Media sosial telah merevolusi cara manusia berinteraksi, menciptakan konektivitas tanpa batas yang melampaui hambatan geografis dan waktu. Sejak kemunculannya, platform seperti Facebook, Instagram, Twitter (sekarang X), dan TikTok telah merajut miliaran individu dalam sebuah jejaring digital raksasa. Namun, di balik narasi tentang “menghubungkan dunia,” muncul pertanyaan krusial: apakah media sosial benar-benar mempererat hubungan interpersonal atau justru tanpa sadar menjauhkan kita?
Di satu sisi, kekuatan media sosial dalam mempererat ikatan sosial tidak dapat dipungkiri. Ia memungkinkan individu untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman yang tinggal jauh, bahkan di benua berbeda. Reuni sekolah menjadi lebih mudah diorganisir, kabar duka dapat disampaikan secara cepat kepada khalayak luas, dan dukungan moral dapat mengalir deras melalui komentar dan pesan langsung. Lebih dari itu, media sosial telah menjadi wadah bagi komunitas dengan minat yang sama untuk bertemu dan berinteraksi, menciptakan ikatan yang kuat berdasarkan hobi, pekerjaan, atau perjuangan sosial. Contoh nyata adalah bagaimana gerakan sosial dan kampanye filantropi seringkali bermula dan menyebar melalui media sosial, menyatukan individu untuk tujuan bersama yang mulia. Dalam konteks Indonesia, media sosial menjadi alat vital bagi diaspora untuk tetap terhubung dengan kampung halaman, melestarikan budaya, dan bahkan menggalang dana untuk kemanusiaan.
Namun, sisi gelap dari konektivitas ini mulai menampakkan diri. Fenomena “oversharing” dan validasi diri berbasis likes dan followers dapat mengubah interaksi otentik menjadi pertunjukan semu. Hubungan yang terjalin secara virtual seringkali dangkal, tidak mampu menggantikan kedalaman interaksi tatap muka yang melibatkan nuansa ekspresi, bahasa tubuh, dan empati sejati. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan perasaan kesepian dan isolasi, ironisnya justru di tengah keramaian digital. Waktu yang seharusnya digunakan untuk berinteraksi langsung dengan orang-orang di sekitar kita, justru tersita untuk menggulir linimasa, menciptakan “jarak fisik” bahkan di antara mereka yang duduk berdekatan. Ketergantungan pada media sosial juga memicu fear of missing out (FOMO) dan perbandingan sosial yang tidak sehat, memicu kecemasan dan ketidakpuasan terhadap kehidupan nyata.
Pandangan Fiqh tentang Media Sosial
Dalam perspektif fiqh Islam, media sosial, seperti teknologi lainnya, adalah alat yang sifatnya netral (mubah). Hukum penggunaannya bergantung pada bagaimana ia dimanfaatkan. Prinsip-prinsip dasar Islam seperti menjaga silaturahmi, menghindari ghibah (gosip), fitnah, ujaran kebencian, menjaga privasi orang lain, dan berpegang pada kebenaran, menjadi pedoman utama dalam berinteraksi di dunia maya.
Apabila media sosial digunakan untuk mempererat tali silaturahmi, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, berdakwah, menyerukan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar) dengan cara yang bijaksana, serta berbagi kebahagiaan dan empati, maka penggunaannya adalah dianjurkan atau bahkan wajib dalam konteks tertentu (misalnya, dakwah). Banyak ulama dan lembaga keagamaan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan Islam dan edukasi keagamaan secara luas.
Sebaliknya, jika media sosial digunakan untuk menyebarkan kebohongan (hoax), ghibah, fitnah, menipu, menyebarkan konten pornografi, ujaran kebencian, memamerkan diri secara berlebihan (riya’), atau bahkan mengancam dan mencelakakan orang lain, maka penggunaannya adalah haram. Fiqh menekankan pentingnya menjaga kehormatan, privasi, dan hak-hak orang lain, baik di dunia nyata maupun maya. Konsep tabayyun (klarifikasi) sangat ditekankan sebelum menyebarkan informasi, untuk menghindari fitnah dan penyebaran berita palsu. Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, bermedia sosial bukanlah sekadar aktivitas hiburan, melainkan sebuah medan amal yang menuntut kehati-hatian dan kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Kesimpulan
Pada akhirnya, pertanyaan apakah media sosial mempererat atau menjauhkan kita tidak memiliki jawaban tunggal “ya” atau “tidak”. Media sosial adalah pedang bermata dua. Ia memiliki potensi luar biasa untuk menyatukan, memberdayakan, dan memperkaya interaksi manusia. Namun, ia juga berpotensi menciptakan ilusi konektivitas, memicu isolasi, dan merusak hubungan otentik jika tidak digunakan dengan bijak. Kuncinya terletak pada kesadaran dan kontrol diri pengguna. Dengan etika digital yang kuat, pemahaman akan batasan, dan prioritas pada interaksi dunia nyata, kita dapat memastikan bahwa media sosial menjadi alat yang benar-benar mempererat, bukan menjauhkan.






