Bathsul Masail 1 Himam Periode 2024-2026

Muharrir Mushohih
K. Muhammad Nurun Nada KH. Muhammad Faeshol Muzammil
KH. Ahmad Dimyati
  1. Menyikapi Wacana Kemenag Dam Tamattu’ Jamaah Indonesia untuk Warga Indonesia

Latar Belakang

Mayoritas jamaah haji Indonesia menjalankan haji tamattu, yakni mengambil umrah terlebih dahulu, lalu berhaji. Skema ini mewajibkan jamaah membayar dam berupa penyembelihan kambing. Masalah Pembayaran dam menjadi salah satu permasalahan fiqh di era kontemporer seiring dengan beragam perubahan yang telah terjadi. Saat ini jumlah jamaah meningkat drastis di setiap musim haji, mencapai dua hingga tiga juta. Selain itu, Kerajaan Arab Saudi juga terus membangun dan memperluas infrastruktur untuk menerima para peziarah di Baitullah di masa-masa mendatang.

Hal ini mengarah pada peningkatan jumlah hewan dam, baik karena Tamattu’, atau karena melakukan larangan atau lainnya. Akibatnya, ada kebutuhan nyata akan sejumlah rumah potong hewan dengan peralatan lengkap dan cukup untuk menampung jumlah hewan kurban yang sangat banyak. Selain itu, diperlukan juga keberadaan orang yang berhak atas daging hewan dam. Sebab, jumlah orang fakir dan miskin di Tanah Suci khususnya, dan Arab Saudi pada umumnya sangat sedikit.

Disisi lain, Musim haji identik dengan pembelian kambing untuk dam (denda) di Makkah. Kesempatan itu sering dimanfaatkan pihak tertentu untuk mendulang keuntungan berlipat-lipat dengan iming-iming biaya yang cukup murah dan dijamin sah. Dari informasi yang beredar, beberapa jamaah Indonesia banyak yang terpedaya dengan modus yang jamaah haji yang percaya karena tak mau repot dan biayanya yang murah. Dari berbagai pertimbangan tersebut, Pada 22 Mei 2025, Kepala Bidang Bimbingan Ibadah (Kabid Bimbad) PPIH Arab Saudi, Sdr. Dr. Zaenal Muttaqin, meminta agar Mustasyar Diny (Konsultan Ibadah) memberikan pandangan dan saran terkait Surat Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada Menteri Agama RI tertanggal 20 Mei 2025 perihal: “Jawaban atas Permohonan Dukungan Tata Kelola Dam Tamattu Penyelenggaraan Haji Tahun 1446 H/2025 M”. Salah satu pesan utama surat Kemenag kepada MUI tersebut adalah terkait rencana Kementerian Agama untuk menyelenggarakan penyembelihan hewan dan pembagian daging Dam tamattu di tanah air.

Mustasyar Diny memandang bahwa fatwa MUI, keputusan Mudzakarah Perhajian Kementerian Agama, pandangan fikih Bahtsul Masail NU, dan fatwa lembaga-lembaga keislaman lainnya tentang hukum penyembelihan Dam di tanah air merupakan tafsir atau pandangan fikih yang bersifat ijtihadi yang terbuka kemungkinan untuk didiskusikan kembali.

Selain karena ini adalah ranah ijtihad, Diantara pertimbangan yang menjadi alasan agar Dam haji boleh didistribusikan di luar tanah haram seperti di Indonesia yaitu:

  1. Berdasarkan fakta dan informasi di lapangan, selama bertahun-tahun pelaksanaan dam haji tamattu’ oleh jamaah haji dan petugas haji Indonesia belum dikelola secara transparan dan akuntabel, sehingga nilai manfaatnya belum dirasakan secara maksimal sebagaimana yang diamanahkan oleh syari’at. Fakta dilapangan menyebutkan, terjadi beberapa praktik penipuan atas nama dam tamattu’ yang dialami oleh jamaah haji Indonesia.
  1. keterbatasan stok dari hewan dari arab Saudi. Berdasarkan data dari kementrian lingkungan hidup, air dan pertanian Arab Saudi menghadapi kesulitan dalam penyediaan hewan dam dan qurban dalam jumlah yang besar. Pada musim haji 2024 harus mengimpor hingga 4 juta ekor dari beberapa negara, seperti sudan, Afrika Selatan, Kolombia, Bulgaria. Selain itu, beberapa media internasional juga mengkritisi pemerintah Arab Saudi atas polusi udara akibat pembakaran limbah hewan Dam dan qurban yang dilakukan tiap tahun pasca musim haji.
  2. Pendapat Mazhab Hanbali yang menyatakan bahwa jika terjadi udzur untuk melakukan penyembelihan dan pendistribusian dam Tamattu’ di Tanah Haram, maka boleh dilakukan di luar Tanah Haram. Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab al-Mubdi’ karangan Burhanuddin bin Muflih al-Hanbali (Juz 3/h. 173):

فإن تعذر إيصاله إلى فقراء الحرم فالأظهر أنه يجوز ذبحه وتفريقه في غيره لقوله تعالى: {لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا} [البقرة: 286].

  1. Distribusi kepada yang membutuhkan. Data menunjukkan bahwa keberadaan fuqara’ masakin di Mekah semakin menurun. Berdasarkan laporan world population review tahun 2025 ini penduduk miskin Mekah berjumlah 19,27% dari total penduduk 5.747 jiwa, dengan rata-rata pendapatan perbulan 59,400 USD per kapita. Oleh karena itu, sejak 1980-an, pemerintah Arab Saudi membuat proyek Bank Daging Dam dan mendistribusikannya ke negara-negara miskin di Afrika dan Asia.
  2. Angka kemiskinan di Indonesia sangat tinggi. Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu persoalan stunting juga masih sangat tinggi. Berdasarkan laporan Tempo yang terbit pada 10 Januari 2025, angka stunting di Indonesia masih tergolong tinggi dengan prevalensi sebesar 21.5 persen. Karena itu, penyembelihan dan pendistribusian Dam di luar Tanah Haram (khususnya di Indonesia sangat relevan dengan program pemerintah untuk menurunkan angka stunting dan angka kemiskinan.

Mustasyar diny juga menyampaikan Hasil Batshul Masail Waqiiyah Munas Alim Ulama NU pada tangal 5-7 februari terutama pada poin c menyatakan “jika penyembelihan dan pendistribusian Dam tamattu’ di tanah haram terdapat kendala udzur syari dan hissi, maka penyembelihan dan pendistribusian boleh dilakukan di luar Tanah Haram, seperti di Indonesia dengan mengikuti madzhab Hanbali. Adapun penetapan udzur harus dilakukan oleh pemerintah.”

Dalam surat balasannya, MUI memberikan respon, yang salah satu pesan utamanya adalah bahwa penyembelihan hewan Dam atas haji tamattu’ di luar tanah haram hukumnya tidak sah. MUI mendasarkan jawabannya ini pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 41 Tahun 2011.

MUI menyatakan menolak wacana dari Kemenag tersebut tersebut, namun MUI masih membuka ruang telaah ulang atas fatwa sepanjang memang secara syar’i dapat dijadikan sebagai pertimbanagan untuk menetapkan hukum baru. Majelis Ulama Indonesia, hingga kini masih menjadikan fatwa MUI nomor 42 tahun 2011 tentang penyembelihan Dam atas haji tamattu’ di luar tanah haram sebagai pedoman, hingga ditemukan adanya illat dijadikan baru yang memungkinkan dijadikan pertimbangan dalam I’adatun nadzar (telaah ulang) atas fatwa yang telah ditetapkan.

Karena itu, MUI menunggu informasi tertulis dan penjelasan secara rinci mengenai hal- hal baru yang memungkinkan adanya telaah ulang atas fatwa tersebut, seperti adanya surat dari Pemerintah Saudi tentang larangan untuk menyembelih di tanah haram karena adanya wabah, atau faktor ketersediaan hewan yang tidak mencukupi sehingga tidak memungkinkan penyembelihan hewan di tanah suci.

Pertanyaan    :

  1. Apakah dibenarkan secara fiqh wacana kemenag berupa penyembelihan dan pendistribusian dam di luar tanah haram seperti di Indonesia

Jawaban:  Wacana yang dibawa KEMENAG bisa dibenarkan dengan berpijak pada konsep talfiq (namun keabsahan talfiq masih diperselisihkan ulama), diyakini membawa maslahah ammah bagi jamaah haji dan bersifat opsional.

Keterangan:

              Dalil kewajiban membayar dam tamattu’ berisfat tegas qoth’i, tetapi nash Al-Quran tidak menyebutkan secara eksplisit (Qhot’i) kewajiban penyembelihan dan pendistribusiannya kepada fakir miskin tanah haram, berbeda dengan pendistribusian dam karena membunuh binatang buruan, yang secara tegas dibatasi harus yaitu ditujukan untuk fakir miskin Tanah Haram. Atas dasar inilah, terjadi perbedaan pendapat, mengenai kewajiban pendistribusian dam di tanah haram.

Ayat dam tamattu’ dan dam qotl as-sahid yaitu pada surat al-baqarah ayat 196 dan al-Maidah ayat 96.

وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللَّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalü dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Ketentuan itü berlaku bagi orang yang keluarganya tidak menetap di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Mahakeras hukuman-Nya. ” (QS. Al-Baqarah: 196)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاء مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَف وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orangorang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maidah: 96)

Jika diperhatikan dengan seksama, ayat yang berbicara tentang dam qatl as-shaid (membunuh hewan buruan di tanah haram) bersifat muqayyad, sebagaimana terlihat dalam firman-Nya: ” هَذيا بالغ الكعبة” “sebagai hadyu yang disampaikan ke Ka’bah.” (QS. Al-Maidah: 95), sementara dam Tamattu’ bersifat muthlaq sebagaimana terlihat dalam ayat: ” فمن تمتع بالغمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي.” “Maka bagi siapa yang melakukan tamattu’, hendaklah ia menyembelih hadyu yang mudah didapat.” (QS. Al-Baqarah: 196).

Dalam kaidah muthlaq maqayyad disebutkan bahwa jika penyebab dua peristiwa hukum berbeda, sementara keputusan hukumnya sama, maka menurut mazhab Hanafi, tiap ayat diberlakukan sesuai konteksnya masing-masing, yang muthlaq diberlakukan sesuai kemutlakan ayatnya, dan yang muqayyad diberlakukan sesuai batasan yang ada dalam ayat tersebut. Dalam kitab ghoyatul wushul disebutkan:

غاية الوصول في شرح لب الأصول (ص: 74) 

 وقال الحنفي لا يحمل عليه لاختلاف الحكم أو السبب فيبقى المطلق على خلافه.

Ketiadaan ijma’ dan nash qoth’i mengenai keharusan penyembelihan dan pendistribusian dam tamattu’, menimbulkan ragam perbedaan pendapat bainal aimmah. Pendapat kuat dalam madzhab Syafi’i menyatakan Penyembelihan dam tamattu’ dan pendristibusiannya harus dilakukan di tanah haram, sedangkan pendapat kedua (qoul tsani) memperbolehkan penyembelihan diluar Tanah Haram dengan syarat pendristibusian daging dam harus diberikan kepada fakir miskin tanah haram karena tujuan (al-maqsud) adalah dagingnya (lahm) bukan lokasinya dengan syarat dagingnya belum berubah. ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa kekhususan pendistribusian dan penyembelihan dam tamattu’ di Tanah Haram bersifat dogmatis (ta’abbudi).

روضة الطالبين، ج: ٣، ص: ١٨٧

وَأَمَّا الْمَكَانُ، فَالدِّمَاءُ الْوَاجِبَةُ عَلَى الْمُحْرِمِ ضَرْبَانِ. وَاجِبٌ عَلَى الْمُحْصَرِ بِالْإِحْصَارِ، أَوْ بِفِعْلٍ مَحْظُورٍ. وَقَدْ سَبَقَ بَيَانُهُ فِي الْإِحْصَارِ. وَوَاجِبٌ عَلَى غَيْرِهِ، فَيَخْتَصُّ بِالْحَرَمِ، وَيَجِبُ تَفْرِيقُ لَحْمِهِ عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ، سَوَاءٌ الْغُرَبَاءُ الطَّارِئُونَ وَالْمُسْتَوْطِنُونَ، لَكِنَّ الصَّرْفَ إِلَى الْمُسْتَوْطِنِينَ أَفْضَلُ. وَهَلْ يَخْتَصُّ ذَبْحُهُ بِالْحَرَمِ؟ قَوْلَانِ: أَظْهَرُهُمَا: نَعَمْ. فَلَوْ ذَبَحَ فِي طَرَفِ الْحِلِّ، لَمْ يُجْزِهِ. وَالثَّانِي: يَجُوزُ ذَبْحُهُ خَارِجَ الْحَرَمِ، بِشَرْطِ أَنْ يُنْقَلَ وَيُفَرَّقَ فِي الْحَرَمِ قَبْلَ تَغَيُّرِ اللَّحْمِ، وَسَوَاءٌ فِي هَذَا كُلِّهِ دَمُ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ، وَسَائِرُ مَا يَجِبُ بِسَبَبٍ فِي الْحِلِّ أَوِ الْحَرَمِ، أَوْ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ، كَالْحَلْقِ لِلْأَدْنَى، أَوْ بِسَبَبٍ مُحَرَّمٍ. وَفِي الْقَدِيمِ قَوْلَانِ. مَا أُنْشِئَ بِسَبَبِهِ فِي الْحِلِّ، يَجُوزُ ذَبْحُهُ وَتَفْرِقَتُهُ فِي الْحِلِّ، كَدَمِ الْإِحْصَارِ. وَفِي وَجْهٍ: مَا وَجَبَ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ، لَا يَخْتَصُّ ذَبْحُهُ وَتَفْرِقَتُهُ بِالْحَرَمِ. وَوَجْهٍ: أَنَّهُ لَوْ حَلَقَ قَبْلَ وُصُولِهِ الْحَرَمَ وَذَبَحَ وَفَرَّقَ حَيْثُ حَلَقَ، جَازَ. وَكُلُّ هَذَا شَاذٌّ ضَعِيفٌ. وَأَفْضَلُ الْحَرَمِ لِلذَّبْحِ فِي حَقِّ الْحَاجِّ، مِنَى. وَفِي حَقِّ الْمُعْتَمِرِ، الْمَرْوَةُ، لِأَنَّهُمَا مَحَلُّ تَحَلُّلِهِمَا. وَكَذَا حُكْمُ مَا يَسُوقَانِهِ مِنَ الْهَدْيِ

المجموع شرح المهذب – ط المنيرية ٧/‏٤٩٨ — ا لنووي (ت ٦٧٦)

(إذا وجب علي المحرم دم لاجل الاحرام كدم التمتع والقران ودم الطيب وجزاء الصيد عليه صرفه لمساكين الحرم لقوله تعالى (هديا بالغ الكعبة) فان ذبحه في الحل وأدخله الحرم نظرت فان تغير وانتن لم يجزئه لان المستحق لحم كامل غير متغير فلا يجزئه المنتن المتغير وإن لم يتغير ففيه وجهان

(أحدهما) لا يجزئه لان الذبح أحد مقصودي الهدى فاختص بالحرم كالتفرقة

(والثانى) يجزئه لان المقصود هو اللحم وقد أوصل ذلك إليهم وان وجب عليه طعام لزمه صرفه إلى مساكين الحرم قياسا على الهدى

berbeda dengan ulama hanafiyah yang menyatakan bahwa pendistribusian dam (tafriqatud dam) bersifat rasional (ma’qulul ma’na) berupa sedekah kepada fakir miskin, sehingga pendistribusian dam boleh dialokasikan kepada fakir miskin selain luar tanah haram, seperti Indonesia. Meskipun cukup fleksibel, madzhab Hanafi mensyaratkan penyembelihan dilakukan di Mekkah (tanah haram).

فتح القدير لكمال بن الهمام (6/ 236)

وَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ خِلَافُهُ إلَّا أَنْ يَزِيدَ فَيَقُولَ بَدَنَةٌ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ، وَيُمْنَعُ أَنَّ فِيهِ نَفْلًا شَرْعِيًّا أَوْ عُرْفِيًّا بَلْ كُلٌّ مِنْهُمَا مُشْتَرِكٌ فِيهَا ، وَإِذَا ذَبَحَ الْهَدْيَ فِي الْحَرَمِ يَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ ، وَإِنْ تَصَدَّقَ بِهِ عَلَى غَيْرِهِمْ أَيْضًا جَازَ لِأَنَّ مَعْنَى اسْمِ الْهَدْيِ لَا يُعَيِّنُ فُقَرَاءَ مَحَلٍّ أَصْلًا بَلْ إنَّمَا يُنْبِئُ عَنْ النَّقْلِ إلَى مَكَان وَذَلِكَ هُوَ الْحَرَمُ إجْمَاعًا ، فَتَعَيَّنَ الْحَرَمُ إنَّمَا هُوَ لِإِفَادَةِ مَأْخَذِ اسْمِ النَّقْلِ ، ثُمَّ تَعَيَّنَ الْمَكَانُ بِالْكِتَابِ وَالْإِجْمَاعِ فَتَعْيِينُ فُقَرَاءِ الْحَرَمِ قَوْلٌ بِلَا دَلِيلٍ ، وَهَذَا لِأَنَّ الْقُرْبَةَ بِالْإِهْدَاءِ تَتِمُّ بِالنَّفْلِ إلَى الْحَرَمِ وَالذَّبْحِ بِهِ تَعْظِيمًا لَهُ ، وَلِذَا لَوْ سُرِقَ لَمْ يَلْزَمْهُ غَيْرُهُ وَبِذَلِكَ انْتَهَى مَدْلُولُهُ وَيَصِيرُ لَحْمًا .

وَجْهُ الْقُرْبَةِ فِيهِ شَيْءٌ آخَرُ هُوَ التَّصَدُّقُ ، وَفِي هَذَا مَسَاكِينُ الْحَرَمِ وَغَيْرِهِمْ سَوَاءٌ .

بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع  ٢ ‏/ ٢٢۳

فَأَمَّا مَعْنَى الْقُرْبَةِ فِي الْهَدْيِ مِنْ النَّعَمِ فِي الْإِرَاقَةِ شَرْعًا، وَالْإِرَاقَةُ لَمْ تُعْرَفْ قُرْبَةً فِي الشَّرْعِ إلَّا فِي مَكَان مَخْصُوصٍ أَوْ زَمَانٍ مَخْصُوصٍ، وَالشَّرْعُ أَوْجَبَ الْإِرَاقَةَ هَهُنَا فِي الْحَرَمِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ﴾ [المائدة: ٩٥] حَتَّى إذَا ذَبَحَ الْهَدْيَ جَازَ لَهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهِ عَلَى فُقَرَاءَ غَيْرِ أَهْلِ مَكَّةَ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا صَارَ لَحْمًا صَارَ مَعْنَى الْقُرْبَةِ فِيهِ فِي الصَّدَقَةِ كَسَائِرِ الْأَمْوَالِ

العناية شرح الهداية (4/293)

المؤلف : محمد بن محمد البابرتي

( وَيَجُوزُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهَا عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ وَغَيْرِهِمْ ) خِلَافًا لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ لِأَنَّ الصَّدَقَةَ قُرْبَةٌ مَعْقُولَةٌ ، وَالصَّدَقَةُ عَلَى كُلِّ فَقِيرٍ قُرْبَةٌ. وَقَوْلُهُ ( وَيَجُوزُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهَا عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ وَغَيْرِهِمْ ) يَعْنِي بَعْدَمَا ذَبَحَهَا فِي الْحَرَم.

Jika dicermati aturan penyembelihan dan pendistribusian dam tamattu’ dari berbagai madzhab, maka tidak ada satupun pendapat diantara empat madzhab yang memperbolehkan wacana dari kemenag berupa penyembelihan dan pendistribusian di luar tanah haram, seperti Indonesia.

Adapun pendapat madzhab Hanbali yang menjadi sandaran kemenag dalam memperbolehkan penyembelihan damdan pendistribusian di luar tanah haram karena terdapat udzur tidak dapat dibenarkan. Jika ditelisik, konteks udzur yang dijelaskan dalam kitab madzhab Hanbali bersifat umum (dam tamattu’,qiran atau dam karena melanggar larangan ihram), seseorang yang melakukan haji dimungkinkan melakukan pelangaran ihram diluar tanah haram, seperti orang yang berangkat haji dari Madinah kemudian ditengah perjalanan dia memotong binatang buruan atau mencukur rambut, yang berkonsekuensi wajib membayar dam dan pada zaman dulu tentu sangat kesulitan jika pembayaran harus dilakukan di tanah haram, mengingat jarak yang cukup jauh dan potensi membusuknya daging dam, sehingga dalam madzhab Hanbali memperbolehkan penyembelihan dan pendistribusian dam di daerah pelanggaran.

Meskipun tidak terdapat satupun pendapat yang menyatakan kebolehan penyembelihan dan pendistribusian damdiluar tanah haram, wacana dari kemenag dapat ditemukan relevansinya jika menggunakan konsep talfiq (menggabungkan 2/lebih pendapat madzhab dalam satu ibadah) yaitu penyembelihan (dabhu) mengikuti pendapat dari qoul tsani madzhab syafi’i dan pendistribusian mengikuti madzhab Hanafi. Sebagian ulama menyatakan bahwa talfiq dalam satu permasalahan (qodhiyah) tidak dipermasalahkan selama tidak bertentangan dengan nash qoth’i dan ijma’. Sebagaimana keterangan di awal, bahwa tidak ditemukan nash qoth’i yang mengharuskan penyembelihan dan pendistribusian di Mekkah atau Tanah Haram, sehingga masih terdapat ruang untuk talfiq.

أصول الفقه الذي لا يسع الفقيه جهله (ص: 490)

أما التلفيقُ بالمعنى المشهور، وهو: «الإتيانُ في مسألةٍ واحدةٍ بكيفيةٍ لا يقولُ بها أحدٌ من المجتهدين السابقين»، فقد اختُلف في جوازه.

أصول الفقه الذي لا يسع الفقيه جهله (ص: 334)

وقد اشترط بعض العلماء لصحة التلفيق شروطاً، أهمها:

-أن لا يخالف إجماعاً أو نصاً من كتاب أو سنة.

-أن لا يكون بقصد التحلل من عهدة التكليف.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wacana yang dibawa kemenag memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara fiqh karena dengan berpijak pada konsep talfiq, yakni penyembelihan di luar Tanah Haram sendiri mengikuti pendapat qoul tsani mazhab Syafi’i dan pendistribusian daging dam di luar Tanah Haram mengikuti mazhab Hanafi. Kebijakan tersebut harus mengandung maslahah dan tidak mengikat (ilzam) terhadap jamaah haji Indonesia, dalam kata lain wacana kemenag bersifat opsional untuk jamaah yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembayaran dam yang sah secara syariat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *