Dialektika Ilmu Kalam dan Ushul Fiqh

Kolom Santri698 Dilihat

Berangkat dari yang disampaikan oleh Syekh Jamaluddin Isnawi bahwa ushul fiqh merupakan ilmu yang luhur dan tinggi derajatnya, karena di dalamnya membahas tentang kaidah-kaidah hukum syariah dan landasan dasar fatwa-fatwa masalah furu‘ yang dengan hal itu orang-orang mukallaf mendapat kemaslahatan baik di dunia dan akhirat. Sedangkan para ulama ushuliyyin lainnya seperti Imam Fakhruddin ar-Razi mendefinisikan ushul fiqh sebagai kumpulan daripada dalil-dalil fiqhyang bersifat ijmali dan tata cara mengambil dalil-dalil tersebut serta sifat daripada para mujtahid. Ta‘rif ini tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh Imam al-Amidi. Perlu diperhatikan bahwa utama daripada fiqh itu bersifat teks, terutama Al-Qur’an dan Hadis.

Mengenai hukum yang berada dalam Al-Qur’an, Imam Syafi‘i telah menegaskan dalam kitabnya ar-Risalah: “Bahwa tidak ada satu pun perkara di dunia yang Allah turunkan melainkan di dalam Al-Qur’an terdapat sebuah petunjuk akan hal tersebut.” Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa keberadaan Al-Qur’an, begitu juga Hadis sebagai penjelasnya, bersifat tekstual yang membutuhkan pemahaman mendalam dengan berbagai perangkat untuk istinbath atau memetik mengenai hukum-hukum di dalamnya. Hal tersebut hanya dimiliki seorang mujtahid. Artinya, perlu adanya tata cara perumusan bagi seorang faqih atau mujtahid terhadap nash-nash yang ada, baik Al-Qur’an maupun Hadis, dalam menghasilkan suatu hukum.

Yang perlu diketahui adalah di antara syarat pokok menjadi mujtahid itu tercakup dalam dua hal. Pertama: ia mengerti akan wujudnya Allah, sifat-sifat wajib bagi Allah dari segala kesempurnaan bahwa Allah itu wajib wujud-Nya, berkehendak, mutakallim. Ia juga dituntut menggambarkan sebuah taklif (pembebanan) syariat bagi mukallaf, kemudian membenarkan Rasulullah beserta ajaran yang dibawa baik dari segi mu‘jizat, ayat-ayat, argumentasi berdasarkan syariat yang ia jadikan sandaran hukum-hukum secara nyata. Kedua: ia mengerti dan bijaksana dalam pengetahuannya terkait sumber-sumber hukum syariat, pembagiannya, metode-metodenya, wajh dilalah serta madlul-nya, perselisihan kedudukan hukum, juga syarat-syarat yang mu‘tabarah seperti segi pengunggulan, penetapan dalil saat bertentangan, dan lain sebagainya. Dari syarat di atas diketahui bahwa pengetahuan tentang ilmu kalam atau akidah juga turut diperhatikan. Menurut Abu Ishaq, penamaan istilah fiqh pada era awal itu mencakup seluruh bidang keilmuan termasuk akidah, akhlak, adab, hak-hak ‘ubudiyyah, dan lainnya. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah menyusun kitab dengan judul Fiqh Akbar. Selain itu, dalam mazhab Syafi‘i juga ada kitab yang selaras dengan milik Abu Hanifah dengan judul Kaukab al-Azhar, syarah dari Fiqh al-Akbar Imam Syafi‘i.

Kendati begitu, menurut Syekh Abdul Wahhab Khalaf, kerasulan Al-Qur’an dalam hukum-hukum yang disampaikan tidak terlepas dari tiga hal, yakni:

  1. I‘tiqadiyyah: membahas kewajiban perihal keyakinan,

  2. Khuluqiyyah: membahas kewajiban perihal sifat-sifat terpuji yang hendaknya dimiliki serta meninggalkan sifat-sifat tercela, dan

  3. ‘Amaliyyah: membahas segala sesuatu dari mukallaf, baik ucapan atau perbuatan, mencakup ibadah, muamalah, transaksi, dan lain-lain.

