Mbah Liem ; Kiai Pencetus NKRI Harga Mati*)
Oleh : M. Abdul Aziz**)
K.H. Muslim Rifa’i Imampuro atau yang kerab disapa Mbah Liem adalah seorang kyai nyentrik dari Klaten Yogyakarta yang lahir pada tanggal 24 April 1924 M. Melalui pernikahan beliau dengan Hj. Ummi As’adah, beliau dikaruniai 9 orang anak yaitu; Hj. Siti Choiriyah, K.H. Jalaluddin Muslim, K.H. Saifudin Zuhri, H.M. Choiri Qomaruddi, Hj. Siti Lailatul Qodriyah, Hj. Siti Nunung Choirul Barijah, H. Moch. Choiri Fathullah, Siti Nasriatullah Hilalil Imamatil Islam (alm.) dan Hj. Dyah Permata Nawaksa Rara Mursiyah. Ayah Mbah Liem bernama KH. Bakri Teposumarto yang merupakan anak pertama dari eyang khasan Minhaj. Adapun Ibunya bernama RA. Marsilah yang merupakan putri dari Imampuro, keturunan Raja Pakubowono IV.
Meskipun Mbah Liem merupakan keturunan dari priyayi dan bangsawan ternama dari Keraton Surakarta Hadiningrat, Namun Mbah Liem memilih meninggalkan lingkungan keraton dan hidup dalam kesederhanaan.
Meskipun Mbah Liem merupakan keturunan dari priyayi dan bangsawan ternama dari Keraton Surakarta Hadiningrat, Namun Mbah Liem memilih meninggalkan lingkungan keraton dan hidup dalam kesederhanaan.
Sebenarnya tidak ada yang mengetahui Identitas Mbah Liem secara pasti. Berdasarkan cerita, Mbah Liem dahulu pernah berjualan di pasar klewer solo dan juga pernah menjadi penjaga rel kereta api di stasiun Jatinegara. Kemudian pada Tahun 1953 M. Mbah Liem berguru kepada kiai Siradj, pengasuh Pondok Pesantren Pajang Kartasuro. Atas saran dari Kiai siradj untuk mengembangkan visi agama Islam, Mbah Liem pindah ke Klaten, tepatnya Dukuh Sumberejowangi, Desa Troso, Kecamatan Karanganom pada tahun 1959 M. Disanalah Mbah Liem menjalankan dakwahnya kepada masyarakat Sumberejo yang kala itu masih banyak diwarnai dengan perilaku yang menyimpang, hingga pada tahun 1974 M., atas amanat dari sang guru, Mbah Liem mendirikan pesantren yang saat ini dikenal dengan pesantren Al-Muttaqin Pancasila Sakti.
Wali Arsip dan Wali Pancasila
Mbah Liem pernah mendapatkan julukan dari Gus Dur sebagai Wali Arsip, Julukan tersebut diberikan karena pada saat Mbah Liem ikut hadir dalam pertemuan kiai tahun 1980-an M., beliau membawa 9 stopmap yang berisi syahadat, sholawat, dan pesan. Beliau lalu membagikan 8 stopmap kepada hadirin dan menyisakan sebuah stopmap yang ternyata untuk arsip. Gelar lain yang melekat pada diri Mbah Liem adalah Wali Pancasila. Rasa cintanya terhadap NKRI sangatlah tinggi. “sing tak aboti NKRI sak isine,” tutur beliau dahulu. Hal ini disebabkan karena semenjak kurun tahun 1983 M., Indonesia digegerkan oleh para kelompok Islam radikal yang mempermasalahkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Sehingga dari situlah Mbah Liem bertekad untuk mengajak masyarakat dalam memahami hakekat Islam secara utuh, serta selalu menanamkan dan memupuk rasa cinta tanah air. Bahkan, Mbah Liem mewajibkan kepada para santrinya untuk mendoakan NKRI setiap setelah Iqomah sebelum shalat, dan membaca doa keselamatan bangsa. Doa tersebut berbunyi sebagai berikut:
… سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ تَبَرَكَ اسْمُكَ وَ تَعَالى جَدُّكَ لَا اِلَهَ غَيْرُكَ
“… Duh Gusti Allah, Pengeran kulo. Kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno lare ingkang soleh, maslahah, manfaat dunyo akhirat, bekti wong tuo, agama, bangsa, maedahi tonggo, biso gowo becik ing deso soho NKRI. Keparingan aman, makmur, damai, para pengacau agama lan para koruptor keparingan sadar, sadar, sadar! Sumberejo wangi berkah ma’muman Mekkah.” Doa tersebut merupakan simbol dorongan dan gelora semangat juang untuk setia kepada NKRI sampai titik darah penghabisan.
Ajaran-ajaran Mbah Liem
Walaupun Mbah Liem memang tidak pernah membacakan sebuah Kitab kepada para santrinya, akan tetapi beliau langsung mengajarkan dengan ilmu hal (Tindakan) atau memberi contoh langsung. Diantara ajaran-ajaran Mbah Liem yaitu:
1. “Nguwongke Uwong, Gawe Legane Uwong”. Mbah Liem selalu menghargai dan menerima setiap orang dengan segala potensi dan niat baiknya. Kalau pun kita tidak membutuhkan, mungkin manfaatnya bisa dirasakan keluarga, tetangga atau masyarakat.
2. “3 T” (Titi – Tatak – Tutuk). Mbah Liem mengajarkan jika melaksanakan setiap tugas dalam hidup haruslah Titi (cermat, teliti dan selektif), Tatak (legowo, sabar), sehingga Tutuk (sampai, selesai dengan hasil yang memuaskan).
3. “3 K” (Kuli – Kiai – Komando). Setiap santri haruslah mampu memerankan diri sebagai Kuli (siap bekerja keras), Kiai (siap mengamalkan ilmu dan berdo’a), Komando (siap menjadi pemimpin yang piawai mengambil keputusan, bijak serta berwibawa).
4. “Kita harus Tegak, Tegas, dan Tegar selama benar”. Setiap melaksanakan kebenaran kita harus Tegak (Penuh keyakinan, tidak goyah oleh pengaruh apapun), Tegar ( tak kenal kompromi terhadap pelanggar aturan), Tegar ( Ikhlas, Sabar).
5. “3 R” (Rampung bangunane – Rame jama’ahe – Rukun masyarakate). Dalam mendirikan sarana apapun ada 3 hal yang harus diupayakan yakni Rampung bangunan (bisa terwujud ), Rame jama’ahe (berfungsi dan dibutuhkan para pemangku kepentingan), Rukun masyarakate ( menjadi sumber kedamaian dan perekat persatuan ).
6. “Aja Mung Benteng Ulama, ning Nahnu Anshorullah, Masyriq-Maghrib” di samping perannya sebagai Benteng Ulama, Banser seharusnya mampu menjalankan peran yang lebih luas di seluruh permukaan bumi, dalam bingkai “Nahnu Anshorulloh”.
7. “3 S” (Sholat – Sinau – Sungkem). Maksudnya “Sholat” Seorang santri harus tekun beribadah, prihatin dan berdoa. “Sinau” santri harus belajar terus menerus. “Sungkem” santri harus mempunyai akhlak yang mulia, tau sopan santun, tawadhu’ pada Kyai/Guru.
8. “2 B” (Berhasil – Berkah). “Berhasil” dalam mencapai cita – cita/usaha harus mempunyai komitmen yang kuat agar tercapai yang di inginkan, “Berkah” dalam setiap cita – cita/ usaha harus di mulai dengan niat ibadah (niat baik) agar mendapat keberkahan dari Allah SWT.
9. “Dadi uwong ki ojo gur mangan terus, tapi yo Ngising barang” (Jadi orang itu jangan hanya makan saja tapi ya buang air besar juga). Kita tidak boleh hanya melulu mencari harta terus tapi kita juga harus rajin bersedekah.
NKRI Harga Mati
Perlu kita ketahui bahwa Jargon “NKRI Harga Mati” merupakan jargon yang dicetuskan oleh Mbah Liem, setiap kali beliau berpidato. Sebenarnya jargon tersebut hanyalah versi pendeknya. Adapun Versi lengkap jargon tersebut adalah “mugo-mugo NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati” yang mempunyai arti “Semoga NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati”. Bagi Mbah Liem, pancasila merupakan dasar Negara yang sudah final, tidak ada falsafah lain yang bisa menggantikannya.
Bagi Mbah Liem, pancasila merupakan dasar Negara yang sudah final, tidak ada falsafah lain yang bisa menggantikannya.
Secara dzohir sendiri, bukti cinta tanah air Mbah Liem tampak saat beliau berpidato yang selalu mengenakan sarung dengan berpakaian ala tentara dan memakai topi berdasi. Mbah Liem juga telah melahirkan banyak karya, seperti doa-doa kebangsaan, membangun wawasan kebangsaan, dan juga memberi pesan untuk kerukunan perdamaian umat manusia sedunia. Bahkan berdasarkan wasiatnya, prosesi pemakaman Mbah Liem saat beliau wafat tanggal 24 Mei 2012 M., janazah Mbah Liem digiring dengan tabuhan hadroh sholawat, serta pemakamannya seolah seperti pemakaman tentara menggunakan tembakan salto yang dipimpin oleh TNI POLRI. Kehadiran Mbah Liem sebagai penyebar semangat cinta tanah air tak akan ada yang sanggup menggantikannya sampai kapanpun.
*) Sebagian sumber dari tulisan ini ialah hasil wawancara tidak langsung dengan Gus Eko Ahmadi (Ketua Lesbumi PCNU Kab. Pekalongan)
**) Penulis adalah santri Ma’had Aly PMH