Mahally.ac.id – Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan melahirkan keturunan yang sholih dan sholihah. Namun demikian untuk mencapai tujuan tersebut bukanlah hal yang mudah, salah satunya adalah pemberian nafkah oleh suami, baik itu nafkah dhohir maupun nafkah batin. Seperti yang kita tahu bahwasannya nafkah adalah hak Istri dan anak anak, diantaranya yaitu pemberian makanan, pakaian, tempat tinggal, serta kebutuhan – kebutuhan pokok yang lainnya ataau yang biasanya kita sebut sebagai sandnag, pangan dan papan. Akan tetapi hal tersebut jika melihat dhohirnya tidak ada kebutuhan mengenai nafkah kesehatan. Lalu bagaimanakah jika seorang istri membutuhkan biaya kesehatan, seperti untuk pengobatan karena sakit atau perawatan medis lainya? Apakah hal itu tetap menjadi kewajiban seorang suami untuk memberikan hak tersebut kepada istrinya? ataukah itu menjadi tanggung jawab istri sendiri? Sedangkan dalam islam sendiri sangat menaruh perhatian lebih dalam hal menjaga kesehatan. Maka dari itu makalah ini dirasa sangat penting agar kita lebih tahu bagaimana hukum tersebut diambil jika dilihat dari filosofi hukum.
Pengertian Nafkah
Nafkah berasal dari kata infaq dalam artian memberi belanja dan kata ikhraj yang mempunyai arti mengeluarkan.[1] Kata nafkah terambil dari suku kata انفق – ينفق yang artinya mengeluarkan, membelanjakan, atau membiayai. Ensiklopedia Hukum Islam memberikan gambaran mengenai nafkah yaitu pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya dan dalam KBBI pengertian nafkah sendiri adalah belanja hidup atau bekal hidup sehari-hari. Akan tetapi pengertian nafkah yang disepakati oleh para ulama’ adalah belanja untuk keperluan makanan, pakaian, dan tetap tinggal, atau sering kita sebut sebagai sandang, pangan, dan papan.[2] Dan dari semua pengertian tersebut dapat ditarik benang merah bahwasanya yang dimaksud dari nafkah adalah kebutuhan yang wajib dikeluarkan oleh suami kepada istri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Terdapat banyak sekali ayat yang menerangkan kewajiban nafkah, salah satunya adalah ayat surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَد وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ
Kandungan yang dapat dilihat dari ayat tersebut adalah seorang ayah itu mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan istri baik itu sandang maupun papan sesuai dengan kebutuhannya. Dan dapat diibaratkan bahwasanya ibu itu seperti wadah bagi anaknya sedangkan bapak sebagai pemilik wadah tersebut, maka sudah sewajarnya kalau bapak berkewajiban memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggungannya. Dan penafsirannya dalam tafsir jalalain bahwasannya suami wajib memberi ganti rugi atau membayar istri karena telah menyusui anaknya.[3]
Yang termasuk kategori nafkah dalam kitab Mausu’ah al Fiqhiyyah Kuwaitiyyah adalah mencakup makanan, pakaian dan tempat tinggal dan segala sesuatu yang diperlukan. Yang dimaksud kewajiban nafkah makanan itu adalah sesuatu yang merupakan makanan pokok dalam negara tersebut contohnya seperti roti, kurma, susu, nasi dan lain sebagainya.[4] Sedangkan pemenuhan nafkah pakaian yakni yang bisa menutup aurat serta menahan diri dari cuaca panas maupun dingin begitupun dengan nafkah tempat tinggal.[5] Lalu bagaimana respon ulama’ mengenai nafkah suami dalam hal kesehatan kepada istri?
