Fenomena “mengumbar maksiat di media sosial” merujuk pada praktik individu yang secara terbuka mempublikasikan atau menunjukkan perilaku-perilaku yang secara syariat Islam dianggap dosa atau pelanggaran moral, melalui platform media sosial. Istilah “GARIS MERAH DI KEPALA” yang Anda sebutkan bisa jadi merupakan metafora untuk menandai atau menunjukkan secara jelas suatu perbuatan yang sebenarnya tabu atau dilarang, namun justru dipamerkan.
Media sosial adalah fasilitas interaksi manusia di ruang terbuka yang menghubungkan seseorang dengan orang lain di waktu yang sama, meskipun dengan tempat yang jauh berbeda. Media sosial seharusnya berfungsi dan digunakan untuk membantu manusia dalam melakukan interaksi jarak jauh, akan tetapi sering digunakan juga untuk tujuan yang negatif dengan menyebarkan konten tidak baik yang bermuatan maksiat seperti mempertontonkan aurat, joget ria mengumbar aurat, serta menayangkan pengakuan dosa yang telah di lakukan. Para konten kreator seakan bangga dan tidak merasa malu dengan perilaku tersebut.
Beberapa bentuk umum dari fenomena ini antara lain:
Pameran Perilaku Amoral: Contohnya, memposting foto atau video yang terlalu terbuka, menunjukkan kemesraan yang tidak pada tempatnya, atau perilaku lain yang melanggar norma kesopanan dan syariat.
Bangga Melakukan Dosa: Ada kecenderungan sebagian individu untuk tidak hanya melakukan maksiat, tetapi juga merasa bangga dan ingin mendapatkan validasi atau perhatian dengan memamerkannya di ruang publik media sosial.
Konten Provokatif: Membuat konten yang secara sengaja memancing kontroversi atau menampilkan hal-hal yang dilarang agama demi popularitas atau keuntungan pribadi (misalnya, menjadi viral, mendapatkan endorse, dll.).
Normalisasi Dosa: Ketika perilaku maksiat terus-menerus dipamerkan, ada risiko terjadinya normalisasi di mata masyarakat, terutama generasi muda, sehingga batas antara yang baik dan buruk menjadi kabur.
Respons dari Perspektif Fikih Sosial
Fikih sosial (Fiqh al-Ijtima’i atau Fiqh al-Mujtama’) adalah cabang fikih yang mengkaji hukum-hukum Islam dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan dampaknya terhadap tatanan sosial. Terhadap fenomena mengumbar maksiat di media sosial, fikih sosial memberikan respons yang komprehensif, mencakup aspek individu dan komunitas. Biar tidak dapat memicu perilaku-perilaku yang lebih parah lagi.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang-orang yang terang-terangan (berbuat dosa).” (HR. Bukhari dan Muslim).
- Dampak Negatif Terhadap Masyarakat (Mudarrah Ammah): Fikih sosial sangat menekankan prinsip jalb al-masalih wa dar’ al-mafasid, Penyebaran Fahisyah (Kekejian), Rusaknya Moralitas Publik, Hilangnya Rasa Malu (Haya’), Tersebarnya Kemungkaran, Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
(Fikih sosial menekankan peran aktif umat Islam dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar). Ini bisa dilakukan melalui:
- Edukasi dan Dakwah.
- Nasihat Personal.
- Literasi Digital.
- Penyediaan Konten Positif..
- Peran Pemerintah dan Lembaga.
- Menjaga Kehormatan Diri dan Masyarakat (Hifz al-Nafs wa al-‘Irdh).
- Prinsip Sadd al-Dhari’ah (Menutup Pintu Kerusakan).
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, menegaskan bahwa mengumbar maksiat termasuk dosa yang tidak pernah diampuni oleh Allah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قال : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ. (رواه البخاري و مسلم)
Rasulullah bersabda, “Semua umatku diampuni kecuali para mujahir. Sesungguhnya termasuk ketidakpedulian ialah melakukan (amal buruk) di malam hari lalu di pagi hari, menceritakan perbuatan buruk tersebut, padahal Allah sudah menutupi aibnya dan dia sendiri menyingkapnya” (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Bahkan, dalam kitab Bariqah Mahmudiyah (3/137) disebutkan bahwa dosa kecil bisa berubah menjadi dosa besar dengan beberapa sebab. Di antaranya, menceritakan kepada orang lain dan berpotensi mendorong orang lain melakukan dosa.
Imam Ghazali menyatakan, mengumbar aib kepada orang lain dengan tujuan pelecehan, penghinaan, dan kesombongan sebagai tindakan tercela. Pernyataan tercela dimaksud oleh Imam an-Nawawi diarahkan pada hukum makruh karena tidak ada unsur maslahat sama sekali. Kendati demikian, an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar-nya menyebut, apabila tujuannya bertanya, minta fatwa hukum, minta solusi dan arahan agar tidak mengulangi lagi, atau konsultasi terkait sebab muasal di balik maksiat yang dilakukan, maka hal itu diperbolehkan.
sebagaimana dikutip dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
وَأَمَّا الْمُجَاهِرُ وَالْمُتَهَتِّكُ فَيُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يُسْتَرَ عَلَيْهِ، بَل يُظْهَرُ حَالُهُ لِلنَّاسِ حَتَّى يَتَوَقَّوْهُ، أَوْ يَرْفَعُهُ لِوَلِيِّ الأَْمْرِ حَتَّى يُقِيمَ عَلَيْهِ وَاجِبَهُ مِنْ حَدٍّ أَوْ تَعْزِيرٍ، مَا لَمْ يَخْشَ مَفْسَدَةً، لأَِنَّ السَّتْرَ عَلَيْهِ يُطْمِعُهُ فِي مَزِيدٍ مِنَ الأَْذَى وَالْفَسَادِ قَال النَّوَوِيُّ: مَنْ جَاهَرَ بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ جَازَ ذِكْرُهُ بِمَا جَاهَرَ بِهِ دُونَ مَنْ لَمْ يُجَاهِرْ بِهِ
“Adapun pengumbar maksiat, dianjurkan untuk tidak ditutup-tutupi lagi. Justru ditampilkan keadaannya tersebut hingga masyarakat berhati-hati, atau dilaporkan ke pemerintah hingga bisa ditindaklanjuti dengan hukuman had atau takzir, selagi tidak dikhawatirkan timbul mafsadah, karena jika ditutupi maka berpotensi semakin liar. Imam an-Nawawi mengatakan bahwa penyebar kefasikan atau bidah, boleh disinggung maksiat yang disebarkan bukan pelakunya.”
KESIMPULAN
Oleh karena itu, makruh bagi pelaku maksiat mengumbar kemaksiatannya sendiri kecuali berpotensi mendorong orang lain bermaksiat, yang bisa naik ke tingkat haram. Sementara bagi kita, boleh menyinggung aib seseorang, sepanjang maksiat yang telah diumbar, tetapi tetap haram menyinggung aib-aib lain yang diprivasi. Secara keseluruhan, fikih sosial memandang fenomena mengumbar maksiat di media sosial sebagai ancaman serius terhadap moralitas dan tatanan sosial. Responsnnya adalah mendorong individu untuk bertakwa dan menjaga diri, serta menggerakkan masyarakat dan negara untuk aktif mencegah dan memberantas fenomena ini melalui edukasi, dakwah, literasi digital, dan regulasi yang tegas, demi menjaga kemaslahatan umat dan menegakkan nilai-nilai Islam.