Pendahuluan
Keluarga sakinah adalah suatu harapan yang sangat diidamkan oleh setiap pasangan. Namun di tengah dinamika kehidupan yang begitu kompleks, sering kali harapan ini terbentur oleh realitas sosial. Karena sebagian masyarakat masih mempetakan tanggung jawab dalam rumah tangga secara kolektif tanpa mempertimbangkan aspek kemampuan setiap personal.
Seorang suami sering kali disematkan sebagai tulang punggung keluarga dan sang istri sebagai ibu rumah tangga secara mutlak. Hal ini menimbulkan saling klaim kebenaran antara suami istri dalam bagian peran yang mereka jalani. Sehingga terjadilah konflik yang sering melandai dan berujung pada ketidakharmonisan suatu hubungan keluarga.
Prinsip Taklif bi al-Wus`ah dalam QS. Al-Baqarah:286
Taklif bi al-wus`ah adalah kewajiban yang dibebankan kepada seorang mukallaf sesuai dengan kemampuannya.[1]Varian taklif ini lahir dari firman Allah dalam surah
al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ الله نَفْساً إِلَاّ وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Ayat ini menunjukkan adanya pembatasan taklif, yaitu dengan menyesuaikan kemampuan setiap individual dalam menjalankan tugas sebagai seorang hamba untuk menggapai ridha Allah.
Dalam konteks menuju kelaurga sakinah, prinsip taklif bi al-wus`ah menekankan tepatnya porsi tanggung jawab sesuai kapasitas fisik, emosional dan spiritual. Implementasi dari prinsip ini dapat diwujudkan dengan adanya komunikasi antara pasangan secara jujur dalam menilai kapasitasnya, dan memutuskan kesepakatan peran dengan tepat.
Adapuun pandangan masyarakat yang mempetakan tanggung jawab atas dasar `urf (budaya) sejatinya benar. Karena pendapat mereka secara dalil diambil dari Surah al-Nisa` ayat 34:
الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Imam al-Baghami dalam tafsirnya secara eksplisit menyatakan bahwa kaum laki-laki dengan kelebihan yang diberikan Allah, selain mengemban tugas sebagai kepala rumah tangga juga menjadi tulang punggung keluarga.[2] Akan tetapi ayat tersebut tidak bersifat mutlak, karena hanya menetapkan tanggung jawab yang bersifat fundamental bagi setiap pasangan.
Pernyataan mutlak inilah muara dari kesalahan pemahaman yang diyakini oleh masyarakat. Nabi Muhammad SAW sendiri telah memberikan ajaran akan pentingnya harmonisasi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah:
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهله
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku (Nabi Muhammad) orang yang paling baik bagi keluargaku”[3]
Penutup
Pemetaan mayarakat yang begitu kuat, karena sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Dengan memutlakkan tanggung jawab tulang punggung keluarga pada suami dan ibu rumah tangga pada istri, tanpa melihat segi kemampuan setiap pasangan. Menimbulkan dampak negatif yang begitu kuat dan menyebabkan konflik (kerenggangan) hubungan dalam keluarga.
Prinsip Taklif bi al-Wus`ah dalam QS. Al-Baqarah: 286 menawarkan solusi yang sangatlak realistis dalam upaya mewujudkan keluarga yang sakinah. Karena prinsip ini mengajarkan adanya pembagian peran secara fleksibel, terus terang dan adil. Sehingga dalam hubungan keluarga terjalin dengan harmonis dan tanpa terjerat beban yang berlebihan.
[1] Al-Sya`rawi, Tafsir al-Sya`rawi, 1997, juz: 2, hal. 1242
[2] Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, (Beirut, Dar Ihya` Turats al-`Araby, 1420 H.), juz: 1, hal. 110
[3] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut, Dar Ihya` Turats al-`Araby, 1431 H.), juz: 1, hal. 636