Dalam Islam, pernikahan memiliki tujuan mulia yang salah satunya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”
Kehadiran anak dalam rumah tangga dipandang sebagai karunia Allah yang menyempurnakan ikatan pernikahan. Namun, ketika infertilitas menimpa salah satu atau kedua pasangan, kondisi ini seringkali memicu disharmoni yang dapat mengancam keutuhan rumah tangga. Padahal, pernikahan pada hakikatnya adalah sebuah ibadah yang seharusnya menjadi ladang amal shalih dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian, apakah cinta harus berbuah keturunan agar dianggap sah?
Di tengah masyarakat yang memandang anak sebagai simbol keberhasilan pernikahan, infertilitas menjadi ujian yang tak hanya biologis, tapi juga spiritual dan sosial. Dengan angka infertilitas mencapai 10–15% di Indonesia, banyak pasangan terjebak dalam dilema antara mempertahankan ikatan atau mengejar harapan baru.[1] Hal ini menjadi tantangan besar bagi hukum Islam sebagai sistem normatif yang menjadi rujukan banyak pasangan Muslim.
Pengertian Infertilitas
Menurut WHO (Wordl Health Organization) menyebutkan bahwa infertilitas adalah penyakit pada sistem reproduksi pria dan wanita yang ditandai dengan kegagalan mencapai kehamilan setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa pelindung, baik dalam menunggu kehamilan atau dalam penantian pembuahan kembali setelah berhasil dibuahi. Terdapat dua jenis infertilitas, yaitu:
- Infertilitas Primer
Kondisi dimana pasangan belum berhasil memiliki anak sesudah 1 tahun berhubungan seksual secara rutin tanpa memakai alat kontrasepsi dalam bentuk apapun. Infertilitas primer dapat terjadi pada wanita atau pria. Penyebabnya adalah masalah sistem reproduksi seperti PCOS, penyumbatan saluran tuba dan sebagainya. Sedangkan pada pria biasanya disebabkan karena rendahnya jumlah sperma atau kualitas sperma yang kurang baik.
- Infertilitas Sekunder
Kondisi ini mengarah kepada pasangan yang sudah memiliki anak sebelumnya namun belum bisa memiliki anak lagi setelah satu tahun berhubungan seksual secara rutin tanpa memakai alat kontrasepsi apapun. Hal ini juga bisa dialami pria dan Wanita, penyebabnya adalah sperma, kerusakan tuba falopi, masalah dengan pelepasan sel telur dari ovarium, kondisi rahim dan lain sebagainya.[2]
Infertilitas merupakan problematika kesehatan reproduksi yang tidak hanya berdampak medis, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sosial dan psikologis yang kompleks dalam kehidupan rumah tangga. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia, distribusi penyebab infertilitas menunjukkan bahwa perempuan memiliki kontribusi terbesar dengan persentase 40-50%, diikuti pria sebesar 30%, dan 20-30% sisanya disebabkan oleh faktor lainnya. Dampak yang ditimbulkan dari kondisi ini tidak terbatas pada aspek fisik semata, melainkan meluas pada stigma sosial, gangguan psikologis, dan yang paling krusial adalah ketegangan dalam hubungan suami istri.
Untuk menghadapi dilema ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dengan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah) berdasarkan prinsip Maqashid Syari’ah untuk menemukan solusi yang tidak hanya sejalan dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga memperhatikan realitas kehidupan kontemporer yang dihadapi pasangan suami istri.
Konsep Maqashid Syari’ah
Maqhasid al-Syar’iyyah secara bahasa merupakan gabungan dari kata maqashid dan al-Syar’iyyah. Kata maqashid adalah bentuk jamak dari lafadz qasdu yang berarti maksud-maksud/beberapa tujuan. Sedangkan lafadz al-Syar’iyyah secara bahasa merujuk pada mauridu al-syaari’, yang artinya jalan yang dipilihkan oleh pembuat syari’at yakni Allah SWT. Adapun menurut Ibn al-Manzhur maqashid dapat diartikan istiqamah al-thariq (keteguhan pada suatu jalan) dan al-I’timad (sesuatu yang menjadi tumpuan), sebagai misal Allah menerangkan jalan yang lurus dan menyeru manusia untuk mengikuti jalan tersebut.[3]
Dalam bukunya Dlowabith al-Maslahah syekh ramdhan al-buthi menerangkan bahwa maqashid al-syar’iyah (tujuan syari’at) Allah dan Rasulnya dalam penciptaan-nya termuat pemeliharaan terhadap lima hal pokok, yakni: hifdz ad-din, hifdz an-nafs, hifdz al-aql, hifdz an-nasl, hifdz al-mal. Imam al-Ghazali dan asy-Syathibi menyepakati bahwa lima hal pokok di atas merupakan dasar-dasar dan tujuan syari’at yang harus dijaga. Para ulama menyebut lima hal pokok tersebut dengan al-kulliyat al-khams.
Dalam penerapannya al-kulliyat al-khams berlaku sesuai dengan urutanya. Artinya, hifdz ad-din (memelihara agama) didahulukan dari pada hifdz an-nafs (memelihara jiwa), dan hifdz an-nafs (memelihara jiwa) didahulukan dari pada hifdz al-aql (memelihara akal), begitupun seterusnya. Kemudian semua hal yang berkaitan dengan al-kulliyat al-khams disebut dengan maslahat begitu pula sebaliknya semua hal yang bertujuan menghilangkan terhadap al-kulliyat al-khams disebut dengan mafsadat. Dengan demikian dapat diambil contoh bahwa maslahah yang lebih tinggi/lebih penting harus didahulukan dari pada maslahat di bawahnya.
Selanjutnya, cara menjaga al-kulliyat al-khams dibagi menjadi tiga tahap sesuai dengan urgensinya, diantaranya: al-maslahah al-dharuriyah, al-maslahah al-hajiyyah, dan al-maslahah al-tahsiniyyah. Dan kelima hal pokok tersebut harus ada dalam kehidupan manusia, dengan kata lain keberadaan hal tersebut sangat dibutuhkan oleh seluruh manusia di dunia. Sehingga, masuk dalam al-maslahah al-dharuriyyah, jika usaha yang dilakukan menjamin secara langsung pada kemaslahatan.[4]
Dalam konteks perceraian, infertilisasi menjadi salah satu alasan penggugatan cerai suami kepada istri. Namun, jika kita melihat narasi fikih klasik cerai dengan alasan infertilisasi bukan sebagai penyebab rusaknya sebuah pernikahan. Statemen ini dijelaskan dalam kitab
Syarh Mukhtaṣar al-Ṭahāwīdi bahwa,
(ولا يفسخ النكاح بعيب في المرأة في قول أصحابنا جميعا)
وروي نحوه عن علي وروي عن عمر أنه قال: «يرد من أربع الجنون، والجذام، والبرص، والرتق، فيما أحسب
والحجة لقولنا: أن المعقود عليه من جهة المرأة هو التسليم، وهو موجود مع هذه العيوب، والدليل على صحة ذلك: جواز نكاح المجبوب، مع عدم الوطء رأسا، وفساد نكاح ذوات المحارم، لأجل عدم التسليم.
Artinya: Tidaklah rusak ikatan pernikahan disebabkan karena terdapat aib pada seorang perempuan. Sebagaimana Diriwayatkan dari ‘Umar ra. berkata: dikembalikan dari empat yaitu: gila, kusta, lepra, penyakit kulit, dan yang sejenisnya.Argumen dari pernyataan tersebut adalah: Sesungguhnya yang mengikat istri dengan suami jika dilihat dari sisi sang istri ialah al-Taslīm (persetujuannya), dan hal ini ada dengan keberadaan aib yang ada pada istri. Dan dalil atas diperbolehkannya hal ini adalah: diperbolehkannya menikahani al-Majbūb (laki-laki yang terpotong zakarnya), bersamaan dengan ketidakmampuan untuk jimak. Dan rusaknya sebuah pernikahan disebabkan karena menikahi orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram), karena tidak ada persetujuan.[5]
Demikian, apabila melihat dari perspektif maqoshid al-Syari’ah infertilitas harus dipahami dengan mempertimbangkan tujuan utama diturunkannya syari’at yakni tercapainya kemaslahatan. Kemaslahatan dapat dicapai dengan memenuhi al-kulliyat al-khams, dengan penjabaran sebagai berikut:
- Hifz al-Din (Menjaga Agama)
Pernikahan adalah salah satu langkah dalam menjaga agama, sebab menikah dapat menyempurnakan separuh dari agama. Sehingga dari pernikahan tersebut menjadi penyemangat untuk menjalankan ibadah. Tetapi, apabila seseorang yang menikah tidak merasakan hal tersebut, maka berpisah merupakan jalan keluar terbaik bagi keduanya.
- Hifz al-Nafs (Menjaga Jiwa)
Kesehatan jiwa juga penting untuk tetap bisa menjalankan ibadah dengan optimal. Konflik rumah tangga yang terus-menerus akibat infertilitas, dampak yang ditimbulkan seperti stigma masyarakat atau keluarga sendiri mempengaruhi aspek psikologi seseorang. Jadi untuk menghindari hal tersebut perpisahan menjadi hal terbaik.
- Hifz al-Nasl (Menjaga Keturunan)
Dengan berlangsungnya sebuah pernikahan termasuk upaya dalam menjaga generasi. Jika dampak yang ditimbulkan dari infertilisasi adalah menyebabkan salah satu dari pasangan tersebut melakukan zina dengan tujuan mendapatkan keturunan, maka memilih berpisah adalah pilihan yang maslahah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam sudut pandang maqashid as-syari’ah perceraian dengan alasan infertilisasi diperbolehkan, apabila tidak memenuhi al-kulliyat al-khams yakni jika tetap mempertahankan sebuah hubungan membawa mafsadah bagi kedua belah pihak, maka perceraian menjadi solusi terbaik untuk mencapai kemaslahatan.
[1] Direktorat Jenderal Kesehatan Lanjutan, akses 13 Agustus 2025, pukul 02.00 WIB
[2] Kasman Bakry, dkk, “Infertilitas Sebagai Alasan Khulu’ Perspektif Maqasid al-Syari’ah, Al-Qiblah: Jurnal Studi Islam dan Bahasa Arab, No. 3, Vol. 4, 2025, hal. 248
[3] Habib Hasbullah, Deni Irawan, “Perceraian Karena Infertilitas Perspektif Maqasid (Studi Analisi Putusan Pengadilan Agama di Sarolangun No: 81/Pdt.G/PA.Srl), Rayah Al-Islam, No. 3, Vol, 7, Desember 2023, hal. 11.
[4] Dhawabitu al-Maslahah, Syekh Ramadhan al-Buthi, Al.Anwar Corporation, hal. 119.
[5] Abu Bakar al-Razi al-Jashas, Syarah Mukhtashor al-Thohawi, Maktabah Syameelaa, hal. 373.