Legalitas Qiyas Ulama Muqallidun

Kolom Santri178 Dilihat

Qiyas merupakan salah satu metode dalam menetapkan hukum Islam, digunakan ketika tidak terdapat penjelasan hukum suatu perkara secara eksplisit dalam nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Secara bahasa adalah mengukur atau menyamakan. Secara istilah adalah menyamakan hukum suatu masalah baru yang tidak ada nashnya dengan masalah yang sudah ada penjelasan hukumnya dalam nash karena ada persamaan dalam segi illat (alasan sebuah hukum) diantara keduanya (ashl dan far’u( menurut orang yang menyamakannya.  Definisi ini mengutip dari penjelasannya Syekh Tajuddin as-Subuki dalam kitabnya Jam’u al-Jawami’:

الْقِيَاسِ وَهُوَ حَمْلُ مَعْلُومٍ عَلَى مَعْلُومٍ لِمُسَاوَاتِهِ فِي عِلَّةِ حُكْمِهِ عِنْدَ الْحَامِلِ

Bertambahnya sebuah permasalahan dalam realitas kehidupan ini memang sudah menjadi keniscayaan. Namun, jawaban atas permasalahan yang ada tidak semua dijawab oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah secara eksplisit, karena teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah berhenti, dan juga penjelasan dari para imam madzhab. Maka dari itu perlunya melakukan ijtihad (usaha untuk menetapkan hukum pada permasalahan baru) dan tajdid (pembaruan hukum disesuaikan kondisi sosial yang ada) untuk menjawab permasalahan yang baru muncul.

Adapun muqallid adalah ulama atau individu muslim yang mengikuti atau mengamalkan pendapat hukum seorang mujtahid atau mazhab tertentu tanpa harus mengetahui secara detail dalil-dalil dan proses istimbath al-ahkam yang digunakan oleh mujtahid tersebut. Mereka berpegang pada fatwa atau hukum yang telah disimpulkan oleh para mujtahid.

 Kemudian sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah para ulama pengikut imam madzhab (العلماء المقلدون) boleh melakukan qiyas?. Sementara permasalahan dalam realitas kehidupan semakin bertambah banyak, dan tidak terdapat penjelasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan juga penjelasan dari para imam madzhabnya.

Melakukan ijtihad memang suatu hal yang harus dilakukan oleh para ulama muqallidun untuk menjawab hukum permasalahan yang baru muncul yang tidak ada penjelasannya secara eksplisit dalam nash dan penjelasan dari para imam madzhab. Dalam hal ini melakukan ijtihad dengan menggunakan metode qiyas boleh dilakukan oleh selain para ulama mujtahid, yakni para ulama muqallidun, sebagaimana pendapatnya Syekh Waliyuddin bin ‘Iraqy dalam kitabnya Ghaits al-Hami’ Syarkh Jam’u al-Jawami’:

قَوْلُهُ: عِنْدَ الحَامِلِ، لِيَخْتَصَّ بِالمُسَاوَاةِ فِي نَفْسِ الأَمْرِ، ولَمْ يُعَبِّرْ بِالمُجْتَهِدِ، لِيَتَنَاوَلَ المُقَلِّدَ الذي يَقِيسُ علَى أَصْلِ إِمَامِهِ[1]

tidak menggunakan kata ‘mujtahid’, agar mencakup orang yang bertaqlid (muqallid) dapat melakukan qiyas (menganalogikan) berdasarkan dasar hukum imamnya.

dan dengan melalui ijtihad jama’i (kolektif). Hal ini dikarenakan pada zaman modern ini mencari sosok sebagaimana Imam Syafi’i dan para ulama mujtahid sudah tidak ditemukan lagi.[2]

Namun perlu diketahui bahwasannya dalam melakukan qiyas, ulama muqallidun hanya boleh sebatas melakukan tahqiq al-manath. Adapun tahqiq al-manath adalah penelaahan untuk menemukan ‘illat hukum (yang sudah ditemukan imam mujtahid) di dalam permasalahan yang belum ada hukumnya (far’u/maqis) yaitu masalah (wâqi’ah) yang dibahas:   تَحقيقُ المَناطِ فإثباتُ العِلَّة في آحادِ صُوَرِها .[3] Dengan kata lain, tahqiq al-manath adalah proses pembuktian bahwa ‘illat pada hukum ashl juga ditemukan pada kasus baru (far’u).

Sementara penentuan ‘illat pada hukum ashl hanya boleh dilakukan oleh ulama mujtahid mutlak atau muqayyad, karena hal ini merupakan pencarian dan penentuan illat dengan menelaah teks dalil dari nash yang hanya dapat dilakukan oleh sesorang yang mempunyai kapasitas mujtahid, [4] dan bisa dilakukan dengan takhrij al-manath atau tanqih al-manath.[5]

Seperti contoh mengqiyaskan keharaman mengkonsumsi sabu-sabu dengan keharaman mengkonsumsi khamr, yang mana ‘illat memabukkan juga ditemukan pada sabu-sabu dengan cara melakukan tahqiq al-manath yang dilakukan oleh ulama muqallidun. Sementara ‘illat memabukkan pada khamr hanya boleh ditentukan oleh ulama mujtahid dengan cara takhrij al-manath atau tanqih al-manath.

[1] Syekh Waliyuddin bin ‘Iraqy, Ghaits al-Hami’ Syarkh Jam’u al-Jawami’, [DKI Beirut,2004], h 515.

[2] Umdah el-Baroroh & Tutik Nurul Jannah, FIQH SOSIAL Masa Depan Fiqh Indonesia, [Pusat Fisi, Cetakan Ketiga, 2023], h 78.

[3] Muhammad Faeshol Muzammil, Posisi Tahqiqul Manath dalam Fatwa,

(diakses tanggal 5 Agustus 2025).

[4] Ibid.

[5] Lihat definisi takhrij al-manath dan tanqih al-manath dalam artikel Posisi Tahqiqul Manath dalam Fatwa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *