KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH TERHADAP KELUARGA BAGI SUAMI YANG SAKIT MENURUT IMAM SYAFI’I

Kolom Santri528 Dilihat

Nafkah menurut bahasa (Etimologi) berasal dari bahas Arab yaitu dari kata Infaq, yang berarti membelanjakan. Sedangkan menurut para ulama fiqh, nafkah mengandung beberapa pengertian, antara lain:

  1. Syaeikh Ibrahim Bajuri, menyebutkan bahwa kata nafkah diambil dari kata infaq, yang berarti “Mengeluarkan”. Dan menurutnya kata nafkah ini tidakdigunakan kecuali untuk kebaikan.
  2. Menurut Abur Rahman al-Jaziri, “nafkah secara kebahasaan adalah mengeluarkan dan membayarkan. Seperti perkataan “saya menafkahkan ternak” apabila ternak itu telah keluar dari pemiliknya dengan menjual atau merusaknya. Maka apabila ia katakan, “saya menafkahkan benda ini, niscaya habis terjual”.
  3. Wahbah al-zuhaili, menjelaskan bahwa “nafkah” menurut istilah dalam ungkapan para fuqaha‟, adalah belanja (biaya hidup) yaitu makanan saja.3Sedangkan menurut istilah, para ulama‟ tidak berbeda pendapat dalam memberi definisi akan tetapi yang berbeda dalam redaksinya.Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad bin Ismail al-Kahlani :“Nafkah itu merupakan sesuatu yang diberikan oleh manusia dalam hal apa yang dibutuhkannya sendiri atau yang dibutuhkan oleh orang lain, yang berupa makanan, minuman, dan selain keduanya”.

Dasar Hukum Nafkah

 Nafkah merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang suami kepada istrinya untuk memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan. Didalam Al-Qur‟an sudah dijelaskan tentang nafkah itu sendiri, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233:

Artinya “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih darkesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.16 (QS al-baqarah [2] 233).

Syarat-syarat Wajib Nafkah

Nafkah keluarga menjadi wajib apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:

  1. Adanya hubungan kerabat yang mewajibkan adanya hubungan waris-mewaris antara kerabat yang membutuhkan dan kerabat yang mampu.
  2. Adanya kebutuhan kerabat yang menuntut nafkah. Apabila kerabat yang bersangkutan tidak membutuhkan nafkah dari kerabat lain, kerabat tersebut tidak berhak mendapatkan nafkah, meskipun masih kanak-kanak.
  3. Kerabat yang menuntut nafkah tersebut tidak mampu berusaha sendiri.
  4. Orang yang dibebani kewajiban nafkah cukup mampu, kecuali kewajiban nafkah untuk anak atau orang tua. Wajib nafkah untuk anak atau orang tua hanya disyaratkan bagi orang yang mampu bekerja, tidak harus punya harta banyak. Dengan demikian, ayah yang mampu bekerja wajib bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah bagi anak- anaknya.
  5. Satu agama, kecuali nafkah untuk anak dan orang tua. Petunjuk Al-Qur’an bahwa orang yang mempunyai hu- bungan waris yang antara lain diperlukan adanya syarat satu agama,. Syarat ini tidak diperlukan dalam hkewajiban memberi nafkah dari orang tua kepada anak, demikian pula dari anak kepada orang tua.

Kriteria orang sakit yang mendapat rukhshah (keringanan).

 Orang yang sakit tetap ada taklif (beban) untuk mengerjakan perintah dan menjauhi larangan, tetapi keadaan orang sakit berbeda dengan orang yang sehat dipandang dari dua segi:

a. Kewajibannya mengerjakan ibadah sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalil dari al-Quran dan Sunnah tentang keringanan bagi orang yang sakit.Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria orang sakit yang mendapat rukhshah (keringanan), di antaranya:

  1. Jumhur ulama berpendapat: ”Kriteria orang sakit yang mendapat rukhshah adalah seseorang yang menderita sakit keras, yakni ketika seseorang melakukan ibadah maka sakitnya akan bertambah parah atau kesembuhannya tertunda”.
  2. Ahli Dzahir berpendapat: “Kriteria orang sakit yang mendapat rukhshah adalah sakit apapun yang menimpanya. Walaupun hanya sakit ibu jari, sakit gigi atau perut.”

   Ahlu Dzahir berargumen, karena ayat yang menjelaskan keringanan bagi orang sakit bersifat umum yakni apapun jenis sakitnya”.Seperti firman Allâh SWT dalam Q.S. al-Baqarah/2: 196

Artinya: “Jika ada di antaramu yang sakit”

b. Apabila seseorang sakit yang sangat parah dan tidak ada harapan sembuhnya (sakit yang membawa kematian).Maka sejak mulai sakitnya itu menyebabkan dia al-hajru (tidak berlaku) segala transaksi atau aktivitas yang berkaitan dengan hartanya. Hal ini bertujuan untuk menjaga hak ahli waris dan orang yang pernah memberikan pinjaman kepada orang yang sakit tersebut. Oleh karena itu maka tidak diperbolehkan melaksanakan wasiat yang dilakukan pada saat sakit sebelum menunaikan kewajibannya untuk membayar utang piutang. Dan tidak boleh melaksanakan wasiatnya lebih dari sepertiga hartanya.

Solusi Nafkah Bagi Orang Sakit Menurut Imam Syafi’i

   Menurut Imam Syafi‟i yang ditulis oleh sayyid sabiq dalam buku fiqh sunnah ia mengemukakan pendapatnya. ketidakmampuan suami dalam memberi nafkah bukan berarti kewajibannya gugur sama sekali,nafkah yang tidak terlaksana oleh suami maka status nafkah tersebut menjadi hutang yang harus dibayar ketika ia sudah mampu, atau dapat gugur apabila istri merelakannya atau membebaskannya. Maka dalam hal ini seorang suami yang tidak bisa memberi nafkah keluarga dikarenakan sakit, dan jika suami telah sehat maka ia berkewajiban membayar semua hutang nafkah keluarga selama ia sakit, dan hutang nafkah tidak gugur kecuali adanya pelunasan atau pembebasan dari istrinya.

Mengenai hutang nafkah suami, istri dapat melapor kepada hakim, dan ia boleh menuntut penetapan nafkah yang harus ditanggung oleh suaminya sejak nafkah tersebut tidak diberikan. Seorang istri hendaklah melaporkan tuntutan hutang nafkah secepat mungkin jangan sampai menunda dengan waktu yang lama, sehingga sampai terkumpul tuntutan tanggungan hutang nafkah menjadi jumlah yang besar, hal ini karena akan menjadi beban dan memberatkan tanggungan ekonomi seorang suami. Mengenai besarnya nominal nafkah terhutang yang harus ditanggung oleh pihak suami, maka hakim dapat merujuk pada kebutuhan istri dan anaknya, sesuai dengan biaya hidup bulanan keluarga, termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainnya yang tentunya harus berpedoman pada kondisi perekonomian pihak suami, kepatutan dan kelayakanya. Cara hakim menentukan nafkah seorang istri haruslah bersandar pada sebab sebab yang jelas dan juga harus meminta pertimbangan pada para pakar di bidangnya.

Jika suami tidak mempunyai harta sedikit pun, suami tidak sanggup memberikan nafkah minimal orang miskin bahkan untuk sekedar memberi makan keluarganya. maka suami dapat menyuruh istri untuk memilih (berkhiyar) antara menetap bersama suaminya atau bercerai. Tetapi, istri  tidak boleh meminta cerai jika seandainya suami masih bisa atau masih mampu memberi nafkah diatas standar nafkah orang miskin. Apabila suami kaya dan memiliki harta yang ada saat itu, maka nafkah istri dan anaknya diambilkan dari harta tersebut, bila hartanya berupa harta tidak bergerak atau mempunyai barang yang bisa dijual, maka bisa menjualnya dan memberikan nafkah keluarganya dari hasil tersebut setiap harinya.

Jika seorang suami memberi nafkahnya terkait dengan suatu pekerjaan, lalu ia tidak mampu bekerja karena sakit, maka perlu ditinjau terlebih dahulu, apabila sakit itu bisa diharapkan kesembuhannya dalam dua atau tiga hari, maka istri tidak berhak menfasakh pernikahan, karena si istri bisa meminjam untuk nafkah kemudian menggantinya. Namun apabila sang suami sakit yang sakitnya berkepanjangan, maka istri berhak menfasakh pernikahan, karena ia terancam bahaya lantaran tidak adanya nafkah.

DAFTAR PUSTAKA

Dendi Irawan, Status Nafkah Keluarga Ketika Suami Dalam Keadaan Sakit,Riau,Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau-Pekanbaru

Syaikhul Arif,. Mhd. Fakhrurrahman Arif,Nafkah Dan Problema Keluarga, Jurnal Hukum Keluarga Islam, Volume 2, Edisi Ii (Desember 2022)

Mahmuddin, “Rukhsah (Keringanan) Bagi Orang Sakit Dalam Perspektif Hukum Islam,” Jurnal Ilmiah Al-Qalam, Vol. 11, No. 23, (2017), H. 69.

Anita Lusita, Kewajiban Memberikan Nafkah Terhadap Keluarga Bagi Suami Yang Sakit Keras Menurut Imam Syafi’i , Riau,Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau-Pekanbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *