Implementasi Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir dalam Ibadah Penyandang Difabel

Kolom Santri391 Dilihat

Seorang penyandang difabel memiliki kemampuan yang berbeda dalam menjalankan aktifitasnya sebagaimana orang pada umumnya. Dalam menjalankan ibadah, kondisi tersebut menjadikan tantangan tersendiri bagi seorang difabel. Walaupun pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk sempurna. Akan tetapi Allah SWT menciptakan manusia bermacam-macam. Ada yang lahir membawa kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Secara fisik dan jasmani, rangka manusia hakikatnya sama. Tetapi secara intelektual, kemampuan manusia juga berbeda.  Dalam Islam tidak kemudian memaksakan untuk menjalankan ibadah dengan sempurna yang mana dijelaskan dalam Kaidah Fiqhiyyah adanya kemudahan bagi orang yang kesulitan menjalankan suatu kewajiban.

Pengertian Difabel

Difabel merupakan kepanjangan dari different ability people (masyarakat berdaya). Pada dasarnya difabel bukanlah orang yang tidak memiliki kemampuan (disable), tetapi seseorang yang menjalankan aktivitasnya dengan kondisi fisik atau mental yang berbeda dengan orang pada umumnya. Kondisi ini bisa disebabkan dari bawaan sejak lahir atau muncul ketika sudah dewasa, seperti faktor penyakit, malnutrisi, kecelakaan, penganiayaan, atau faktor lain yang dapat menyebabkan cacat fisik dan atau mental. [1]

Ada beberapa macam penyandang difabel:

  1. Tunanetra: seseorang yang indra penglihatannya tidak dapat berfungsi dengan normal dalam kegiatan sehari-harinya. Tanda-tandanya seperti penglihatan yang kurang tajam dibandingkan dengan orang pada umumnya, gangguan lensa, saraf otak sulit mengendalikan posisi mata, rusaknya struktur saraf otak yang menghubungkan indra penglihatan.
  2. Tunarungu: seseorang yang memiliki gangguan pendengaran sehingga tidak mampu mengenali berbagai suara.
  3. Tunalaras: seseorang yang tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya dan berperilaku tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
  4. Tunadaksa: seseorang yang mengalami cacat tubuh atau anggota tubuhnya tidak mampu berfungsi dengan normal yang bisa disebabkan oleh genetik, penyakit, pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga tubuhnya ini perlu perawatan khusus.
  5. Tunagrata: seseorang memiliki kemampuan jauh dibawah rata-rata. Kondisi ini biasanya ditandai dengan keterbatasan kemampuan kognitif dan tidak mampu bersosial. Penyebab utamanya karena faktor gangguan genetik, pra-kelahiran yang terjadi karena pembuahan, dan proses selama masa pertumbuhan remaja.
  6. Lumpuh otak (Celebral palsy): seseorang mengalami kelainan saraf yang menyebabkan penumpukan cairan pada otak yang kemudian berpengaruh pada seluruh tubuh. Salah satu penyebabnya yaitu kehamilan tidak sehat, kelahiran sebelum waktunya, kecelakaan yang tidak sengaja, dan faktor genetik.
  7. Gifted: seseorang yang memiliki kemampuan akademik dan bakat yang diatas rata-rata yang disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.[2]

Penerapan Kaidah al-Masyaqqah Tajlibu al-Taisir

Kaidah المشقة تجلب التيسير merupakan salah satu prinsip penting dalam ilmu fiqh. Secara bahasa berarti keberatan atau kesulitan bisa mendatangkan kemudahan. Maksud dari kaidah tersebut yaitu apabila seorang mukallaf menghadapi kesulitan atau kesukaran dalam menerapkan hukum syari’at yang sudah ditentukan dalam nash, maka ada keringanan bagi mukallaf tersebut sehingga mampu untuk melaksanakannya.[3] Ada tujuh sebab adanya keringanan dalam syariat, yaitu: terpaksa, lupa, tidak tahu, kesulitan, bepergan, sakit, dan adanya kekurangan.[4] Dalam konteks ini seorang difabel termasuk dalam kategori kesulitan untuk melakukan kewajban sesuai ketentuan syara’ dan adanya keterbatasan dalam fisik atau mental yang mana menyebabkan ketidaksempurnaan untuk beraktivitas.

Dalam sudut pandang fiqhiyyah, penyandang difabel tetap ditaklif untuk menjalankan kewajiban syariat selama mereka masih mampu bekerja dengan baik (dengan catatan akal mereka masih berfungsi dengan baik). Namun dalam pelaksanaannya tetap mempertimbangkan kondisi fisik mereka. Mereka diperbolehkan menjalankan kewajiban sesuai dengan batas kemampuannya tanpa mengurangi nilai keutamaan ibadah tersebut.

Melihat macam-macam bentuk difabel dan merujuk pada kaidah al-Masyaqqah tajlibu al-Taisir, kemudian dapat disesuaikan dengan para penyandang difabel dalam melaksanakan ibadahnya. Sebagai contoh seorang difabel dalam melaksanakan sholat, dan bersuci. Seorang difabel tuna daksa atau cacat yang mana kondisinya tidak memungkinkan untuk sholat dengan berdiri maka diperbolehkan untuk duduk, dan apabila tidak mampu untuk duduk maka diperbolehkan untuk tidur dengan berbaring miring. Apabila dirinya merasakan kesakitan maka tidak boleh memaksakan fisiknya. Sebagaimana Al-Quran menegaskan kemudahan terhadap penyandang difabeldalam QS. Al-Fath ayat 17 dan QS. At-Taghabun ayat 16. Selaras juga dengan hadist yang berbunyi:[5]

صلِّ قائمًا، فإن لم تستطع فقاعدًا، فإن لم تستطع فعلى جنبٍ

Contoh dalam masalah sesuci baik mandi atau wudlu bagi seorang difabel netra (tunanetra). Mereka dengan kondisi seperti itu tidak mengetahui dengan pasti suci atau tidaknya air yang akan digunakan untuk bersuci. Menurut jumhur ulama’, ketika penyandang tunanetra akan menggunakan air, mereka harus percaya dan menerima isyarat atau pemberitahuan dari orang lain bahwa air itu suci atau najis dengan dijelaskan sebab najisnya dan tidak diperbolehkan berijtihad sendiri. Kemudian apabila penyandang tunanetra tersebut kebingungan karena ada dua wadah air maka menurut madzhab Hanafiyyah dan Syafi’iyyah diperbolehkan berijtihad sendiri berdasarkan dugaan kuatnya dan dengan menggunakan indra lain yang berfungsi. Sama halnya ketika kebingungan untuk menentukan pakaian yang suci untuk digunakan shalat, maka dia berusaha semampunya mana yang dianggap suci.[6]

Namun harus diperhatikan agar keringanan di atas dilakukan hanya oleh penyandang difabel yang kesulitan untuk bersuci dan shalat dengan sempurna, bukan mereka yang menganggap ringan masalah ini dan mengambil yang mudah-mudah saja.

Kesimpulan

Ibadah merupakan kewajiban bagi semua muslim. Namun, tidak semua ibadah bisa dilakukan dengan mudah oleh para penyandang difabel sebab keterbatasan yang mereka miliki. Oleh karena itu ada keringanan bagi mereka dalam menjalankan ibadah sesuai dengan kemampuannya yang mana selaras dengan kaidah al-Masyaqqah tajlibu al-Taisir.

 

[1] Ari Zuntriana, “Hak atas Informasi Bagi Difabel”, Pustakaloka: Jurnal Kajian Informasi dan Perpustakaan, Vol. 3. No. 11 (2011), 2.

[2] Nadila Aprilia Ning Tias, “Mengenal dan Memahami Fiqh Difabel”, Maliki Interdisciplinary Journal, Vol. 2 (2024), 979-980.

[3] Jalaludin Abdurrahman al-Suyuthi, Al-asybah wa al-nadzair, Dar al-Kutub, cet. 1, 76.

[4] Ibid, 77-78.

[5] Lembaga Bahtsul Masail PBNU, P3M, & PSLD Unibraw, Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas. Jakarta Pusat: Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Cet.1 (2018), 71-72.

[6] Ibid, 76.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *