dengan rambu-rambu yang telah dijelaskan oleh Al-Qorrofi di atas, memberi pengertian bahwa fiqh pada tataran konsep -yang jumlahnya ada lima- adalah fiqh yang hadir pada dimensi samawi, tidak dapat dirubah. Selainnya, mulai dari kondisi sosial, ekonomi, politik, teknologi dan yang melingkupinya merupakan konsep yang bisa berubah-rubah. Dan inilah kesempatan kita untuk mengembangkan fiqh secara konteks dan dinamis. Dengan tahqiqul manath ini, seseorang bisa melakukan ijtihad (secara lughowi) untuk melayani dan memberikan jawaban atas problematika sosial yang dihadapinya. Oleh karenanya, dalam Ma’had Ali kami, selain mengkaji dan mendalami ushul fiqh sebagai basis istinbathul ahkam, fiqh sosial Kiai Sahal hadir sebagai metodologi (manhaj) untuk menyikapi problematika masyarakat modern.

Wallahu a’lam

[1] Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hlm. Xxiv.

[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Study tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982).

[3] Pegeaud, 1967, de greaf & pegeaud, 1974.

[4] Marzuki Wahid, “Ma’had Aly: Nestapa Tradisionalisme dan Tradisi Akademik yang Hilang”, hlm. 46.

[5] Ibid, 22-23.

[6] Ibid, 23-24

[7] Hal ini telah disebutkan oleh Imam Ar-Rozi dalam Mahshulnya, yang menyatakan bahwa tahqiqul manath, takhrijul manath dan tanqihul manath adalah istilah-istilah yang disodorkan pertama kali oleh Imam Ghzali.

[8] Oleh Imam Baidhowi, devinisi tahqiqul manath lebih dipertajam lagi, yaitu meneliti dan menetapkan ilat yang telah disepakati pada sebuah far’ (kasus fiqh). Ilat yang telah disepakati ini tidak hanya pada nas dan ijma’, lebih dari itu, yaitu sembilan cara (masalikul ‘ilat) yang telah ada. Penetapan ini tidak serta merta dikatakan sebagai qiyas, melainkan disebut sebagai “perealisasian hukum kulli pada far’ (juz’i). (lihatlah catatan kaki kitab muwafaqot cetakan DKI Lebanon, tahun 1441 H).

[9] Cara penetapan ilat dalam qiyas disebut dengan istilah “masalikul ilat”. As-Subki menuliskan tahqiqul manath sebagai salah satu penetapan ilat itu sebenarnya memang sesuai dengan pembahasannya. Padahal oleh Imam Ghazali, Tahqiqul manath tidak hanya sebagai konsep untuk penetapan ilat, akan tetapi lebih dari itu. Tahqiqul manath sendiri merupakan istilah yang digunakan setelah seorang mujtahid melakukan dua proses, yaitu takhrijul manath dan tanqihul manath. Sehingga “Takhrijul Manath dan Tanqihul manath” merupakan tugas dari Mujtahid, sedangkan “Tahqiqul Manath” dapat dilakukan oleh seorang muqollid, mutafaqqih atau mufti. Lihatlah hasyiyah athor ala syarhil mahalli ala jam’il jawami’, Vol. 2, hlm. 337.

[10] Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-Muwafaqot Fi Ushulil Fiqhi, (Berut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1441 H), hlm. 775.

[11] Tentu ijtihad ini merupakan ijtihad secara bahasa saja, yaitu pengerahan usaha untuk sebuah hasil yang dituju. Usaha-usaha dalam tahqiqul manath ini adalah lewat nadhor (analisa). Bukan ijtihad secara istilah, yang memerlukan syarat dan usaha yang sangat ketat. Ibid, hlm. 774.

[12] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa, (Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2022), hlm. 53-55.

[13] Dalam kitab Anwarul Bashoir, KH. Sahal Mahfudz “Anwarul Bashair” memberi sebuah catatan (ta’liq) dengan mengutip komentar KH. Zubair Dahlan, Sarang. Kiai Sahal secara tidak langsung telah melakukan kontekstualisasi fiqh lewat pendekatan tahqiqul manath. Yaitu dalam bab jenis-jenis pengakuan yang harus ditolak (da’awi kadzibah), yang disebutkan Imam Suyuthi dalam Asybah wan Nadhair. Di antaranya adalah masalah pengakuan seseorang yang berada di Makkah, bahwa ia telah menikahi perempuan di Bashrah di hari kemarin, dianggap dusta sebab pengakuan tentang hal seperti itu saat itu adalah tidak mungkin secara adat kebiasaan di zaman itu. Kiai Sahal dalam ta’liqnya menyatakan : “peristiwa tersebut mustahil adalah jika dilihat pada zaman dahulu. Tapi tidak pada zaman sekarang. Sebagaimana telah jelas diketahui.” Artinya hukum fiqhnya tetap berlaku, bahwa “sumpah dusta hukumnya ditolak secara fiqh”, sedangkan “contoh” yang disampaikan As-Suyuthi tidaklah fiqh, melainkan hanya contoh saja, yang dapat salah atau tidak tepat jika keadaan yang melingkupinya telah berubah. (lihatlah Anwarul Bashoir, hlm. 482).

[14] Abu hamid Al-Ghazali, Asasul Qiyas, (Riyadh: Maktabah Al-‘Abikan, 1993 M), hlm. 37-42

[15] Dalam kitab Mustashfa-nya, Al-Ghozali mengonfirmasi bahwa analisa fiqh (ijtihad) tidak hanya dua hal tersebut. Dia melengkapi perangkat ijtihad yang ketiga, yaitu “takhrijul manath”. (Lihatlah catatan kaki kitab asasul qiyas dalam bab ini).

[16] Ibid, 37-38.

[17] Al-Qorrofi, Al-Ihkam fi Tamyizil Fatawa Anil Ahkam wa Tasorrufatil Qodhi Wal Imam, (Lebanon: Darul Basyair Al-Islamiyyah, 1995), hlm. 191-194.

[18] Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-Muwafaqot Fi Ushulil Fiqhi, hlm. 820-821.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *