Agama dan filsafat: Menelusuri Nalar Epistemologi Peripatetik-Emanasionis Al-Kindi

Oleh: Muhammad Ilhamurrohman dan Ahmad Faizul Albab

Mendiskusikan Filsafat dengan agama merupakan proyek yang sudah lama dilakukan oleh para pemikir islam. Filsafat islam bersumber dari dua sumber primer, pertama dari tradisi luar -dari literatur Yunani- yang diperas, diinterpertrasikan, diterjemahkan dan diimpor dari Yunani sebagai negara yang berperadaban falsafah. Kedua dari keilmuan islam sendiri, terutama dari tradisi keilmuan kalam. Kedua sumber ini saling berebut posisi di permukaan dunia islam. Sehingga lahirlah keilmuan filsafat islam. Namun keberadaan filsafat islam ini menuai kontrofersi, apakah ia datang dan berdiri sendiri jauh dari perkembangan filsafat Yunani. Atau filsafat islam ini hanya sebatas catatan kaki dari filsafat Yunani. Terlepas dari perdebatan tersebut, penulis akan mengenalkan seorang filsuf muslim yang mencoba mengomparasikan kedua keilmuan ini, yaitu Al Kindi.

Al-Kindi (185-255 H/801-866 M) dikenal sebagai filsuf besar Arab, 84 sekaligus sebagai penerjemah filsafat Aristoteles ke dalam dunia Islam (Arab). Nama aslinya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Shabah bin Umrana bin Ismail bin Muhammad bin Asy’asy al-Kindi. Al-Kindi lahir pada tahun 185 H/801 M di Kota Kufah, Iraq. Ia hidup pada masa dua Khalifah Abbasiyah, yakni Al-Makmun (813-833 M) dan Al-Mu’tashim (833-842) M). Ia menghasilkan sekitar 270 karya dalam pelbagai bidang keilmuan. Di antara karyanya yang populer, yang mendiskusikan persoalan pendamaian antara agama dan filsafat, adalah risalahnya yang berjudul Risalah Al-Kindi ila al-Mu’tashim Billâh fi al-Falsafah al-Ûla

Dalam upaya menelusuri nalar epistemology filsafat al-Kindi, Dalam surat yang ditulis oleh Al Kindi kepada Raja Al Mu’tashim, Al Kindi menyatakan bahwa filsafat paling mulia adalah filsafat pertama. Maksud dari pernyataan ini adalah filsafat yang memberikan pemahaman akan kebenaran yang bersifat primer dan tidak bisa berubah. Yaitu kebenaran tentang penyebab dari semua kebenaran. Yaitu kebenaran haqiqat Tuhan. 

Mengenal Nalar Epistemologi 

Membicarakan nalar epistemologis, sama halnya membicarakan aktifitas berfikir manusia. Pada awal upaya manusia memikirkan keduniawian, selalu diselimuti dengan logika metafisika. Pikiran tersebut muncul sebab pertanyaan dasar yang erat kaitannya dengan metafisik, apa itu tuhan? Apa itu alam? Apa itu jiwa manusia? Sehingga para pemikir terdahulu, memiliki kecenderungan dan jawaban-jawaban yang berbeda akan pertanyaan tersebut. Sehingga pada akhirnya mereka mengerahkan berfikir mereka ke dalam, bukan pada dan ke dunia luar, tuhan, alam, jiwa (misalnya). Mereka fokus untuk mengerahkan cara berfikir ke dalam, yaitu aktifitas mengetahui itu sendiri. Apakah manusia dapat mengetahui sesuatu? Bagaimana cara mengetahuinya? Inilah dua pertanyaan utama yang menjadi pintu masuk mereka ke dalam ranah epistemologi.

Kedua kategori pertanyaan itu saling bertaut. Pertama bersifat medasar filosofis, pertanyaan kedua bersifar sekunder teknis. Pertanyaan pertama berkaitan dengan kemungkinan mengetahui sesuatu, pertanyaan kedua berkaitan dengan bagaimana cara mengetahui. Dalam definisi islam, istilah yang seringkali digunakan untuk mewakili “mengetahui” adalah ilmu dan ma’rifat. Al-Juba’i mengartikan ilmu sebagai keyakinan tentang sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Akan tetapi definisi ini disanggah oleh Abdul Jabbar bahwa keyakinan seseorang tanpa didasari dengan proses keyakinan juga disebut sebagai ilmu. Abdul Jabbar dari Mu’tazilah selanjutnya mengenalkan bahwa “ilmu” adalah suatu kondisi yang membuat jiwa orang yang mengetahui sesuatu menjadi tenang (diam). Ar-Rozi dari kalangan Sunni menyatakan bahwa ilmu adalah “tercapainya bentuk atau gambaran tentang sesuatu di dalam akal”.

Epistemology Al Kindi

Terlepas dari terminologi “ilmu” di atas, yang menjadi perhatian khusus dalam catatan ini adalah adanya tiga hal pokok dari pengertian tersebut yang kemudian menjadi pijakan dasar nalar epistemologi:

  1. Subjek dan alat pengetahuan
  2. Objek pengetahuan 
  3. Proses mengetahui, yakni hubungan antara subjek yang mengetahui dengan objek pengetahuan.

Pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas disebut sebagai “nalar epistemologis”. Espistemologi dikatakan nalar karena epistemologi merupakan alat bagi disiplin keilmuan. Nalar epistemologi inilah yang akan dijadikan sebagai dasar untuk menelusuri pemikiran Al Kindi dalam perihal agama dan filsafat.

Membahas nalar epistemologis dalam islam sama halnya dengan membahas keberadaan filsafat dalam islam. Ada dan tidaknya nalar epistemologis ini merupakan pertanyaan mendasar yang tentang eksistensi akan filsafat dalam islam. Pertanyaan mendasar ini muncul lantaran yang menganggap adanya filsafat adalah para filsuf islam, adapun yang menganggap ketiadaan filsafat islam adalah para pemikir islam non-filsafat. Oleh karenanya, ada tidaknya epistemologi islam bergantung pada ada tidaknya filsafat islam. Ada dan tidaknya filsafat islam juga bergantung pada pandangan terhadap pengetahuan manusia.

Dalam menetapkan relasi islam dan filsafat, para pemikir islam terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang menganggap syariat lebih tinggi dari filsafat. Golongan pertama ini ditekuni oleh para ulama non filsuf, fuqoha, teolog dan sufi. Kedua, mereka yang berpandangan bahwa teori demonstratif filsafat lebih tinggi dari pada syariat. Dalam mengatasi perdebatan dan kebuntuan kedua pendapat ini, muncullah pandangan yang mendamaikan syariat dan filsafat. Atas dasar ini, nalar epistemologi filsafat islam yang akan dibahas dalam tulisan ini dilihat dari kerangka relasi syariat dan filsafat, tentu menurut Al Kindi. Sementara fokus bahasannya ialah tokoh, pra wacana dan nalar epistemologinya, tentu dengan bahasa yang singkat dan berusaha dari penjelasan yang kabur dan sukar dipahami.

Pra Wacana

Dalam pemikiran epistemologi Al-Kindi, yang dianggap sebagai pelopor dalam peletakan dasar epistemologi teologis di dunia Arab oleh Husain bin Marwah, filsafat tertinggi adalah “Filsafat Pertama,” yaitu ilmu tentang kebenaran awal atau Tuhan sebagai penyebab segala kebenaran. Menurut Al-Alusi, keunggulan konsep pengetahuan Al-Kindi terletak pada keyakinannya bahwa pengetahuan akan suatu hal merupakan sebab atau ‘illah bagi pengetahuan hal lain yang terkait. 

Al-Kindi berpendapat, pengetahuan sempurna (ilmu tamma) dapat dicapai dengan memahami secara menyeluruh ‘illah atau sebab suatu hal. Pendapat ini diperkuat oleh Al-Alusi yang menyatakan bahwa hakikat suatu ilmu tidak akan tercapai tanpa pemahaman ‘illah-nya. Al-Kindi mengadopsi konsep empat ‘illah (sebab) dari Aristoteles, yang sangat penting untuk akumulasi pengetahuan:

  • ‘Illah material: Substansi dasar dari mana sesuatu terbentuk. Artinya membicarakan materi pembentuk (maddah) sesuatu eksis.
  • ‘Illah formal: Bentuk atau pola yang menjadi identitas sesuatu. Ini bukan tentang materi dari suatu benda, melainkan struktur, desain, atau esensi yang membuatnya menjadi seperti apa adanya.
  • ‘Illah efisien: Agen yang menyebabkan perubahan. Ini adalah “siapa” atau “apa” yang membuat sesuatu bergerak, berubah, atau ada.
  • ‘Illah final: Tujuan atau maksud akhir dari keberadaan sesuatu. Ilat ini adalah dasar atau alasan sesuatu ada, terbentuk atau eksis.

Keempat ‘illah ini esensial untuk menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu ada sebagaimana adanya. Dengan memahami keempat ‘illah ini, hakikat suatu ilmu akan diperoleh secara sempurna, dan semua pengetahuan pada akhirnya bermuara pada ‘illah al-haq, yaitu Tuhan.

Selain menyetujui konsep empat ‘illah, Al-Kindi juga sependapat dengan Aristoteles mengenai empat pertanyaan dasar dalam ilmu pengetahuan:

  • Hal (هل – apakah): Membahas eksistensi, keberlanjutan, dan perbedaan.
  • Ma (ما – apa): Membahas jenis (jins) dari suatu hal.
  • Ayyun (أي – siapa/yang mana): Membahas pembeda (fasl) dan bersama dengan “ma,” membahas macam (nau’).
  • Lima (لم – kenapa): Membahas ‘illah al-muṭlaqah (sebab mutlak).

Al-Kindi menegaskan bahwa pemahaman mendalam terhadap ‘illah material akan memberikan pemahaman tentang jenisnya; pemahaman ‘illah formal akan memberikan pemahaman tentang macamnya, yang di dalamnya terkandung pembeda; dan dengan pemahaman menyeluruh tentang ‘illah material, formal, dan final, seseorang akan memahami batasan hakikat dari suatu hal. Pada titik inilah wacana Al Kindi untuk mendudukkan persoalan filsafat dan agama telah tercerahkan. Filsafat yang notabene ialah wasilah atau cara untuk menggapai suatu kebenaran, haqiqat sesuatu dan kebijaksanaan digunakan untuk menindak lanjuti agama (religius) sebagai objeknya.

Proses Mengetahui 

Al Kindi adalah pelopor pertama dalam dunia islam yang mendamaikan dan mendialogkan dengan baik agama dan filsafat. Dia memulai pembahasan tentang bagaimana proses mengetahui. Menurutnya proses mengetahui terbagi menjadi dua, karena pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu pengetahuan ilahi dan pengetahuan manusiawi. Pengetahuan ilahi berasal dan diperoleh dari wahyu (intuisi) ilahi yang telah terepresentasi dalam agama. Sehingga kebenaran ini bersifat semi dogmatis.   Epistemologi dalam ranah ini terbangun dan didasarkan pada literature teks, baik Al-Qur’an, hadits maupun ijma’. Epistemology ini masih diselimuti dengan kekakuan, jumud, rigid, ahistoris dan tidak terbuka dengan kontekstual.

Sedangkan pengetahuan manusiawi berasal dan diperoleh dari panca indra dan akal manusia yang terepresentasi melalui filsafat Akal sebagai sumber utama pengetahuan kedua ini dipaksa untuk mengeluarkan segenap kemampuannya untuk memahami realitas maupun teks transcendental. Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam Juwaini bahwa ilmu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu dhoruri dan ilmu iktisabi. Ilmu dhoruri ialah ilmu yang dihasilkan tanpa keinginan. Sebagai contoh, ilmu yang dihasilkan dari lima panca indra. Sedangkan ilmu iktisabi adalah ilmu yang dihasilkan melalui proses mengenal, mencerna yang ada dan menyimpulkannya. Setidaknya, imam Haromain mencoba mendudukkan pengertian ilmu iktisabi ini sesuai dengan tipologi kedua Al Kindi.

Tentu saja, dengan perannya sendiri-sendiri. Indra berperan mengakses benda-benda indrawi, kemudian akal berperan mengolahnya dalam ingatan. Di situlah, akal berperan menemukan makna-makna yang bersifat universal, yang tersimpan di dalam dunia materi yang bersifat partikular, seperti alam. Pengetahuan universal ini ditemukan oleh akal melalui proses induksi, sebagaimana halnya ketika akal memahami Tuhan sebagai Sebab Pertama yang keberadaan-Nya dapat diketahui secara fitri (wajibul wujud). Saat akal memliki kesimpulan bahwa tuhan merupakan entitas yang prima, wajib keberadaannya, maka di saat itulah pengetahuan itu bersifat “paripatetik emansionis”. Paripatetik dengan domain alam dunia, sedang emanionis bersifat ilhami, psiko-gnosis dan pancaran ilahi. 

Mempersepsi Tuhan sebagai Sebab Pertama mengandaikan suatu kejadian yang tidak akan pernah terjadi karena dirinya sendiri, melainkan karena sesuatu yang lain di luar dirinya. Sesuatu yang lain itulah yang disebut sebab, sedangkan kejadian itu sendiri disebut akibat. Di dalam hukum alam, terdapat bermacam-macam sebab, tetapi Tuhan adalah Sebab Pertama. Karena Dia adalah sebab paling awal dan menjadi sebab dari berbagai akibat yang ada, termasuk adanya alam dan manusia. Al-Kindi menganggap dunia materi pada awalnya dipengaruhi secara langsung oleh Sebab Pertama. Materi itu berkembang menjadi penyebab munculnya materi lain. Begitulah proses itu terjadi sampai pada materi terakhir. Dalam runtutan kausalitas seperti ini, munculnya materi terakhir diakibatkan oleh Sebab Pertama secara kiasan saja. Pada hakikatnya, ia diakibatkan oleh materi yang paling dekat dengan dirinya. Begitu juga, sebab kedua akan menjadi penyebab lahirnya sebab ketiga, dan begitu seterusnya.



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *