Mahally.ac.id. – Air yang secara umum berupa cairan yang bening dan tembus pandang merupakan sumber daya alam yang sangat vital, sangat diperlukan, dan menentukan keberlanjutan kehidupan di muka bumi. Secara mendasar, air menjadi kebutuhan makhluk hidup, terutama untuk minum. Terkait dengan itu, air dapat dipilah menjadi dua: air yang dapat diminum dan air yang tidak dapat diminum. Air yang dapat diminum tersedia dalam bentuk air hujan, air permukaan dan air tanah. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, termasuk air hujan, sedang air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Air laut, walau termasuk air permukaan dan tidak terbatas jumlahnya, tidak dapat diminum, kecuali bila kandungan garamnya dapat dihilangkan.
Untuk dapat diminum, air harus memenuhi kriteria air bersih dan air sehat. Air bersih merupakan air sehat yang bening ( tidak berwarna), tidak berasa, tidak berbau, tidak tercemar bakteri, bahan beracun, dan tidak mengandung logam berat. Air bersih dengan demikian adalah air yang bermutu baik dan dapat dimanfaatkan manusia untuk konsumsi dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya, seperti mandi, mencuci, berwudu. Dengan demikian, air dengan kualitas, volume, lokasi, dan saat tertentu sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Namun, dengan kualitas, volume, lokasi, dan saat tertentu yang lain, air yang bersangkutan bisa berubah menjadi ancaman yang berbahaya bagi manusia. Air yang telah tercemar oleh bahan berbahaya dan beracun, atau air dengan volume yang besar (air banjir), misalnya, telah berubah menjadi sesuatu yang tidak diharapkan, bahkan ditakuti, atau menjadi bencana bagi manusia dan peradabannya.
Air adalah sumber daya pokok yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia dan keberlanjutan dunia. Tanpa air tidak akan ada kehidupan. Air digunakan untuk minum, menyediakan makanan dan untuk kesehatan. Tubuh manusia mengandung 55% sampai 78% air dan membutuhkan air 2-3 liter per hari untuk kelangsungan hidup. Selain itu, air digunakan untuk menciptakan energi dan mendorong aktivitas perekonomian, seperti industri dan transportasi. Air juga dibutuhkan alam untuk keberlangsungan hidup hewan dan tumbuhan. Semua organisme yang hidup di dunia memiliki ketergantungan mutlak pada unsur air. Oleh karena itu, air menjadi kebutuhan pokok (basic need) dan dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia (water as human right) yang harus terpenuhi.
Al-Quran menekankan pentingnya air dalam kehidupan dengan menyebutnya berkali-kali dalam berbagai tempat. Dalam kaidah ilmu tafsir disebutkan bahwa penyebutan suatu entitas berkali-kali dalam al-Quran menunjukkan tingkat urgensi entitas tersebut dalam kehidupan dan menuntut manusia untuk memberikan perhatian serius terhadapnya. Dalam al-Quran kata ma’ (air) muncul sebanyak 63 kali dalam berbagai konteks pembicaraan. Belum lagi kata-kata lainnya yang terkait, seperti anhar (sungai-sungai), ‘ain dan yanābi’ (mata air), serta bahr (lautan).
Nilai penting air bagi kehidupan seperti digambarkan dalam al-Quran sayang sekali ternyata tidak berbanding lurus dengan kenyataan aktual yang dihadapi manusia terkait dengan air. Dewasa ini air menjadi salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh umat manusia di planet bumi. Telah terjadi apa yang disebut dengan “krisis air” yang bersifat akut dan berskala global, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas air. Krisis air disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah pesatnya pertumbuhan populasi, perubahan iklim dan industrialisasi. Secara umum faktor penyebab krisis air adalah kehendak alam itu sendiri dan yang paling penting karena cara pandang serta perilaku eksploitatif manusia sebagai pengguna air.
Konstruksi Wacana Hukum Air
Sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai bagian dari komponen bangsa Indonesia, Muhammadiyah menyadari bahwa dirinya harus terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah krusial yang dihadapi umat manusia. Sejak awal Muhammadiyah memiliki komitmen yang kuat untuk membantu pemerintah serta bekerjasama dengan elemen manapun dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Fiqih air yang digagas Muhammadiyah adalah sekumpulan nili dasar (al-qiyam al- asasiyyah), Prinsip universal (al- usl al-kulliyah) dan rumusan implementatif (al-ahkam al-far’iyyah) yang bersumber dari agama islam mengenai air. Fikih air meliputi bagaimana pandangan hidup islam (Islamic worldview) tentang air, pemanfaatannya, pengelolaannya, konservasi dan kelestariannya, dan bagaimana mencukupi ketersediaan air bersih secara adil bagi seluruh masyarakat. Agama islam sebagai suatu sistem ideologi yang komprehensif dan universal, diyakini telah menyediakan seperangkat nilai, prinsip, dan ketentuan implementatif yang dapat dijadikan panduan dalam pengelolaan dan pengaturan sumber daya air. Nilai-nilai tersebut jika diimplementasikan dengan maksimal akan dapat menciptakan suatu sistem yang baik dan dapat melahirkan satu tatanan masyarakat yang sejahtera.
Air Dalam Tinjauan Fikih Islam (Hukum fikih tentang perlindungan terhadap air dan sumber-sumbernya)
Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa air adalah sumber sumber kehidupan. Al-Quran juga menegaskan bahwa bumi yang semula kering atau mati akan hijau atau hidup bila disiram dengan air hujan. Sumber-sumber air, seperti sungai dan sumur diwajibkan dalam fikih Islam untuk memeliharanya agar tetap bersih dan tidak tercemar dengan hal-hal yang mengotorinya sehingga membahayakan bagi penggunanya. Dalam fikih, pencemaran itu terjadi karena berbagai sebab, seperti najis atau kotoran manusia yang menyebabkan perubahan kemurniannya (kemutlakannya).
Larangan mengotori sumber air
Sungai sebagai tempat air bersih wajib dijaga dari pencemaran, terutama dari kotoran manusia. Oleh karena itu, diharamkan dalam fiqih islam membangun wc di atas sungai karena akan mencemari kebersihan air sungai tersebut. Dalam riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
اﺗﻘﻮا اﻟﻤﻼﻋﻦ اﻟﺜﻼﺛﺔ اﻟﺒﺮاز ﻓﻲ اﻟﻤﻮارد وﻗﺎرﻋﺔ اﻟﻄﺮﯾﻖ واﻟﻈﻞ
Artinya: Takutlah kalian dari tiga hal yang mendatangkan laknat: buang hajat di tempat air mengalir, di tengah jalan, dan di tempat berteduh.
Kewajiban menjaga lingkungan sumber air
Lingkungan sumber air, seperti sempadan sungai, keliling tenaga dan sumur wajib dijaga kebersihannya agar air yang ada di dalamnya tetap terjamin kebersihannya.
Dalam hadits riwayat Ahmad Rasulullah bersabda :
ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺣﻤﻰ اﻟﻨﻘﯿﻊ ﻟﻠﺨﯿﻞ ﻗﺎل ﺣﻤﺎد ﻓﻘﻠﺖ ﻟﮫ ﻟﻠﺨﯿﻠﮫ ﻗﺎل ﻻ ﻟﺨﯿﻞ اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ
Artinya: Bahwa Nabi SAW menjadikan Naqi’ sebagai hima untuk ternak kuda. Kemudian ditanyakan kepada Rasulullah, apakah hanya untuk kuda miliknya. Rasulullah menjawab, untuk kuda kaum muslimin.
Dalam riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda:
ان اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺣﻤﻰ اﻟﻨﻘﯿﻊ وان ﻋﻤﺮ ﺣﻤﻰ اﻟﺴﺮاف واﻟﺮﺑﺬة
Artinya: Bahwa Nabi SAW menjadikan Naqi’ sebagai hima dan umar menjadikan sharaf dan
Rabadzah juga sebagai hima.
Kata al-naqī‘ dalam dua hadis tersebut menurut Asy-Syaukani bermakna padang rumput dan sumber/ telaga air. Oleh karena itu lanjutnya, konsep iḥyā’ al-mawāt hanya bagi daerahdaerah yang tidak ada padang rumput dan sumber airnya. Wilayah yang berisi padang rumput dan sumber air tidak boleh digarap/dibuka oleh seseorang, tetapi menjadi hak bersama untuk keperluan kebutuhan air dan makanan ternak-ternak mereka.
Larangan membangun Pemukiman di sekitar sumber air
Sebagai konsekuensi dari ajaran ḥarīm (kawasan terlarang) dalam rangka menjaga kebersihan sumber air, maka diharamkan mendirikan bangunan pemukiman di sepanjang sepadan sungai dan di dekat sumber air karena akan dapat menyebabkan pengotoran terhadap air tersebut, terutama akibat limbah rumah tangga dan manusia. Meski pembangunan pemukiman akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat penghuninya, tetapi kemanfaatan itu dapat saja tidak sebanding dengan mudarat yang akan ditimbulkannya. Dalam kaidah fikih, kemudharatan harus dihilangkan lebih dulu dari menarik kemanfaatan.
As-Suyūṭī telah menuliskan beberapa kaidah fikih tersebut yang antara lain: aḍ-ḍararu yuzālu (kemudaratan harus dihilangkan), aḍḍararu lā yuzālu bi aḍ-ḍarari (kemudharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan), aḍ-ḍararu yuzālu biqadr al-imkān (kemudaratan dihilangkan sedapat mungkin), iża ta’āraḍa mafsadatāni ru’iya a’ẓamuhuma ḍararan bi irtikāb akhaffihima (apabila ditemukan dua kemudharatan, maka diambil kemudaratan yang terkecil dampaknya), dan dar’ almafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣālih (menolak kemudharatan didahulukan atas mengambil manfaat).
Aksiologi Wacana Fiqh Air
Istilah“aksiologi” berasal dari bahasa Yunani kuno dan tersusun dari dua kata: axios (bermanfaat) dan logos (ilmu atau teori). Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa aksiologi berarti ilmu atau teori tentang manfaat (Hexter,1968). Dalam penjelasan yang berbeda, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Dalam penjelasan yang berbeda, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.
Fikih air berlandaskan prinsip-prinsip universal sebagai berikut:
Pertama, keterlibatan publik, yaitu partisipasi semua elemen masyarakat yang meliputi pengun, perencana, atau pelaksana kebijakan terhadap air, yang harus memiliki perhatian dalam pengelolaan air. Laki-laki maupun perempuan, lembaga pemerintah lintas sektor dan lintas wilayah (pusat dan daerah) maupun masyarakat sipil, harus terlibat dan memiliki perhatian tentang pengelolaan air, dalam rangka menjamin keberlanjutan dan masa depan air.
Kedua, penyusunan skala prioritas, yaitu pemetaan air berdasarkan kebutuhan manusia yang dikategorikan menjadi primer (makan, minum, iabadah dan sanitasi), sekunder (mencuci mobil, motor, membuat kolam renang, membuat danau buatan untuk kepentingan rekreasi). Kebutuhan primer terhadap air didahulukan pemenuhannya dari kebutuhan sekunder dan tersier.
Ketiga, konservasi, yaitu usaha yang dilakukan dalam rangka mengatur air agar tetap menjadi sumber daya yang berkualitas dan berkelanjutan, supaya air tetap tersedia untuk digunakan di masa depan, sehingga generasi yang akan datang dapat menikmati air yang cukup, sehat dan terjangkau.
Keempat, regulasi kepemilikan air, yaitu pengaturan kepemilikan air, baik oleh publik maupun individu dengan tidak membuka lebar-lebar pintu privatisasi dan monopoli tanpa batas.
Keenam, regulasi distribusi air, yaitu pengaturan penyaluran air yang sejalan dengan program pengentasan kemiskinan sehingga warga masyarakat dari setiap lapisan memiliki akses yang sama terhadap air.
Bertitik tolak dari nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip universal di atas, melakukan langkah pencegahan dan penanganan terhadap krisis air adalah wajib bagi setiap subjek hukum. Karena itu, merusak sumber daya air sebagai salah satu unsur ekosistem adalah haram karena sama dengan merusak ekosistem secara keseluruhan
Merusak sumberdaya air baik kualitas maupun kuantitas air. Merusak kualitas air yang termasuk kategori haram, antara lain: membuang tinja, sampah, limbah pabrik, limbah tambang (timah, emas, besi, batubara) dan limbah perkebunan ke sungai, danau dan atau aliran air, dan menangkap ikan menggunakan peledak
Adapun pengertian merusak baik langsung maupun tidak langsung, dan yang termasuk kategori haram, antara lain: penebangan pohon secara liar, serta industrialisasi dan privatisasi yang memonopoli dan mengeksploitasi air sebagai kebutuhan publik.
Metode Ijtihad dalam Merumuskan Fikih Air
Metode ijtihad ialah prosedur berpikir logis dan sistematis dalam merumuskan hukum fikih. Prosedur berpikir itu telah dirumuskan sejak perkembangan awal hukum fikih, yaitu sejak para sahabat hidup bersama Nabi hingga sekarang. Metode ijtihad menjadi penting agar setiap keputusan hukum fikih tidak dihasilkan secara bebas (liberal). Metode ijtihad memberi arah kepada setiap orang untuk melahirkan hukum fiqih, baik berdasar nas ṣariḥ (terdapat dalil yang jelas penunjukannya terhadap hukum) yang dilakukan melalui pendekatan deduksi (istinbat), maupun berdasar substansi nas untuk masalah-masalah yang gair mansuṣ/maskut ‘anh atau masalah-masalah kontemporer, yang dilakukan melalui pendekatan induksi (istiqra). Dengan demikian, metode ijtihad untuk menemukan hukum fiqih, termasuk fikih air, dapat dilakukan melalui dua cara ini, deduksi (istinbāṭy) dan induksi (istiqrā’i). Ketika dalil-dalil hukum dapat dipahami dengan semata-mata memahami arti teks, maka pendekatan pertama dapat dilakukan, namun ketika dalil-dalil yang memberi petunjuk terhadap fakta hukum tidak ditemukan secara jelas, maka pendekatan kedua dapat dilakukan. Dengan dua pendekatan tersebut, kiranya tidak ada problema kehidupan yang dihadapi umat Islam, melainkan selalu dapat dijelaskan hukum fikihnya
Kesimpulan
Air yang secara umum berupa cairan yang bening dan tembus pandang merupakan sumber daya alam yang sangat vital, sangat diperlukan, dan menentukan keberlanjutan kehidupan di muka bumi. Air adalah sumber daya pokok yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia dan berkelanjutan dunia. Tanpa air tidak akan ada kehidupan.
Adanya hukum ini muncul karena adanya permasalahan “krisis air” yang dihadapi oleh manusia di planet bumi. faktor penyebabnya adalah pesatnya pertumbuhan populasi, perubahan iklim dan industrialisasi, dan yang paling penting karena cara pandang serta perilaku eksploitatif manusia sebagai pengguna air. Maka dari itu Muhammadiyah memiliki komitmen yang kuat untuk membantu pemerintah serta bekerjasama dengan elemen manapun dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Fikih air sebagai aturan hukum yang bersumber dari syariat Islam wajib dipelajari dan dipahami oleh umat Islam. Dengan pemahaman tersebut diharapkan lahir perilaku umat Islam yang sesuai dengan ajaran agamanya. Makalah singkat ini adalah bagian dari upaya untuk mengetengahkan kekayaan ajaran Islam yang mengatur semua masalah kehidupan, termasuk masalah air. Berbagai kekurangan dalam bahasan ini diharapkan mendapat saran untuk disempurnakan.
Daftar Pustaka
- Fety kumalasari dan Yogi satoto, Teknik Praktis Mengolah Air Kotor Menjadi Air Bersih Hingga Layak Minum (Bekasi:Laskar Aksara, 2011)h. 5-6.
- Kepribadian Muhammadiyah, Sifat Muhammadiyah Butir 7dan 9.
- Majelis Tarjih dan tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih.
- Sukarni, Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Kalimantan Selatan, Air Dalam Perspektif Islam
- Mi’roj Dodi Kurniawan, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu sejarah, Jurnal kajian sejarah dan Pendidikan sejarah Susugalur.
- Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-syaukani Relevansinya bagi pembaruab Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1999) hal.196.
Kontributor: Salma Umulkhoiriyah, santri Ma’had Aly PMH semester VI.