Berqurban atas Nama Orang yang Telah Tiada: Bolehkah dalam Mazhab Syafi’i?

Kolom Santri636 Dilihat

Qurban! Sudah tidak asing lagi bukan? Yang mana merupakan salah satu ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan setiap tanggal 10 Dzulhijjah sampai akhir hari tasyrik. Kegiatan ini juga memiliki historis yang kuat dalam syari’at islam. Dalam pelaksanaannya, qurban menjadi ibadah yang bukan hanya berdimensi spiritual, tetapi juga sosial, karena manfaatnya dirasakan oleh banyak orang, khususnya kaum dhuafa.

Di tengah arus perkembangan masyarakat muslim, yang awal mulanya berqurban itu dilaksanakan bagi orang yang masih hidup, kini muncul tradisi berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia. Dari keluarganya yang menyembelih hewan qurban dan mendediksikan pahala amalan tersebut bagi orang yang sudah tiada. Baik kakek, nenek, orang tua, ataupun kerabat yang sudah tiada sebagai bentuk kasih sayang dan do’a. Namun tradisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah berqurban bagi orang yang sudah meninggal itu diperbolehkan? Lalu bagaimana pendapat ulama’ madzhab  syafi’i tentang hal tersebut? Melalui tulisan ini, penulis akan membahas pandangan ulama’ madzhab syafi’i mengenai hukum berqurban baik bagi orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.

Sebelum membahas apa hukumnya, mari kita ketahui terlebih dahulu apa arti dari kata qurban. Kata” Qurban” dalam literatur fiqh, di muat dalam pembahasan Udhiyyah. Adapun udhiyyah dalam kitab Fathul Wahhab yakni:

وَهِيَ مَا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ تَقَرُّبًا إلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ يَوْمِ عِيدِ النَّحْرِ إلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ كَمَا سَيَأْتِي وَهِيَ مَأْخُوذَةٌ مِنْ الضَّحْوَةِ سُمِّيَتْ بِأَوَّلِ زَمَانِ فِعْلِهَا وَهُوَ الضُّحَى[1]

Artinya: Udhiyyah yaitu hewan yang disembelih dari binatang ternak yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah mulai dari hari ‘iidin nahri (hari raya nahr/ idul adha) sampai akhir hari tasyriq. Udhiyyah diambil dari kata Dhahwah. Udhiyyah dinamakan dengan awal waktu pelaksanaannya, yaitu waktu Dhuha.

Sementera istilah Qurban cakupannya lebih luas, yakni:

اَلْقُرْبَانُ : مَا يَتَقَرَّبُ بِهِ الْعَبْدُ إِلَى رَبِّهِ ، سَوَاءُ أَكَانَ مِنَ الذَّبَائِحِ أَمْ مِنْ غَيْرِهَا

وَالْعَلَاقَةُ الْعَامَّةُ بَيْنَ الْأُضْحِيَّةِ وَسَائِرِ الْقَرَابِيْنِ أَنَّهَا كُلَّهَا يُتَقَرَّبُ بِهَا إِلَى اللهِ تَعَالَى ، فَإِنْ كَانَتْ الْقَرَابِيْنُ مِنَ الذَّبَائِحِ كَانَتْ عَلَاقَةُ الْأُضْحِيَّةِ بِهَا أَشَدَّ ، لِأَنَّهَا يَجْمَعُهَا كَوْنُهَا ذَبَائِحَ يُتَقَرَّبُ بِهَا إِلَيْهِ سُبْحَانَهُ ، فَالْقُرْبَانُ أَعَمُّ مِنَ الْأُضْحِيَّةِ [2]

Artinya: Qurban yaitu apa-apa yang dijadikan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya, baik berupa sembelihan atau yang lainnya. Pertalian antara keduanya secara umum adalah kesemuanya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan jika qurban berupa sembelihan maka pertalian udhiyyah (qurban) dengannya lebih sangat, karena pertalian tersebut mengumpulkan adanya udhiyyah menjadi sembelihan yang dijadikan untuk mendekatkan diri kepada_Nya – Maha Suci Dia- (Dengan demikian) Qurban lebih umum dari Udhiyyah.

Lalu apakah hukumn mlaksanakan ibadah qurban untuk orang yang sudah meninggal? Dalam hal ini ulama’ di mazhab syafi’i terdapat perbedaan pendapat sebagaimana berikut:

  1. Pendapat Mayoritas

(وَلاَ تَضْحِيَةَ عَنِ الْغَيْرِ) الْحَيِّ (بِغَيْرِ إذْنِهِ) وَبِإِذْنِهِ تَقَدَّمَ (وَلاَ عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا) وَبِإِيصَائِهِ تَقَعُ لَهُ.[3]

Tidak sah, kecuali jika ada wasiat atau merupakan buah dari persyaratan harta wakaf. Ibnu Hajar memberi alasan karena qurban termasuk bentuk tebusan dosa diri seseorang sehingga memerlukan izin dalam melaksanakannya untuk diatas namakan orang lin. Berbeda dengan sedekah.

            Berpijak dari pendapat mayoritas madzhab Syafi’i di atas, qurban untuk orang meninggal harus disedekahkan keseluruhannya, pihak mudlahhí tidak boleh makan untuk dirinya atau mengambil daging atas nama keluarga yang wajib dinafkahinya. Karena pihak mudlahhi dalam hal ini berstatus sebagai wakil dari mayyit dalam membagikan daging qurban, sehingga, jika ia mengambil untuk dirinya atau keluarga yang menjadi tanggung jawabnya akan terjadi unsur ittihādu al-qabidl wa al-muqbidl (dualisme peran menerima dan menyerahkan barang) yang tidak diperkenankan dalam kacamata fiqh Syafi’iyyah.[4]

  1. Pendapat Imam Ar-Rofi’i

 

وَقَالَ الرَّافِعِيُّ: فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَحُكِيَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ السَّرَّاجِ شَيْخِ الْبُخَارِيِّ أَنَّهُ خَتَمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ آلَافِ خَتْمَةٍ وَضَحَّى عَنْهُ مِثْلَ ذَلِكَ[5]

Sah meskipun tanpa wasiat, karena qurban termasuk bagian dari sedekah. Konon , al-Syaikh Abu al-‘Abbas al-Saraj -gurunya al-Bukhari, pakar hadits- telah menghadiahkan sebanyak sepuluh ribu khataman bacaan al-Qur’n dan berqurban untuk bagida Rasulullah.

Sebagiaman yang telah dipaparkan diatas, praktik qurban bagi orang yang telah tiada dalam madzhab syafi’i ternyata terdapat ikhtilaf. Pendapat Mayoritas ulama syafi’iyyah mensyaratkan adanya wasiat, dan jika dilakukan tanpa wasiat maka tidak sah. Lalu sebagian ulama seperti Imam Ar-Rafi’i berpendapat membolehkan tanpa wasiat karena menganggap qurban sebagai bentuk sedekah, yang pahalanya bisa dihadiahkan kepada si mayit. Untuk kehati-hatian dan agar amalan lebih sesuai dengan syariat, jika si mayit pernah berwasiat, maka qurban atas namanya diperbolehkan menurut semua pendapat. Jika tanpa wasiat, maka lebih baik menyertakan niat sedekah dan hadiah pahala, dan mengikuti pandangan yang memperbolehkan hal tersebut (pendapat Imam Rafi’i).

[1] Abu Yahya Zakariyya Bin Muhammad Bin Ahmad Zakariyya Al-Anshori, Fathu al-Wahhab Syarah Minhaj Ath-Thullab, (Maktabah at-Tibyan), Cet.1, 2016, hlm. 319.

[2] Al-Auqof Al-Kuwaitiyah, Al-Mausu`ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz 5, hlm. 74.

[3] Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Kanzuar-Raghibin Syarh Minhaj at-Thalibin, (Maktabah as-Salam) Cet.3, 2020, hlm. 623.

[4] Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarhi al-Minhaj, Juz 9, hlm.368.

[5] Syekh Syihabuddin Ahmad Al Qalyubi dan Syekh Syihabuddin Ahmad Al Barlis Umairah, Hasiyah al-Quliyubi wa Umairoh, (Surabaya: Maktabah Imaratullah), juz 4, hlm. 255.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *