Oleh: Evan Setiawan dan Muhammad Irwan Ikhtiar
Allah Swt. menurunkan syariat Islam melalui perantara wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw dan pada masa Nabi Saw Islam berada pada puncak kejayaannya. Sepeninggal Nabi para pewarisnya lah yang melanjutkan tugas menyampaikan ajaran syariat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in hingga golongan ulama setelahnya. Meski Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah telah tiada, estafet penyebaran Islam tetap dijalankan oleh ulama pada masa setelahnya. Tetapi agama Islam dengan heterogenitas ajarannya tidak menutup kemungkinan adanya interpretasi baru dan para ulama dapat melakukan kesepakatan baru seputar permasalahan agama. Konsekuensi dari kesepakatan tersebut bersifat mengikat dan tidak boleh diingkari. Bukan tanpa dasar, kesepakatan yang terjadi tentu berpedoman pada sumber hukum Islam yang ada. Dengan demikian, seperti itulah gambaran umum mengenai pengertian ijmak. Namun ijmak tidak terbentuk begitu saja, melainkan ada peran penting dasar pijakan yang digunakan ulama untuk menghasilkan ijma.
Pada kenyataannya kesepakatan ulama tidak muncul begitu saja. Ijmak dihasilkan dari kesepakatan ulama, sedangkan setiap ulama memiliki argumen berbeda dalam menanggapi masalah. Ada instrumen yang memunculkan timbulnya kesepakatan dan menyatukan argumen-argumen ulama, hal inilah yang dinamakan mustanad. Dalam kata lain mustanad itu sendiri yang menjadi cikal bakal sekaligus alat untuk menghasulkan kesepakatan. Lalu dari mana sumber hukum yang dimaksud sehingga menghasikan kesepakatan yang mengikat dan tak boleh diingkari.
Salah satu sumber hukum yang digunakan yakni Al-qu’an. Sebagaimana dalam Q.S An nisa ayat 115 yang berbunyi:
وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاࣖ ١١٥
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasanya orang yang mengingkari Rasul (Nabi Muhammad) dan jejak orang-orang mukmin yang menetapi agama Islam pantaslah neraka sebagai balasannya. Padahal tanda kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad telah nyata dan dibuktikan dengan mukjizat yang dimiliki Nabi Muhammad. Maknanya orang mukmin diharuskan mengikuti jejak para ulama terdahulu dan hal demikian telah tersiratkan oleh para ulama melalui ijmak yang mereka bentuk sebagai hujjah bagi umat muslim. Dari pemahaman ayat tersebut ijmak mendapatkan posisi sebagai sumber hukum dan kesepakatan yang dihasilkan sangat beragam sehingga memperkaya interpretasi syariat Islam.
Mengenai ijmak sebagaimana yang kita pahami sebelumnya, salah satu contoh ijmak adalah mengenai hukum pernikahan menurut syariat. Menurut imam Mawardi pensyariatan nikah adalah bersumber dari Al-quran, hadis, dan menurut Ijmak. Pensyariatan nikah berdasarkan ijmak, karena melalui penikahan terpeuhi pula kebutuhan biologis manusia. Melalui pernikahan manusia dapat lebih menjaga pandangan, memelihara nasab dan mempertahankan keturunan. Pensyariatan nikah pula sesuai dengan fitrah manusia yang membutuhkan hubungan nikah sebagimana yang dilakukan para rasul Allah dan sesuai kesepakatan para ahlu ilmi (ulama). Selain mengenai hukum, ada juga kesepakatan yang dihasilkan berdasarkan kemaslahatan, seperti proses penetapan pajak tanah tanpa memberikan kekuasaan, dengan alasan hasil pajak dapat dialokasikan untuk pembanguan fasilitas, pembiayaan tentara, dan bagi penduduk yang membutuhkan. Sehingga kemaslahatan yang diperoleh tidak hanya didapatkan oleh golongan tertentu.
Proses terbentuknya tidaklah tanpa dasar dan tidak hanya bermuara pada argumen semata, apalagi berdasarkan argumen yang menyesatkan (fallacy). Tetapi, prosesnya menggunakan sumber hukum Islam yang kredibel serta dapat menyatukan argumen. Hal demikian harus menjadi motivasi tersendiri bahwasanya Islam kaya dengan hukum syariatnya. Terlebih kesepakatan yang diperoleh dari pemahaman Al-qur’an sangat menuntut untuk memahami Al-qur’an lebih detai dan mendalam. Begitu pula kebijakan kepemerintahan yang dilakukan sahabat Umar R.A yang berdasarkan kemaslahatan. Sekilas kebijakan yang dilakukan menyalahi aturan sebelumnya tetapi, jika lebih dipahami sahabat Umar mengintegrasikan bahwa kebijakan yang dibuat tidaklah mengeliminasi esensi syariat Islam. Jalan yang telah ditempuh sahabat Umar dan ulama lainnya menjembatani bahwa nash syariat memberikan ruang yang lebih luas untuk menghasilkan hukum, salah satunya melalui ijmak. Tinggal kita mengikuti jejak sebagaimana yang telah dibangun para ulama terdahulu dan mempelajari bagaimana para ulama memutuskan kesepakatan dalam menanggapi urusan agama.