Perempuan telah memainkan peran krusial dalam peradaban sejak zaman dahulu hingga era modern. Keberadaan mereka tidak hanya terbatas pada peran domestik, tetapi juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Di berbagai peradaban, perempuan telah menjadi pemimpin, ilmuwan, seniman, dan pejuang yang membawa perubahan bagi masyarakat.
Peran perempuan bukan sekedar pelengkap, tetapi merupakan pilar utama dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Dengan pendidikan yang baik, akses terhadap kesempatan yang setara, dan dukungan dari lingkungan sosial, perempuan dapat terus berkontribusi dalam membentuk peradaban yang lebih maju dan berkeadilan. Dengan begitu, pendidikan menjadi aspek paling penting bagi Perempuan.
Pendidikan sendiri merupakan sarana untuk meningkatkan kecerdasan bangsa serta mengantarkan bangsa menuju era pencerahan dan kemajuan. Pendidikan juga merupakan pondasi bagi perubahan jangka panjang dan tonggak kuat untuk membangun peradaban. Dalam proses pendidikan aspek kognitif Perempuan menjadi terasah sehingga Perempuan dapat berfikir rasional tidak hanya mengedepankan perasaanya saja. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Kartini tokoh pelopor emansipasi wanita bahwa dalam rangka melepaskan belenggu yang melilit Perempuan, pendidikan sekolah merupakan sarana yang paling memungkinkan untuk Perempuan agar seimbang dengan laki-laki dalam hal intelektualitasnya.
Di dalam Al-Qur’an surah Al Hujurat ayat 13 dijelaskan untuk sampai pada derajat Muttaqun Islam tidak membedakan antara jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Kemudian dalam surah Al Nahl ayat 97 antara laki-laki dan Perempuan pada konteks hamba akan mendapatkan penghargaan dari Allah sesuai dengan kadar pengabdiannya. Dengan demikian Perempuan juga memiliki peluang yang besar dalam membangun peradaban Islam melalui pendidikan karena Perempuan sebagai wasilah lahirnya sumber daya yang berkualitas.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, jumlah guru Perempuan di Indonesia mencapai 61% (1.062.225) dan laki-laki 395 (517.982). Melalui data tersebut kontribusi Perempuan dalam pendidikan lebih dominan ketimbang laki-laki. Ihwal ini dapat menjadi indikasi baik dengan makin terbukanya akses Perempuan dalam sektor publik. Namun, realitanya banyak tantangan yang harus dilewati bagi seorang pendidik terutama Perempuan.
Beberapa tantangan tersebut timbul dari adanya ketidaksetaraan dan stereotip berdasarkan jenis kelamin. Tidak hanya itu saja guru perempuan juga kerap kali mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 kasus yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual sebanyak 26.94% (17.305). Dalam konteks gender perempuan yang berprofesi sebagai guru sering kali harus menanggung sendiri tanggung jawab domestik setiap harinya. Kondisi tadi secara tidak langsung membatasi perempuan dalam mengakses pendidikan atau penguatan kapasitas. Berdasarkan hasil survei tentang tenaga pendidik di NTB, jumlah perempuan yang menjadi kepala sekolah ditingkat dasar hanya 30% dan madrasah hanya 15%, karena masih banyaknya persepsi yang mempertanyakan kepemimpinan perempuan. Realitanya dalam survei tersebut ditemukan bahwa guru perempuan lebih unggul dalam hal literasi dan manajemen.
Disisi lain Deputi Bidang Kesehatan Gender Kemem PPPA Lenny N. Rosalin menyatakan bahwa perempuan makin berdaya ketika mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki proses strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pernyataan tersebut didukung dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) saat ini, yang semula 76,59 (2022) menjadi 77,62 (2024). Adanya pernyataan tersebut memunculkan perspektif mengenai idealisme peran perempuan melalui politik dalam membangun sebuah peradaban Islam.
Politik dalam esensinya, adalah mekanisme utama yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang berdampak luas pada masyarakat. Politik menjadi arena tempat berbagai kepentingan bertemu, bernegosiasi, dan beradu gagasan guna mencari solusi terbaik bagi kepentingan bersama. Sedangkan hak berpolitik merupakan hak asasi manusia, dimana semua orang diperbolehkan berkontribusi baik perorangan maupun kelompok, berupa ikut serta dalam pemilu dan hak untuk menduduki jabatan politik.
Namun, dalam perspektif perempuan, politik bukan hanya tentang pengambilan keputusan yang berdampak luas, tetapi juga tentang bagaimana keputusan tersebut memengaruhi kehidupan perempuan dalam berbagai aspek, dari akses terhadap pendidikan, kesehatan, hingga kesempatan kerja dan partisipasi dalam pemerintahan. Dalam pandangan mayoritas ahli fiqh konservatif peran politik dalam arti amar ma’ruf nahi munkar laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Asy-Syura (42):38 yakni dalam menghadapi persoalan dunia yang pelik laki-laki dan Perempuan diperintah untuk bermusyawarah agar tercapai kemaslahatan. Karena musyawarah membawa kepada kebenaran dan petunjuk, maka Allah akan memuji mereka tanpa menyebutkan batasan musyawarah tertentu. Ini menunjukan bahwa musyawarah adalah nilai mulia dalam semua urusan.
وَإِذْ قَدْ كَانَتِ الشُّورَى مُفْضِيَةً إِلَى الرُّشْدِ وَالصَّوَابِ وَكَانَ مِنْ أَفْضَلِ آثَارِهَا أَنِ اهْتَدَى بِسَبَبِهَا الْأَنْصَارُ إِلَى الْإِسْلَامِ أَثْنَى اللَّهُ بِهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ دُونَ تَقْيِيدٍ بِالشُّورَى الْخَاصَّةِ الَّتِي تَشَاوَرَ بِهَا الْأَنْصَارُ فِي الْإِيمَانِ وَأَيُّ أَمْرِ أَعْظَمُ مِنْ أَمْرِ الْإِيمَانِ.
Atas dasar itulah dapat disimpulkan bahwa setiap orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan pandanganya termasuk dalam berpolitik.
Dalam sejarah Islam, beberapa perempuan berkontribusi besar terhadap keputusan politik yang membentuk masyarakat. Aisyah binti Abu Bakar, dikenal sebagai seorang cendekiawan Islam, juga berperan dalam menyampaikan dan menginterpretasikan hadis-hadis Nabi. Selain itu, ia terlibat dalam peristiwa politik yang mempengaruhi jalannya pemerintahan Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad, termasuk dalam Perang Jamal, yang menandai dinamika kepemimpinan dalam sejarah Islam.
Sedangkan pada peradaban modern banyak perempuan Muslim yang aktif dalam politik dan pemerintahan di berbagai negara, memperjuangkan hak-hak sosial serta kesejahteraan masyarakat. Contohnya, Benazir Bhutto menjadi perdana menteri Pakistan dan membawa perspektif baru dalam kebijakan yang lebih inklusif, sementara banyak aktivis perempuan di dunia Muslim mendorong reformasi hukum yang lebih berpihak pada kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.
Namun, dibalik itu perempuan sering kali menghadapi berbagai tantangan dalam dunia politik, baik dalam hal representasi maupun kebijakan yang berpihak kepada mereka. Meskipun telah banyak kemajuan, hambatan struktural masih ada, seperti stereotip gender yang menganggap kepemimpinan sebagai domain laki-laki dan kurangnya dukungan bagi perempuan yang ingin berpartisipasi dalam ranah politik. Hal itu dibuktikan dengan adanya data mengenai keterwakilan perempuan dalam lembaga eksekutif dan legislatif, Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan keterwakilan perempuan sebanyak minimal 30%.
Kendati demikian, perempuan bukan hanya objek dari kebijakan politik mereka adalah agen perubahan yang memiliki kapasitas untuk memengaruhi kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Ketika perempuan memiliki ruang lebih besar dalam pengambilan keputusan, perspektif yang beragam dapat terwakili, terutama dalam kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga, kesetaraan upah, hak reproduksi, dan perlindungan dari kekerasan berbasis gender.
Dengan begitu, dalam membangun peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin tidak bisa tercapai hanya dengan mengandalkan satu aspek saja, melainkan memerlukan sinergi antara pendidikan dan politik. Lewat pendidikan perempuan membentuk kesadaran, pola pikir, dan nilai-nilai kritis dalam masyarakat. Dari sanalah lahir generasi yang peduli terhadap keadilan, demokrasi, dan pembangunan berkelanjutan. Namun, sebaik apa pun sistem pendidikan, tanpa dukungan kebijakan politik yang berpihak, perubahan itu akan berjalan lambat bahkan bisa terhambat.
Sebaliknya, politik yang sehat membutuhkan fondasi masyarakat yang terdidik. Tanpa masyarakat yang melek pendidikan, politik mudah diselewengkan, dipenuhi kepentingan sempit, dan kehilangan akarnya dalam aspirasi rakyat. Karena itu, pendidikan melahirkan warga negara yang sadar politik, dan politik yang baik menciptakan kebijakan pendidikan yang berkualitas.
Keduanya saling melengkapi. Jika pendidikan adalah api perubahan dari bawah, maka politik adalah alat untuk mewujudkan perubahan dari atas. Maka, hanya dengan memperkuat keduanya secara seimbang, kita bisa mendorong transformasi yang menyentuh akar persoalan dan bertahan dalam jangka panjang.
Syifa Nur Aulia, Santri Aktif Semester 5.