Hukum Memberi Nafkah Kesehatan
Sebelum menelisik lebih dalam mengenai hukum nafkah kesehatan kita seharusnya mengetahui apa itu kesehatan. Kesehatan sendiri berasal dari bahasa Arab Shihah, itu adalah bentuk masdar dari kata Shahha, Yashihhu, Shihhah yang artinya, hilangnya penyakit atau tidak adanya penyakit pada tubuh atau terlepas dari segala cacat. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasannya sehat itu tidak hanya dibatasi dalam sisi jasmani akan tetapi juga dari sisi mental, akal yang baik dan sebagainya.[6]
Mengenai pemberian nafkah kesehatan ulama’ berbeda pendapat, yaitu :
- Pandangan ulama’ yang tidak mewajibkan
Salah satu ulama’ yang tidak mewajibkan yakni pendapat dari Imam Nawawi yang terdapat dalam salah satu qoulnya yakni di kitab Minhaj al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, beliau mengatakan:[7]
لا كحل وخضاب , وما يزين , ودواء مرض, وآجرة وحاجم.
Maksud dari penggalan ini adalah suami tidak wajib menyediakan celak, pacar dan segala sesuatu yang bisa digunakan oleh istri untuk berhias, begitupun juga obat-obatan, biaya dokter dan bekam suami tidak berkewajiban menyediakannya.
Dalam hal ini, Imam al – Nawawi dengan tegas menyatakan bahwa seorang suami tidak berkewajiban menyediakan atau menanggung obat dan biaya pengobatan ketika ketika seorang istri sakit. Ketentuan ini sepertinya berlaku mutlaq karena Imam Nawawi tidak me
Sama halnya dengan Imam al- Nawawi, di dalam kitab Fathul Mu’in, Imam Malibari juga mengatakan,[8]
لا عليه طيب الا لقطع ريح كريح, و لا كحل ودواء لمرضها ؤاجرة طبيب, ولها طعام ايام المريض وادمها وكسوتها والة تنظفها. وتصريفه للدواء وغيرها.
Sama seperti pendapat sebelumnya yakni suami tidak wajib menyediakan parfum bagi istri kecuali memang dirasa sangat dibutuhkan untuk menghilangkan bau badan. Tidak wajib pula bagi suami menyediakan celak, obat-obatan dan biaya doter, akan tetapi ketika istri sakit suami tetap memiliki kewajiban memberi nafjah berupa makanan beserta lauk pauknya, pakaian dan alat-alat kebersihan lainya. Dan ketika itu juga istri boleh mengelola hak
Dari pernyataan yang dipaparkan oleh imam Malibari ini, tampak jelas bahwasannya beliau juga berpendapat suami tidak mempunyai kewajiban memberi biaya kesehatan untuk istri.
Alasan ulama’ yang tidak mewajibkan nafkah kesehatan kepada istri adalah komentar dari Al-Katib al-Syirbini yang merupakan alasan atas pandangan dari yang dikatakan oleh al – Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin. Beliau al-Katib al–Syirbini menuliskan di dalam kitab Mughni al Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz Al-Minhaj: [9]
ولا (دواء) مرض، (و) لا (أجرة طبيب وحاجم) ونحو ذلك كفاصد و جاتن، لأن ذلك لحفظ الأصل فلا يجب على مستحق المنفعة كعمارة الدار المستأجرة.
Dari sini dapat diambil kesimpulan alasan dari tidak di wajibkannya nafkah kesehatan adalah manfaat dari hal – hal tersebut yakni upaya menjaga asal (istri). Oleh karena itu orang yang hanya mempunyai hak memanfaatkan (suami) tidak berkewajiban untuk menanggung. Sebagaimana dalam urusan menyewa rumah, dalam hal ini istri diibaratkan sebagai rumah dan seorang suami yang menempatinya (memanfaatkan rumah tersebut dalam artian lain adalah penyewa), sehingga yang mempunyai kewajiban untuk merenovasi dan membenarkan jikalau terjadi kerusakan bukanlah penyewa melainkan orang yang memiliki rumah (orang tua dari istri).
- Pandangan ulama’ yang mewajibkan
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwasannya beberapa ulama bersepakat kalau nafkah kesehatan bukanlah kewajiban suami, baik itu berupa biaya berobat ke dokter atau uang untuk membeli obat-obatan dan sebagainnya. Akan tetapi, berbeda dari pendapat Syeikh Wahbah Zuhaili yang merupakan salah satu ulama’ kontemporer dari Syiria, beliau menolak pandangan para ulama’ yang menganggap nafkah kesehatan bukanlah kewajiban suami, dengan alasan nafkah kesehatan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan hal itu disamakan dengan kebutuhan pokok lainnya dan merupakan salah satu bentuk Mu’asyarah bi al-ma’ruf.[10]
Kata Mu’asyaroh dalam bahasa bahasa arab dapat diartikan dengan bergaul atau pergaulan yang mana didalamnya mengandung kebersamaan dan kebertemanan. sedangkan kata Ma’ruf berakar dari kata urf, yang bermakna adat, kebiasaan atau budaya. sedangkan adat atau kebiasaan itu tentunya sudah dikenal secara baik oleh masyarakat.[11]
Dalam kitab karya beliau Fiqh Islam Wa adillatuhu beliau menerangkan yang dinamakan Mu’asyarah bi al-ma’ruf adalah diwajibkan bagi seorang suami itu untuk mempergauli istrinya (memperlakukan) dengan baik karena adanya firman Allah surat an-Nisa’ ayat 19 (وعاشروهن بالمعروف). Dan diwajibkan bagi suami untuk mengeluarkan perkara yang diwajibkan dari haknya seorang istri tanpa adanya penundaan, dan ada hadist nabi yang menerangkan bahwasannya orang kaya yang menunda untuk membayar hutang itu termasuk orang yang dholim.[12]
Menimbang hak dan kewajiban antara suami dan istri harus dilandasi beberapa prinsip yaitu, kesamaan, keseimbangan dan keadilan antara keduannya. dalam al-Qur’an sendiri sudah dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 228 (ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف) menurut Syeikh Wahbah Zuhaili beliau berpendapat bahwasannya ayat tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak atas laki-laki, begitupun laki-laki mempunyai hak atas perempuan.
Pandangan Penulis melihat dari Filosofis Hukum
- Ulama’ yang tidak mewajibkan
Menurut pandangan filosofis ulama’ yang tidak mewajibkan dalam hal ini bukan berarti mengharamkan, dan jika melihat dari aspek nafkah yang wajib dikeluarkan oleh suami dalam waktu sehari itu bisa untuk memenuhi kebutuhan istri saat sakit.
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid dijelaskan:[13]
وَأَمَّا مِقْدَارُ النَّفَقَةِ: فَذَهَبَ مَالِكٌ إِلَى أَنَّهَا غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ بِالشَّرْعِ، وَأَنَّ ذَلِكَ رَاجِعٌ إِلَى مَا يَقْتَضِيهِ حَالُ الزَّوْجِ وَحَالُ الزَّوْجَةِ، وَأَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ الْأَمْكِنَةِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالْأَحْوَالِ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ. وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى أَنَّهَا مُقَدَّرَةٌ، فَعَلَى الْمُوسِرِ: مُدَّانِ، وَعَلَى الْأَوْسَطِ: مُدٌّ وَنِصْفٌ، وَعَلَى الْمُعْسِرِ مُدٌّ
Kesimpulan yang ada dalam paragraf kitab gersebut adalah menurut imam Malik dan imam Abu Hanifah takaran nafkah itu tidak ditentukan syara’ dalam arti lain yakni sesuai dengan kondisi suami, akan tetapi menurut Imam Syafi’i takaran nafkah untuk istri itu sudah diterangkan oleh syara’ yakni jikalau suami termasuk orang yang berpenghasilan tinggi maka kadar yang harus diberikan yakni 2 mud, dan untuk yang berpenghasilan menengah maka yang wajib diberikan adalah 1,5 mud, dan untuk yang kalangan kebawah yang wajib diberikan adalah 1 mud.
Jika satu mud dinilai dalam nominal rupiah Indonesia maka satu mud setara dengan 1.000.000, dan ini jika memang pastinya seperti ini maka jika istri sakit maka istri bisa mengobati dirinya sendiri menggunakan uang dari nafkah itu.
- Ulama’ yang memperbolehkan
Melihat dari tanggung jawab suami yang merupakan pemimpin rumah tangga, berarti suami harus mau dan mampu untuk menjalani hidup saat suka maupun duka, segala resiko dalam rumah tangga harus dilalui bersama. Layaknya pemimpin harus mengarahkan ke jalan yang baik dan benar.
Ketika melihat dari data bahwasanya 80% aktivitas belanja keluarga banyak diatur oleh istri, jadi peran istri dalam keluarga tidak hanya sebatas menjadi madrasah bagi anaknya tapi juga sebagai bendahara rumah tangga.[14] Jadi barang pasti jikalau istri sedangkan sakit maka akan menggunakan uang yang biasannya diberikan oleh suami.
Dalam pasal 80 KHI ayat 4 poin b menyatakan bah wasanya kewajiban suami terhadap istri diantaranya adalah memberikan nafkah, kiswah, dan tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi istri dan anak. Dari KHI sendiri sudah dijelaskan bahwa nafkah kesehatan merupakan tanggaung jawab suami. Mendukung KHI tersebut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu kehidupan berumah tangga sesuai kemampuannya. Dan ketika difahami secara mendalam UU bersifat umum yakni mencakup semua yang dibutuhkan istri.
Kesimpulan
Mengenai nafkah kesehatan ulama’ berbeda pendapat yakni :
Pemberian nafaqoh biaya kesehatan kepada seorang istri, ulama yang tidak mewajibkan bagi suami untuk memberikannya kepada seorang istri mempunyai alasan dikarenakan mereka menganggap bahwa biaya kesehatan adalah kewajiban seorang istri yang disamakan dengan hal merenovasi rumah, yang berhak merawatnya adalah yang milik rumah. Begitujuga pemberian nafaqoh kesehatan kepada istri, karena yang sakit fisik seorang istri, maka ulama berpendapat bahwa itu kewajibannya istri untuk membiayainya sebagai pemilik tubuh itu sendiri.
Pemberian nafaqoh biaya kesehatan kepada seorang istri, ulama yang mewajibkan bagi suami untuk memberikannya kepada seorang istri mempunyai alasan dikarenakan disamakan dengan kebutuhan pokok dan merupakan bentuk Mu’asyarah bi al ma’ruf.
Analisis filosofis dari permasalahan ini bisa dilihat memalui realitas zaman sekarang dan besarnya nafkah yang diterima oleh istri.
[1] Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, cet. Darul Ilmi, hal. 113
[2] Yulianti, “Kewajiban Suami Dalam Memberi Nafkah”, Jurnal Syariah Darussalam, Vol. 6, No. 2 (Jul-Des 2021) 50-51
[3] Imam Jalaludin Muhammad Bin Ahmad Al Mahalli, “Tafsir Jalalain”, cet.1 Darul Hadis, hal. 50
[4] Majmu’ Muallifin, “Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah”, juz 1, hal. 43 (maktabah syamilah)
[5] Isalyah dan Paryadi, “Pemenuhan Nafkah Pakaian Dari Suami Kepada Istri”, jurnal Ulumul Syar’i, Juni 2019, Vol.8, No. 2, hal. 32.
[6] K.H Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, cet. IRCiSoD, hal 201.
[7] Yahya bin Syaraf Al – Nawawi, Minhaj al – Thalibin wa ‘Umdah al – Muftin,(Beirut : Dar al Minhaj, 2005), hal 459
[8] Ahmad bin abd Aziz Al – Malibari, Fathul Mu’in, (Beirut : Dar Ibn Hzm, 2005), hal 540
[9] Al-Katib Al-syarbini. Mughni al Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz Al – Minhaj, )Dar al – makrifah, 1997), Juz 3 hal 565
[10] KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,.. hal. 218
[11] Ibid,. hal. 223
[12] Syeikh Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa-adillatuhu, cet. Darul Fikr, juz. 7 ,hal. 321
[13] Imam Ahmad Bin Rusyd, “Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid” cet. DKI, hal. 478.
[14] Sikapiuangmu.ojk.go.id, diakses tanggal 24 Februari 2023.
Kontributor: Shofiyatun Ni’mah, santri Ma’had Aly PMH semester VI.