Menurut beliau, pada poin ketigalah ushul fiqh berperan, atau dibahasakan sebagai Fiqh al-Qur’an sebagaimana dikatakan oleh Syekh Wahbah Zuhayli.

Namun tidak dapat dipungkiri, saat mengkaji ushul fiqh tidak jarang kita disuguhkan masalah-masalah i‘tiqadiyyah seperti permasalahan kewajiban syukr al-mun‘im, hasan dan qabih, bahkan dibuat dalam contoh seperti “ketiadaan naskhkewajiban ma‘rifat pada Allah” sebagaimana disampaikan oleh Syekh Zakariyya al-Anshari dalam kitabnya Ghayah al-Wushul, yang mana kerap kali beliau juga menampilkan pendapat ulama Mu‘tazilah. Selain itu, dalam segi penulisannya, ushul fiqh juga bermula dari dua metode, yakni thariqah mutakallimin yang kita sadari bahwa thariqah mutakallimindiprakarsai oleh banyak ulama ahli kalam, di antaranya seperti Qadhi ‘Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili, Syekh Fakhruddin ar-Razi, dan lainnya. Dan thariqah Hanafiyyah, yang pada akhirnya disusul oleh thariqah muta’akhkhirin dengan menggabungkan dua thariqah sebelumnya.

Oleh karena itu, perlu adanya telaah kembali sejauh mana makna fiqh dalam ushul fiqh ini, apakah mencakup fiqh asgharsaja atau juga fiqh akbar. Hal ini juga berkaitan dengan hukum fiqh yang kerap kali dilayangkan seperti tentang percaya akan hari baik, ziarah, memakai susuk, bergurau atas nama malaikat dan bidadari yang erat kaitannya dengan akidah.

Dalam kitabnya Al-Faqih wa al-Mutafaqqih, Khatib al-Baghdadi menyampaikan saat Abu ‘Abbas ibn Yahya ditanya terkait firman Allah QS. al-Baqarah ayat 129:

﴿ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ ﴾ [البقرة: ١٢٩]

Beliau menjawab: yang dimaksud hikmah dalam ayat tersebut ialah “fiqh syai’” (memahami sesuatu). Kemudian ditanya, lantas apakah al-Kitab bukanlah hikmah? Beliau menjawab: Maksudnya seseorang tidak dapat dikatakan sebagai hakimmanakala ia tidak mengerti makna Al-Qur’an dan fiqh. Artinya, seseorang tidak dapat disebut sebagai hakim jika hanya mengerti salah satunya.

Imam Tirmidzi dalam kitabnya Nawadir al-Ushul fi Ahaditsi ar-Rasul menjelaskan bahwa fiqh termasuk daripada tindakan hati. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Kasyifatu as-Saja juga menyampaikan bahwa ‘amaliyyah hati lebih utama daripada ‘amaliyyah tubuh, khususnya iman. Iman inilah yang erat kaitannya dengan akidah. Hanya saja, telah disampaikan oleh Imam Syafi‘i atas hukum keharaman menyibukkan diri dengan ilmu kalam, sampai-sampai beliau mengatakan: “Berjumpanya seorang hamba pada Allah dengan membawa dosa-dosanya selain syirik itu lebih baik daripada dia berjumpa dengan Allah dengan membawa ilmu kalam.” (Muqaddimah al-Majmu‘, hlm. 63). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu kalam juga memiliki peran besar dalam hal akidah, khususnya dalam membangun argumentasi teologis, bahkan pada era awal penggagas ushul fiqh sendiri mayoritas berasal dari kalangan mutakallimin.

Marâji‘:

  1. Al-Faqih wa al-Mutafaqqih

  2. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam

  3. Ar-Risalah

  4. Ghayah al-Wushul

  5. Muqaddimah al-Majmu‘

  6. Nawadir al-Ushul

  7. Nihayah al-Sul

Khamdi Ali (Santri Ma’had Aly)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *